Jurnal Refleksi Modul 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber DayaÂ
Model 3 : Six Thinking Hats (Tekhnik 6 Topi : Process, Facts, Feeling, Creativity, Benefits, Cautions)
Dalam materi ini, saya, calon Guru Penggerak Angkatan 5 Kabupaten Sumenep Jawa Timur, belajar banyak hal, tentang pengetahuan seputar aset sekolah yang bisa dijadikan modal dalam mencapai visi sekolah, tentang pengalaman yang menambah pemahaman saya apa saja objek yang termasuk dalam aset sekolah. Pengetahuan yang kami dapat lewat modul ini adalah  tentang sekolah dimana kami menjalani profesi kami sebagai guru.Â
Pertama yaitu tentang sekolah sebagai sebuah ekosistem terdiri bukan hanya berupa fisik bangunan sekolah dan sarana prasarana yang mendukung pembelajaran, tapi juga sebagai sebuah ekosistem, ternyata sekolah terdiri dari faktor biotik (unsur hidup atau manusia) dan faktor abiotik (unsur tak hidup yaitu keuangan, sarana dan prasarana serta lingkungan alam). Kedua faktor tersebut saling berinteraksi satu sama lain dan memiliki hubungan yang erat dalam mendorong terwujudnya visi sekolah secara maksimal, jika dikelola secara bijak cerdas, terutama dalam menunjang pembelajaran yang berpihak pada murid.
Kedua yaitu tentang pendekatan dalam menghadapi setiap persoalan dalam sekolah. Ada dua pendekatan yang kami pelajari yaitu pendekatan berbasis pada kekurangan/masalah/hambatan dan pendekatan berbasis aset/kekuatan.Â
Pada pendekatan berbasis kekurangan, teori yang dapat kami simpulkan yaitu, ketika dihadapkan pada sebuah persoalan, seseorang akan melihat sebuah persoalan dengan paradigma berpikir yang pesimis, yang dilihat dalam masalah itu adalah kekurangan, kelemahan yang bisa berdampak kurang berhasilnya sebuah program.Â
Akibat paradigma berpikir seperti ini, maka orang tersebut tidak akan melihat sebuah kekuatan positif, bahkan hal positif yang sebenarnya bisa jadi peluang malah tidak tampak karena dia hanya akan berpikir sebuah kesulitan yang akan dihadapi. Baik berangkat dari situasi dan kondisi maupun dari pengalaman sebelumnya. Sedangkan pendekatan berbasis kekuatan merupakan kebalikan dari pendekatan berbasis kekurangan.Â
Guru atau seseorang dalam menghadapi sebuah permasalahan, akan selalu berpikir positif dan optimis, sehingga setiap kekurangangan yang ada bukan sebuah masalah, dia akan melihat sisi positif, nilai lebih yang  menjadi aset/kekuatan yang bisa dijadikan faktor pendukung yang mampu mensukseskan berjalannya sebuah acara.Â
Dari paradigma positif tersebut, maka dia tidak akan menggantungkan kebutuhan kegiatan itu pada orang lain, tapi mencari peluang bagaimana supaya kebutuhan tersebut bisa diatasi. Dan pendekatan aset ini digunakan sebagai dasar paradigma inquiri apresiatif. Seorang guru sebagai agen of change, pemimpin perubahan, sudah selayaknya menggunakan pendekatan ini melalui inquiri apresitif tahapan BAGJA untuk memulai melakukan transformasi pendidikan.
Ketiga yaitu aset-aset atau modal utama. Ada tujuh aset yang dapat dijadikan salah satu alat membantu mengemukenali sumber daya yang menjadi aset sekolah yaitu modal manusia (kepala sekolah,guru, murid, komite, masyarakat sekitar, dan tenaga kependidikan), modal sosial (norma/aturan yang mengikat, kepercayaan, komunitas.Â
Modal politik (aktifitas dekmokrasi, SDM yang dapat mempengaruhi kebijakan), modal agama dan budaya (kegiatanritual  keagamaa, kebudayaan), modal fisik (ruang kelas, lab, ruang pertemuan, musolla, toliet, saluran pembuangan/air, alat transportasi, jalur komunikasi/transportasi, dll). Modal lingkungan/alam (potensi alam sekolah yang belum di olah, udara yang bersih, laut, taman, danau, sungai, tumbuhan, hewan, dll) dan yang terakhir modal finansial (keuangan, pengetahuan bagaimana menghasilkan uang)
Senang sekali bisa mengenal dan mempelajari materi ini. Ini sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan saya sebagai guru yang berperan sebagai pemimpin pembelajaran.Â
Dengan materi ini, saya jadi tahu bahwa aset sekolah bisa dijadikan modal utama dalam mencapai sebuah visi sekolah dengan sukses. Bagaimana kita bijak dan trampil dalam mengelola aset sekolah dan memanfaatkan sebaik-baiknya secara bijak untuk mendukung pembelajaran yang berpihak pada murid, untuk membantu siswa menemukan kemerdekaan belajarnya, untuk menanamkan karakter mulia dan budi pekerti luhur ada siswa.Â
Hal lain yang tak kalah menarik, bahwa aset ternyata tak hanya yang bagian dari sekolah yang berwujud, tapi juga yang tak berwujud, aset tak hanya yang ada dalam lingkungan sekolah atau terintegrasi dengan sekolah, tapi lingkungan alam, masyarakat, agama dan budaya, politik juga termasuk dalam 7 aset sebagaimana kerangka pemikiran dari Green dan Haines (dalam modul 3.2 PGP, 2022).
Sungguh ilmu baru yang menarik, lebih membuka wawasan saya sebagai seorang guru yang berperan menjadi pemimpin pembelajaran dan perubahan, dan saat ini dituntut untuk menjadi pemimpin dalam pengolahan sumber daya. Untuk mampu memimpin dalam pengolahan sumber daya  yang menjadi aset sekolah, maka sebagai bagian dari sekolah tersebut, wajib bagi saya untuk mengenali satu persatu bersama rekan guru dan warga sekolah lainnya, sumber daya apa saja yang telah dimiliki sekolah kami, yang kiranya akan menjadi modal utama bagi sekolah kami dalam mewujudkan visi sekolah, dalam mewujudkan pendidikan yang berpihak dan murid dan membantu siswa mencapai kemerdekaan belajarnya. Dan berangkat dari mengidentifikasi kemudia mengklasifikasi aset-aset sekolah, maka kita akan dengan mudak menentukan, bagaimana aset-aset tersebut agar bisa dimanfaatkan, dikembangkan secara maksimal untuk kebutuhan dan kepentingan belajar siswa.
Dalam setiap perubahan, pasti ada kendala dan  hambatan. Hambatan dan kendala yang kami hadapi dalam memanfaatkan sumber daya sekolah adalah, pertama, kurangnya kesadaran warga sekolah untuk memaksimalkan potensi-potensi yang ada, sehingga potensi itu kurang dapat dirasakan manfaatnya, kurang dimanfaatkan secara maksimal.Â
Kedua, kolaborasi yang masih kurang antar sesama komponen biotik dalam sekolah. Ketika kolaborasi kurang maksimal, maka apa yang menjadi tujuan dari kebermanfaatan aset sekolah tersebut kurang maksimal, bahkan ada aset-aset sekolah yang tidak dimanfaatkan  untuk mendukung proses pembelajaran yang berpihak pada murid.  Ketiga minimnya pengetahuan dan ketrampilan serta keterbatasan waktu dalam menggunakan dan memanfaatkan aset sekolah tersebut, misalnya dalam pengolahan sarana dan prasarana pembelajaran seperti lab, alat-alat peraga.
Berangkat dari identifikasi dan klasifikasi aset sekolah, hambatan-hambatan yang kami hadapi, dan manfaat besar yang bisa kami dapatkan dari aset-aset tersebut, kita harus memaksimalkan pemanfaatan, penggunaan aset aset tersebut, melalui perintah atasan, bimbingan, dan kesadaran. Agar aset-aset tersebut bisa berguna, bisa digunakan dalam mendukung keberhasilan proses pembelajaran yang berpihak pada murid dan memerdekakan murid.
Pada akhirnya satu hal yang dapat saya simpulkan, sekolah sebagai sebuah ekosistem tentu memiliki aset-aset yang bisa jadi kekuatan tersendiri bagi sekolah tersebut, dan aset itu dapat menjadi modal utama dan kekuatan sekolah jika kita sebagai guru mampu memaksimalkan dalam pengolahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H