Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warisan Pusaka

20 April 2020   15:20 Diperbarui: 20 April 2020   15:33 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tenun Palembang berumur lebih dari 50 tahun koleksi Pribadi

Tulisan ini sudah lama kubuat, tentang rindu pada keluarga dan orang tua. Biasanya menjelang Ramadhan kami berkumpul saat bapakku masih hidup. 

Pada anak-anakku, tentang warisan kakek neneknya, menjadi cerita asik sebelum tidur. Terutama buat Husain kecil yang pada 20 April ini berulang tahun. Ia suka membaca tulisan-tulisan ibunya.

Apalagi sekarang saat diam di rumah saja, dan bekerja di rumah, waktu si kecil Husain lebih banyak di rumah diisi dengan lebih banyak membaca, membuka buku dan majalah. Ibu seperti ku juga harus punya referensi ceri

Tentang pusaka...itu yang mengulik rasa, yang membawa penciumanku untuk merenda kenangan manis tentang orang-orang yang menjadikanku ada. Menjadikan warna-warna pelangi berkelebat di kehidupanku menjadi berarti.

Ibuku... sosok perempuan Jawa yang patuh dengan aturan-aturan ketat perempuan yang sangat tertata baik saat tersenyum, tertawa, berkata dan bertingkah laku. Aku suka, namun aku sendiri tak kuasa mengikutinya, yang begitu sabar dan telaten. Daya sabar sangat besar dimilikinya dalam mengatur emosi dan tertawa sekalipun.

Sejak kecil aku banyak ditularinya aturan jawa sebagai anak perempuan meski darah sumatera mengalir kencang dari nadiku. Keberagaman ini kusyukuri, sehingga aku banyak diwarisi hal-hal baik yang dahulu terasa di luar nalarku. Sejak kecil diajarkannya untuk menjaga tubuh dengan jamu dan ramuan tradisional. Paling penting bagiku ajaran budi pekerti yang disisipkannya melewati sebuah dongeng, yang kutarik benang merah tak henti kusyukuri kekayaan jiwa yang kuperoleh. Itu peninggalan berharga nan indah di lubuk hati perempuan sepertiku.

"Kain-kain ini adalah pemberian bapakmu dan eyang puteri."

"Ini buatmu, ini juga, nah ini motif parang rusak. Apalagi ya..."

Hentakan rasa dan jiwaku berusaha sukacita mendalam dengan penghargaan luar biasa diberikannya banyak kain. Cinta pada selembar kain, tak pupus hingga kini. Tak terhitung kain-kain yang kukumpulkan. Hingga egoisnya aku pupus dengan ketukan kata hati, saudaraku masih ada yang lainnya. Tak adil rasanya kunikmati sendiri, padahal aku mengerti buat alasan semua itu diwarisinya padaku.

Mengembalikan pemberian ibu tidaklah mungkin, sama saja menimbulkan murka hatinya kecewa dengan penolakan. Namun manalah saudaraku mengerti maksud ibu yang memberikan itu. Lubuk hati terburuk yang ada, waktu yang menyemai cara mengembalikan baik-baik agar tidak ada prasangka menguasai pusaka keluarga. Saat paling duka justru menjadi momen baik mengembalikannya. 

Sebagai anak perempuan hampir terakhir dan tanpa daya. Pastilah aku tak ingin membuat saudara berpikiran diriku yang kecil mengambil semena-mena. Kala itu bapakku meninggal, saat itu kukeluarkan kain-kain bagus kesayangan ibu. Berurai airmata menjuntai dipelupuk mataku menyiapkan kain-kain terbaik untuk menutup jasad bapak. Aroma lerak, melati menemaniku, untuk menyusutnya setelah jenasah bapakku tiba.

"Inget ya, kalau bapak meninggal jangan menangis."

"Hujani aku dengan doa, dari anak, istri dan semua yang mengasihi."

Kubentangkan kain-kain hingga beberapa lapis sesuai aturan adat keluarga. Sebetulnya simbolisasi anak-anak memberikan penghormatan terakhir dan cinta kasih kami pada bapak dengan memberikan yang baik saat ia pergi ke hadapan Allah Subhanahu wata'ala. Selesai jasad dikebumikan, kukemasi kain-kain tersebut dan baju yang terakhir dipakai bapak.

Ucapan Al Fatihah menghantar tak putus, agar aku tak menangis lagi. Malam itu saat orang beristirahat kucuci semua kain dan pakaiannya. Kuingat betul saat itu anakku sedang sakit, sementara ayahnya baru tiba dari luar kota berdinas.

Keesokannya kulambatkan kata, kuatur kalimat agar penerimaan baik di telinga ibu, tanpa prasangka buruk. Bahwa kukembalikan separuh kain, supaya bisa diberikannya pada saudara lainnya. Dengan kata dan alasan bahwa bukankah harta harus dibagi adil untuk semua anak-anak.
Kuingat betul bentangan sayap dan lambaian tangan perpisahan bapak di jendela subuh itu mengatakan ia berpamit. Dan bersiap tak menumpahkan airmata. 

Jika menuliskannya berurai airmataku, karena malu. Belumlah cukup seperti mereka memberikan kebaikan-kebaikan bagi anak-anak. Masih menorehkan luka bagi ibu dan keluarga atas kejadian yang menimpa diriku. Itu amat kusesalkan, rasa bersalah yang amat panjang dan kuucapkan selalu permohonan ampun pada Tuhan akan hal ini.

Kelebat bayang kasih bapak dan ibu sepanjang masa bisa kunikmati. Kuteguk kopi yang terasa dingin malam ini, mataku basah, dan lekat menyekat tenggorokanku. Berat melanjutkan tulisan yang kutahu, mengoyak bilur-bilur rindu pada kedua orang tua, rumah masa kecil dan semua pusaka peninggalannya yang kugenggam.

Suatu hari di Yogyakarta di paviliun kami tinggal bertiga, bapak yang sudah sebulan bersama kami, akan terbang ke Palembang. Kami berdua selalu bertengkar, tapi selalu jalan berdua, makan es krim dan cokelat. Dan tak berlebih banyak kesamaan yang membuat kami sering berselisih. Ucapannya yang kuingat lebih dan kurangnya, alasan meningggalkan Kain Tajung ini karena takut aku atau anakku kangen padanya. 

Kain Tajung khas tenun Palembang yang berwarna merah biasa dipakainya sholat. Jujur aku suka, hingga kini warna tak pudar. Warisannya buatku tak hanya itu ada beberapa lagi. Bukan benda mati yang kusembah, bukan menghamba pada harta, tapi cinta yang mematri hati kami, antara anak dan orang tua. Itu saja yang kupesankan pada anak-anakku alasan begitu menjaga pusaka peninggalan bapak-ibu.

Kaus yang dikenakan bapak juga masih kusimpan, biar bayang kanak-kanakku bermanja saat merindui ia. Tak kujumpa rindu yang menggunung begitu rupa selain pada keduanya, orang tuaku. Bergelimang harta cinta kasih pada anak-anaknya. Bayangan mereka menari-nari pada rumah yang ditinggalkan bapak, dibeli tahun 1993, kala itu. Sebagai anak gadisnya kala itu tentu kenangan manis selalu mengelilingi. Anak-anakku yang kuceritakan akan berkata bosan, namun masa kecil mereka pula ada di sana.

Belum lama kuimpi ia dalam malam, pesannya aku pulang segera kembali ke rumahnya, mengajak turut serta ibu. Merawatnya hingga aku tak mampu berkata, hanya doa panjang menempuh rindu membiru, dan langit malam bersinar rembulan redup karena airmata bercampur doa kupanjatkan. Dalam sekali aku harus berlari agar bisa kembali ke rumahnya. Keesokan hari ibuku pula mengabarkan keinginan yang berpaut, dirinya ingin pulang merenda kasih di hari tua di rumah kenangan bapak.

Getir tak sanggup menjawab apapun dari ucapan ibu. Andai tanganku sanggup meraihnya kini. Itulah yang kuharapkan terkabul lebih dulu. Menjaga rumah pusaka, dan merawat ibu seperti ingin mereka yang terkoneksi dalam doa-doa dan mimpi mereka.

Salam Kompal... Menyambut Ramadhan...

Lahat - Palembang, 16/04/2018

dok.Kompal
dok.Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun