Wika menggeleng. "Belum waktunya, Becky. Silakan duluan."
Becky meninggalkan Wika dengan gundah. Di satu sisi, pertemuannya dengan Wika menorehkan luka lama. Sejak dulu ia senang berteman dengan Wika karena Wika selalu perhatian dan siap menemaninya. Tetapi Becky tidak berani mengembangkan perasaannya, dan memilih untuk menjaga jarak karena ia menyadari perbedaan yang terlalu jauh antara dirinya dan Wika.
Apalagi di saat seperti ini, Rico terasa begitu jauh. Becky sibuk dan tenggelam dengan pekerjaannya, dan sepertinya Rico juga begitu.
"Kok telat lama nih, Yang ?" Becky memutus lamunannya.
"Iya, sorry.... Biasalah, waktu mau berangkat jemput selalu ada yang gangguin."
"Bagaimana kerjaanmu ? Hari ini lancar ?" Becky memegang tangan Rico dengan lembut. Ia berusaha menekan segala perasaannya agar tetap mesra dengan suaminya. Becky sadar betul, bila ia larut dalam kedekatannya dengan Wika, bisa jadi timbul malapetaka dalam pernikahannya.
"Lancar. Biasa aja, nothing special. " sahut Rico pendek. Rico sendiri sedang kalut dengan pikirannya. Sudah beberapa hari ini karyawan di proyek terus bergantian keluar masuk. Tentu saja hal ini menghambat pekerjaannya. Deadline semakin dekat. Juga Mila.
Mila yang sedang kesepian karena Kris sedang pergi keluar kota. Agak lama, mengurus pekerjaan barunya. Dan Mila juga selalu mendengar segala keluh kesah Rico, karena ia mengerti pekerjaan Rico.
Entah mengapa, Rico semakin malas membicarakan pekerjaannya dengan Becky. Beda pekerjaan membuat Becky sulit memahami posisinya. Apalagi posisi Becky sebagai Branch Manager, membuatnya terbiasa taktis dan praktis dalam keputusan. Rico semakin minder berdiskusi dengan istrinya yang pandai.
Dan hari ini, saat makan siang bersama Mila, Rico menumpahkan segala perasaannya tentang Becky. Tidak biasanya Rico curhat pada orang lain tentang rumah tangganya. Tentang rasa mindernya pada Becky. Sikap Becky yang menurutnya, superior, karena kebiasaanya yang tegas di kantor.
"Ric, kok melamun..."