I. PendahuluanÂ
Pendidikan sebagai bagian dasar dari setiap perjuangan bangsa Indonesia, yang terkadang terlupakan oleh para penerusnya. Pendidikan menjadi suatu perlawanan murni atas kesengsaraan pada masa penjajahan dan suatu titik awal untuk melangkah dimasa depan. Pendidikan menjadi kekuatan moral dalam setiap perlawanan baik masa penjajah hingga masa sekarang. Kekuatan moral yang menjadi perjuangan untuk menentukan nasib bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur dan cita-cita terdapat dalam pendidikan yaitu berupa moral dan hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Ki Hajar Dewantara, seorang Bapak Pendidikan juga Pahlawan Nasional yang melawan kolonialisme dengan pendidikan, meskipun lahir dari keluarga bangsawan sebagai anggota keluara Kadipaten Pakualaman dengan nama asli dan gelar bangsawan Raden Mas Soewardi Soejaningrat.
Bukan senjata laras panjang yang digunakan Soewardi untuk melawan kolonialisme pada saat itu, tetapi dalam diam. Raden Mas Soewardi Soejaningrat melawan kolonialisme melalui pendidikan, Soewardi Soejaningrat mendirikan pusat pendidikan untuk pribumi (sebutan belanda pada orang asli Indonesia pada saat itu) dan rakyat jelata untuk memperoleh hak yang sama seperti para priayi dan Belanda.
Pusat pendidikan bernamakan Perguruan Taman Siswa. Lawan Sastra Ngesti Mulya yang berarti dengan ilmu menuju kemuliaan. Perguruan Taman Siswa menjadi titik awal perjuangan pendidikan tanpa kelas. Perguruan taman siswa tidak hanya mengajarkan tentang ilmu pengetahuan pencerdas otak saja, tetapi juga ilmu ajaran hidup, yang sesuai dengan nilai-nilai agama masing-masing siswa di dalamnya, sehingga ketika diluar perguruan, tidak ada lagi sebutan "orang-orang Islam", "orang-orang Katolik" atau "orang-orang Kristen" tetapi dengan sebutan orang Taman Siswa yang dapat hidup membaur ditengah masyarakat dengan perbedaan-perbedaan ajaran agama.
Ki Hajar Dewantara melawan dengan pendidikan, karena dengan pendidikan menjadi salah satu perjuangan Indonesia menuju manusia merdeka bahkan suatu perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan atas Belanda.
Perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu, Dan untuk ini perlu penanaman jiwa merdeka yang harus dimulai dari sejak anak-anak. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja sanggup akan berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syarat utama nya adalah pendidikan nasional dan jalannya ialah pendidikan rakyat, disamping pergerakan politik[1]. Pendidikan rakyat dengan merentaskan kebodohan dan pemisahan jurang kelas antara priayi dan rakyat jelata yang memang sengaja dibuat pada saat zaman kolonialisme di Indonesia.
Semboyan yang pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menjadi suatu tolak ukur dalam pandangan pendidikan di Indonesia "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani"[2] yang berarti didepan memberikan teladan, ditengah membangun niat, dan dari belakang mendorong. Pengajar menjadi instrument penting dalam pendidikan, yaitu didepan memberikan teladan, saat bersama-sama membangun niat untuk belajar dan bangkit lebih baik, meskipun seorang murid mengalami kegagalan memberikan dorongan untuk tetap belajar dan memperbaiki kesalahan agar mengembalikan niat belajar kembali.
Ki Hajar Dewantara menjadi seorang Bapak Pendidikan dan Kebudayaan Nasional yang menjadi suatu simbol akan nasionalisme yang sesungguhnya. Kebudayaan menjadi landasan pendidikan, melalui kebudayaan maka akan membangun suatu bangsa yang bersifat kebangsaan dan cinta akan tanah air dan budaya Indonesia menjadikan manusia berkarakter dan berbudi luhur tinggi dengan jiwa yang nasionalis.
II. PembahasanÂ
Indonesia di masa kontemporer seperti ini menjadi suatu hal rentan dalam membangun manusia yang berkarakter nasionalis disebabkan oleh globalisasi dengan masuknya budaya asing, dan kemajuan teknologi yang menjadi pisau bermata dua di zaman sekarang ini.
Kemudahan dalam belajar secara otodidak juga dengan mudah didapat dengan media-media sosial atau internet, akan tetapi juga dapat menjadi suatu masalah besar, seiring berjalannya waktu, karena kemudahan teknologi memberikan dampak pada anak-anak,mahasiswa dan dewasa dalam mengetahui kebenaran akan berita dan penyebaran pengajaran yang terkadang belum bisa diuji berdasarkan persyaratan ilmu. Kemudahan teknologi pada zaman modernisasi dan digitalisasi seperti ini justru terkadang menjadi pemicu dari keresahan dan pemicu akan pecah belah sesama anak bangsa.
Salah satu persyaratan ilmu adalah dapat teruji kebenarannya, objektif, sistematis, relevan, dan lebih lagi persyaratan penting dalam ilmu pengajaran adalah 'manusia boleh bersalah akan tetapi manusia tidak boleh berbohong'. Kemerosotan kekuatan moral pada belakangan ini, menjadi suatu tolak ukur, mundurnya pendidikan di Indonesia.
Pencederaan moral saat ini justru banyak dilakukan oleh para elite terutama untuk kepentingan-kepentingan politik, dan hilangnya tokoh-tokoh negarawan yang seharusnya menjadi contoh akan infrastruktur manusia di masa mendatang. Pencederaan moral seperti korupsi, keserakahan yang menjadikan manusia menjadi seorang yang kaya raya akan tetapi miskin moral, kebencian, iri hati, ketidakjujuran dan sebagainya yang dilakukan oleh para manusia pelaku pencederaan bermoral.
Dalam hal ini, konsep pengajaran Ki Hajar Dewantara memiliki pengajaran yang tak pernah lekang oleh waktu dan memiliki relevansi yang dapat diterapkan hingga 73 tahun kemerdekaan Indonesia, yaitu nilai-nilai kemanusiaan dan kekayaan moral akan persamaan hak , kebudayaan, kebangsaan dan kepemimpinan yang harus dikedepankan untuk kemajuan bangsa di masa mendatang.
Membentuk generasi baru dengan pengajaran Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan pembentukan berkarakter berbasiskan nasionalisme (Nation Character Building) dengan pendidikan karakter menjadi suatu langkah awal dalam era millennial untuk membentuk generasi berikutnya menjadi manusia yang tidak hanya berkarakter yang mengedepankan nilai-nilai moral, dan beretika tetapi juga nasionalis.
Pembentukan karakter berbasiskan nasionalisme diawali dengan pembentukan kecintaan akan budaya Indonesia sejak anak-anak, agar menjadi tatanan bentuk masyarakat yang tidak lagi hidup dalam batas-batas status sosial, perbedaan agama, nilai-nilai ke-aku-an ( egosentris ) akan tetapi perasaan bangga akan tanah air, bangga akan budaya hingga perasaan bangga memiliki budaya Indonesia yang tertanam sejak dini, menjadi suatu jalan untuk mengabdi pada negara agar melahirkan seorang Anak Bangsa. Dimana setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan[3], disamping itu yaitu pendidikan yang baik dan benar yang berguna untuk masa depan.
Pendidikan karakter membentuk seorang anak menjadi cikal bakal pemimpin bangsa di masa depan. Seorang anak bangsa yang juga mencintai kebudayaan, keragaman, kekayaan berbangsa dan hingga pada akhir yaitu pengabdian untuk masyarakat dan menjadi negarawan. Nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan menjadi suatu elemen penting untuk kekuatan moral suatu bangsa. Kekuataan moral manusia yang berbudaya menjadikan Indonesia menjadi negara yang memiliki sumber daya manusia yang kuat dan berdaya saing secara global.
Ketika melalui pendidikan di masa perkuliahan, sebagai mahasiswa menjadi suatu kekuatan moral yang menjadi juga kekuatan politik dalam pemerintahan, kekuatan moral mahasiswa menjadi suatu dasar pemikiran kritis dalam non politik yang dapat membawa arah bangsa menjadi lebih baik melalui sikap demokratis dan pikiran kritis yang berlandaskan pancasila, dan tridarma perguruan tinggi.
Seperti pada catatan lembar sejarah bangsa Indonesia, bagaimana mahasiswa mampu menggerakan arah bangsa atas jatuhnya rezim orba pada tahun 1998, dengan aspirasi melalui aksi-aksi demonstrasi, terbukti mampu menggerakan dan mengembalikan demokrasi di Indonesia, Hingga tumbangnya orba menjadi titik awal lahirnya tatanan baru pemerintahan yaitu Reformasi.[4] Pembuktian mahasiswa meskipun berstatus mahasiswa bukanlah anak bawang yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk suatu penentuan arah bangsa untuk lebih baik.
Pentingnya pembentukan karakter dalam kepemimpinan berbasiskan nasionalisme, menurut saya adalah pendidikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip moral ditegakkan, agar terhindar dari kesesatan pikir terutama dalam berpolitik yang hanya memperebutkan kekuasaan yang mengedepankan kepentingan-kepentingan politik dan memicu pecah belah antar sesama anak bangsa karena pemilihan berbeda.
Pendidikan karakter berbasiskan nasionalisme , membentuk jiwa kepemimpinan , karena kepemimpinan bukan tentang siapa yang berani tampil paling depan dan bersuara paling banyak, akan tetapi kepemimpinan ala Ki Hajar Dewantara yang harus diterapkan kembali dimasa sekarang ini adalah manusia berjiwa kepemimpinan yang mengutamakan prinsip-prinsip moral yaitu nilai agama (akhlak), kemerdekaan (kebebasan menyampaikan pendapat dan perlakuan yang sama), kebenaran, dan beretika. Beretika menjadi hal utama yang harus ditanamkan dari usia dini hingga mahasiswa melalui pendidikan.
Menciptakan manusia baru untuk generasi selanjutnya dengan menanamkan jiwa kepemimpinan, kepemimpinan memiliki kecenderungan dalam menjaga integritas(IQ), kecerdasan emosional(EQ), kecerdasan spiritual (SQ)[5] yang dapat mendukung dalam budaya yang baik dan seimbang sehingga dapat menciptakan harmonisasi antar masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Melihat kondisi Indonesia saat ini mengembalikan pendidikan kepemimpinan dengan sistem among, yaitu harus berpikir, bersikap, berperasaan[6] Berpikir untuk menjadikan yang bukan apa-apa menjadi pemimpin, dan penentu arah masa depan bangsa, bersikap seperti pemimpin agar membentuk kepemimpinan, berperasaan kemanusiaan berarti menjadikan manusia menjadi manusia yang seutuhnya, bahkan menjadi lebih baik dari pengajar.
Indonesia pada saat ini , dimana terjadi banyak berita hoax juga penyebaran pengajaran radikalisme dikarenakan perkembangan teknologi Pembentukan karakter berbasiskan nasionalisme menjadi hal yang bersifat urgensi, ditengah krisis nya moral dan etika, Mengedepankan nilai etika dengan pendidikan etika juga menjadi hal penting dan utama. Pendidikan etika yaitu mengedepankan nilai kebenaran agar menggunakan cara-cara yang benar dalam menggapainya, bukan dengan cara-cara curang untuk memperoleh hal yang kita inginkan tetapi berlandaskan kejujuran dan kebenaran.
III. Kesimpulan
Pembentukan karakter kepemimpinan berbasiskan nasionalisme diharapkan menciptakan karakter berjiwa kepemimpinan sesuai dengan asas-asas pancasila, dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Karena bahwasanya, karakter kepemimpinan sesungguhnya bukan hanya tentang menjadi atasan atau bawahan, majikan atau budak, akan tetapi kebebasan memimpin diri sendiri hingga kemampuan mengerakan orang lain untuk melawan pembodohan, sesat pikir hingga penindasan antar sesama masyarakat.
Seperti ketika Soekarno, Muhammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara sebagai pembawa arah bangsa menuju kemerdekaan, semuanya berawal dari seorang siswa yang aktif dalam organisasi, melalui pendidikan yang didapatkan dan berhasil melepaskan belengu Indonesia atas ketertindasan kolonialisme.
Pembentukan karakter dalam kepemimpinan berbasiskan nasionalisme menjadi suatu titik awal persatuan bangsa dan kekuatan bangsa, karena melalui pendidikan , kita dapat menghindari hal-hal yang dapat memicu pecah belah. Pentingnya pembentukan karakter berbasiskan nasionalisme salah satunya adalah mempersatukan perbedaan antar sesama anak bangsa menjadi suatu keunggulan utama bangsa Indonesia. Bukan lagi mengenal dari mana sukumu, apa agamamu, darimana daerah mu tetapi menjadi seutuhnya yaitu menjadi Bangsa Indonesia.
Oleh:
Hanny Kurnia
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Muchammad Tauchid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta, hlm.18
Undang Undang Dasar 1945 Amandemen
https://www.psychologytoday.com/us/basics/leadership diunduh pada hari jumat pada tanggal 1 maret 2019 pk 7:42pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H