Bermula beberapa hari setelah Idul Fitri 1441 Hijriah, saya rindu makan tahu dan tempe. Sering-sering diledek tentang makanan kesukaan legendaris ini kubiarkan saja.Â
"Hon, kalo subuh ke pasar beliin tahu atau tempe, ya!"
Saya sesekali malas ke pasar, jadi si mas yang ke pasar. Tapi sesekali dia juga yang masak, saya penikmat masakan dan seduhan kopinya, penikmat paling egois. Ternyata pesanan paling mahal itu sejak Idul Fitri hari ke-2 belum ada yang berjualan di pasar tradisional, apalagi warung masih tutup.
Di kota kecil kami harga tempe daun atau tempe bungkus plastik mulai dari Rp 1.000-Rp 5.000, tahu goreng dari pabrik mulai dari isi 20 buah - 40 buah seharga Rp 10.000. tapi tahu potong dan tahu bungkus berbeda harga dari Rp 2.000 isi 3 potong atau Rp 5.000 isi 4 tahu bungkus. Mungkin di kota lain jauh lebih mahal.
Dan setelah melihat Marketplace di Facebook ternyata sudah ada yang jualan tahu. Searching lokasi dan bicara agak lama rupanya yang jualan adalah bapak dari murid ku beberapa tahun silam, dan yang lebih membuat diriku tertawa-tawa dekat sekali dengan rumah kami tinggal, jika ditarik garis lurus tak lebih dari 500 meter.
Siang tadi melewati semak dan hutan kecil kami, tiba di tempat Pak Hasan (56 tahun) langsung saja aku permisi masuk ke dalam workshop di belakang rumah, jejeran ember air dan tahu yang siap di bungkus, ke ujung belakang kulihat kuali besar berdiamater sekitar 50 cm - 70 cm di atas tungku kayu.
Ruang sederhana, resik, rapi, jajaran kayu di pekarangan juga rapi. Pak Hasan dan Bu Rokaya sejak 1980 an merintis usaha tahu bungkus. Hasan belajar dari tempat kerjanya dahulu, seorang pengusaha tahu Tionghoa. Hingga ia disuruh membuat usaha tahu sendiri.
Dari dapur kerja keluarga ini, yang memulai kegiatan dari pukul 04.00 subuh, lalu setelah ibadah Zhuhur, mulai dibungkus tahu dibukain putih seukuran bujur sangkar dengan panjang 25 cm X 25 cm. Mereka tak memiliki karyawan, Dewi ikut membantu dan pukul 06.00 Bu Rokaya dan Dewi (anaknya) sudah berjualan di pasar dan secara online.
"Kami tidak punya karyawan, belum mampu membayar tenaga kerja."
"Hasilnya belum seberapa, apalagi masa Covid-19 ini."
Hasan bercerita dan tangannya cekatan membungkus satu-satu tahu. Lalu bungkus kedua, ditimpa atas pembungkus dengan kayu dan bongkahan batu alam red jasper (batu sedimentasi sungai khas Lahat).
Keluarga ini baru saja bangkit merintis kembali usaha, apa daya saat ini Pandemi Covid 19. Dan kehilangan banyak pelanggan. Dari usaha catering, restoran, kedai kecil dan usaha kuliner berbasis tahu seperti usaha Pempek. Pelanggan dan untung sekarang tinggal 30 persen lagi. Berarti kehilangan 70 % keuntungan kini.
Jujur mereka bercerita usaha mereka dengan untung kotor harian Rp 200.000, dari 15 kg kedelai yang diproduksi jadi tahu. Ikhtiar dan usaha, begitu istilah mereka. Keyakinan dan kejujuran mereka semoga menginspirasi usaha kecil lainnya.
"Bu, aku tuh tukang cuci kuali gantian dengan kakakku."
"Usaha bapak dan mimi (ibu) luar biasa sudah membesarkan kami berempat."
Hati saya meleleh membaca penuturan Ade salah satu anak Hasan.
Lahat, Pagaragung, 28 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H