Atas saran seorang ahli Bas Van Hout akhirnya dipilih alternatif ketiga di Gunung Mangkol. Pembangunan fasilitas air ini dilanjutkan pada masa residen Hooyer DG yang menjadi Residen Bangka pada 1928-1931.Â
Uniknya pembangunan ini dilakukan oleh aannemer(kontraktor) Toko Lindeteves Stokvis Betawi dengan kontrak sekitar  tiga ratus ribu rupiah jaman itu. Sebagian dana pembangunan diperoleh dari dana kas kampung yang kemudian dipinjamkan dengan bunga 60 persen setahun.Â
Berarti dahulu pembangunan berdasarkan pajak rakyat sudah diberlakukan. Berarti uang itu dari jerih payah nenek moyang kita saat itu bisa dibayangkan jika yang membangun bangsa kita pula betapa darah dan keringat orang pribumi kala itu benar-benar diperas kaum kolonial.
Menara air di Bukit Baru yang di bangun 1932, adalah bagian dari instalasi air minum yang mampu mensuplai 11.970 pelanggan kota Pangkalpinang waktu itu. Dari menara air ini jika kita melihat ke selatan akan tampak Gunung Mangkol yang tingginya sama dengan menara air ini.Â
Sekarang menara air ini sudah tidak terpakai lagi. Sama halnya dengan menara air di Mangkol sudah terabaikan, yang terdiri dari dua tangki besar yang kemudian dialirkan ke menara air Bukit Baru ini dengan teknik bejana berhubungan ini sudah mulai tak bersisa.
Miris, itulah Pangkalpinang dengan tinggalan sejarah yang kebanyakan terabaikan. Padahal dahulunya perusahaan kolonial yang mengelolanya menarik uang dari pajak dan lain sebagainya untuk perawatan instalasi air minum ini.
Pangkalpinang, Bukit Baru terlihat terabaikan memang mulai memasuki tahun 1990-an sesuai dengan kemerosotan timah pada masa itu. Apabila pembangunan yang ada tidak memihak pada pelestarian sejarah ini, maka akan semakin banyak bangunan sejarah yang dihancurkan seperti halnya beberapa bangunan yang penulis kunjungi sudah tak ada lagi.
Meski bangunan ini dibangun jaman kolonial, rasanya nenek moyang kita turut andil karena tentunya merekalah yang membangunnya, saat itu. Yang seharusnya dari bangunan-bangunan ini banyak yang bisa dipelajari tentang masa kini.
Percakapan dengan beberapa narasumber di sana, bahwa pembangunan tidak berpihak pada peninggalan budaya dan sejarah, lebih pada keuntungan industrialis.
Akhmad Elvian sendiri dahulu saat penulis berbincang dengannya, mengatakan memang sejarah yang tertinggal berusaha dilakukannya dokumentasi.Â
"Setiap hari saya membaca 200 halaman untuk menambah wawasan tentang kebudayaan Pangkalpinang. Mendokumentasikannya supaya anak-anak masih bisa menikmatinya," paparnya dan menagih penulis untuk hunting ke pelosok Pangkalpinang yang banyak memiliki sejarah lainnya.Â