Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Water Toren Bukit Baru

4 Mei 2020   10:42 Diperbarui: 5 Mei 2020   00:57 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negeri Serumpun Sebalai, Pangkalpinang  itu masa kecil yang menari-nari di pelupuk mata, sama seperti bangunan tua yang  ada di sepanjang Kelurahan Bukit Baru, dan Kompleks Timah yang ada.

Kelurahan Bukit Baru yang jauhnya sekitar 15 menit dari Bandara Depati Amir Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung ini terakhir kulewati di awal Juni 2014. Dijemput ibu  cantik, teman lama di SMPN 3 Pangkalpinang, Meitarini yang tinggalnya di Jalan Menara,  tak jauh dari Kelurahan Bukit Baru kuingat dahulu.

 Taman di tengah-tengah komplek perumahan Bukit Baru milik PT Timah ini selalu menarik buat penulis. Selain taman yang nyaman juga rumah itu dibangun sejak jaman kolonial Belanda. 

Ditengah taman ada menara air (Water toren) bagi kami sejak kanak-kanak di sana tidak asing lagi. Menara air minum yang di bangun tahun 1932 sesuai tulisan yang tertera di dinding bangunan terasa tidak menarik, sementara aku berjalan kaki hingga museum timah sudah tidak asing lagi.

Gemericik air yang mengalir terdengar setiap melewati tempat itu, pun ketika kembali ke Pangkalpinang setelah hamper 20 tahun tak singgah lagi di sana, Yeyen panggilan Meitarini yang mengantarkan berkeliling terpaksa harus berhenti lama di sana. Satpam yang melihat kami di sana, lama menunggui kami maklumlah di perumahan elit.

"Permisi pak, kami cuma sekedar numpang berfoto dan melihat menara air itu," ucap Yeyen menamani kami menepikan mobilnya, Jumat (6/6/2014) siang itu.

Setelah pulang berbagai sumber mengenai menara air itu digali, berdasarkan sumber baca buku Kampong di Bangka (Jilid I) dari Drs Akhmad Elvian selaku Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Pangkalpinang saat itu, bahwa bangunan rumah komplek timah (Banka tin winning bedryf, BTW) dan menara air minum (water toren)  ini dibangun sebagai sarana air minum. 

Dimulai sekitar tahun 1927 pencarian sumber air baku dari Gunung Doel sebagai pilihan utama, namun debit air yang ada disana terlalu kecil lalu untuk memenuhi kebutuhan air saat itu. Beralih ke Sungai Nyelanding lagi-lagi gagal karena tingkat kekeruhan air yang cukup tinggi. 

Kemudian beralih ke Gunung Mangkol sebagai alternatif terakhir. Gunung Mangkol yang penulis ketahui sendiri memang selain lokasinya tinggi air yang ada masih jernih saat dilihat terakhir tahun 1990 silam.

Gunung Mangkol dan Gunung Doel sebetulnya perbukitan yang tidak begitu tinggi, yang saat kami remaja jadi tempat trekking yang asik, jaman orang belum kenal off-road, Bukit Doel dulu jadi percobaan aku dan bapak, jelas anak perempuan ini jadi navigator dan latihan lari juga kulakukan di sana. 

Kembali pada tulisan Ahmad Elvian yang juga guru bagi saya dan budaywan Bangka ini, bercerita bahwa tahap pencarian awal untuk sumber mata air sendiri sejak residen pertama AJN Engelenberg (1913-1918), lalu pada masa pemerintahan Residen JE Edie dimulai pada 1927 penelitian tentang penyediaan sumber air baku ini dimulai.

Atas saran seorang ahli Bas Van Hout akhirnya dipilih alternatif ketiga di Gunung Mangkol. Pembangunan fasilitas air ini dilanjutkan pada masa residen Hooyer DG yang menjadi Residen Bangka pada 1928-1931. 

Uniknya pembangunan ini dilakukan oleh aannemer(kontraktor) Toko Lindeteves Stokvis Betawi dengan kontrak sekitar  tiga ratus ribu rupiah jaman itu. Sebagian dana pembangunan diperoleh dari dana kas kampung yang kemudian dipinjamkan dengan bunga 60 persen setahun. 

Berarti dahulu pembangunan berdasarkan pajak rakyat sudah diberlakukan. Berarti uang itu dari jerih payah nenek moyang kita saat itu bisa dibayangkan jika yang membangun bangsa kita pula betapa darah dan keringat orang pribumi kala itu benar-benar diperas kaum kolonial.

Menara air di Bukit Baru yang di bangun 1932, adalah bagian dari instalasi air minum yang mampu mensuplai 11.970 pelanggan kota Pangkalpinang waktu itu. Dari menara air ini jika kita melihat ke selatan akan tampak Gunung Mangkol yang tingginya sama dengan menara air ini. 

Sekarang menara air ini sudah tidak terpakai lagi. Sama halnya dengan menara air di Mangkol sudah terabaikan, yang terdiri dari dua tangki besar yang kemudian dialirkan ke menara air Bukit Baru ini dengan teknik bejana berhubungan ini sudah mulai tak bersisa.

Miris, itulah Pangkalpinang dengan tinggalan sejarah yang kebanyakan terabaikan. Padahal dahulunya perusahaan kolonial yang mengelolanya menarik uang dari pajak dan lain sebagainya untuk perawatan instalasi air minum ini.

Pangkalpinang, Bukit Baru terlihat terabaikan memang mulai memasuki tahun 1990-an sesuai dengan kemerosotan timah pada masa itu. Apabila pembangunan yang ada tidak memihak pada pelestarian sejarah ini, maka akan semakin banyak bangunan sejarah yang dihancurkan seperti halnya beberapa bangunan yang penulis kunjungi sudah tak ada lagi.

Meski bangunan ini dibangun jaman kolonial, rasanya nenek moyang kita turut andil karena tentunya merekalah yang membangunnya, saat itu. Yang seharusnya dari bangunan-bangunan ini banyak yang bisa dipelajari tentang masa kini.

Percakapan dengan beberapa narasumber di sana, bahwa pembangunan tidak berpihak pada peninggalan budaya dan sejarah, lebih pada keuntungan industrialis.

Akhmad Elvian sendiri dahulu saat penulis berbincang dengannya, mengatakan memang sejarah yang tertinggal berusaha dilakukannya dokumentasi. 

"Setiap hari saya membaca 200 halaman untuk menambah wawasan tentang kebudayaan Pangkalpinang. Mendokumentasikannya supaya anak-anak masih bisa menikmatinya," paparnya dan menagih penulis untuk hunting ke pelosok Pangkalpinang yang banyak memiliki sejarah lainnya. 

Hingga kini saya ikut menikmati bacaan sejarah dan budaya Pangkalpinang. Tulisan tentang cerita rakyat setempat juga menjadi favorit si bungsu kami. 

Aku tidak ingin anak-anak membaca sejarah luar tanpa membaca tentang negerinya Sumatera.

dok. Kompal
dok. Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun