Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumpah, I Love You

22 Februari 2020   03:35 Diperbarui: 22 Februari 2020   03:49 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah kasih tak sampai-sampai hingga kesal menunggunya. Apakah hari gini masih butuh pembuktian kata, aku sayang kamu, aku cinta kamu, I Love You.. gitu kah ?

Perlu buat kita berdua sepertinya, cuma kita berdua saja, orang lain tidak perlu mengerti yang kita lakukan. Orang lain tidak butuh pemahaman seperti ini. 

Dunia kita itu terbalik kata orang, kagak bisa sama seperti lainnya. Tadinya berasa pusing, sekarang kunikmati saja. Berasa pusing karena si perempuan tukang makan, si lelaki tukang masaknya. Harus rela saat orang mengatakan masakanmu tidak seenak masakan lelaki itu. Harus rela dibuatkan seduhan V60 robusta yang manis dan setelahnya bersisa aroma harum melekat khas kopi Lahat. 

"Aku buatin kopi susu gula aren mau, Hon?"

Beneran kan, ia sendiri yang rela membuatkan bukan si perempuan yang meminta, padahal si perempuan sedang nukang (si perempuan itu profesinya teknisi). Peralatan perangnya itu obeng, tang, kawat, yang jelas membuat tangan perempuan jadi kapalan dan kasar.

Suatu kali teman si perempuan bertanya, panggilan si lelaki pada si perempuan.

"Dia manggil mbak apa?"

Mau dijawab takut buat orang lain gemes, dan mau muntah. Tapi tidak dijawab, dipikir sombong banget. Dengan senyum simpul, si perempuan menjawab pertanyaan temannya seadanya.

"Dia panggil Honey."

Padahal lelaki itu tidak romantis, justru setiap hari selalu ada perdebatan tentang perjalanan, pekerjaan masing-masing. Tapi si perempuan sudah menyerah, menyerah pada waktu, pada tangan Tuhan yang mengkekalkan seperti harapannya, doa di sisa-sisa hari untuk tetap bersama, susah maupun senang, hingga maut memisahkan mereka berdua.

Banyak sekali pemicu perselisihan mereka, karena itu yang dibutuhkan, merekatkan ia paham tak ada gading yang tak retak, tak ada hidup yang sempurna, tapi bagaimana merekatkan retak-retak yang ada menjadi utuh.

Keduanya bertemu pada usia yang sudah tidak muda, pada waktu yang tidak sebaik sepasang kekasih dipertemukan, sempat dipisahkan lalu bertemu lagi.

"Aku tuh sudah pasrah dengan kondisi kita, Hon."

"Aku juga sudah nyerah untuk maju atau sebaliknya."

"Hidup yang kunikmati terlalu keras, aku sudah tidak bisa keluar dari lingkaran yang melingkupi."

"Jika dirimu ingin tetap bertahan, atau pergi silahkan."

"Perasaanku sudah terlalu dalam dan terluka."

"Aku tidak pernah sekalipun meninggal kan orang yang kukasihi, tapi kalian yang meninggalkanku."

Perempuan itu mengungkapkan sesak yang dirasakan. Ia harus berjuang, keluar dari luka yang ditorehkan. Hati yang dihempaskan, ia bangkit dari kubur yang membenamkannya. 

Berapa butir waktu yang harus dihapuskan, agar ia tidak lagi menggurung diri dalam ketakutan, menyembuhkan luka hatinya saat ditinggalkan. Dihianati orang yang dicintai itu sakit, saudara-saudara. Dan dengan lantang dan tertawa lebar perempuan itu berani bicara.

Siang itu sudah disiapkan sup hangat, nasi yang mengepul dari perapian, capucino arabika di mug jumbo khusus yang biasa dipakai si perempuan. Terhidang rapi ditemani tempe mendoan dan sambel terasi Toboali idola nya.

"Makan yok Hon....?"

Panggil si lelaki mengajak perempuan nya makan siang. Sementara perempuan itu masih memegang peralatannya, setengah jalan pekerjaannya.

"Kamu sayang aku gak?"

Tetiba nyinyir perempuan itu bertanya, spontan. Dan ia sudah tahu jawaban lelaki itu padanya. Ia tak berpikir, lelaki itu bakal muak menjawab. Lurus penuh bibirnya berucap, disela ketakutan yang tidak tampak. Rautnya datar, setiap kali mengatakan itu.

"Opo ora bosen takon koyo ngono, bendino?"

Mulai perdebatan tentang kata cinta yang diharapkan terkumpul siang itu. Tetiba hening merayap, lalu si lelaki menyuapi si perempuan. Adegan ini jangan ditiru untuk pasangan lain. Kebiasaan yang tidak biasa, tapi bagi mereka berdua disuapi sambil diomelin itu sudah biasa.

Langit mereka memang abu-abu di saat seperti ini. Polesan langit biru entah kapan munculnya. Harapan doanya terkabul saat langit benderang, selalu.

Ia tidak pernah membandingkan perpisahan manis atau pahit. Ia berharap kekal.

Perempuan itu pernah dikejutkan dengan kata si lelaki.

"Sumpah... I love you, honey !"

Setelahnya muka si lelaki tersenyum menyuguhkan setumpuk pekerjaan tentang kopi yang harus mereka cicipi berdua.

kompal-20200114-072138-5e503dc5097f36479e77a092.jpg
kompal-20200114-072138-5e503dc5097f36479e77a092.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun