Keduanya bertemu pada usia yang sudah tidak muda, pada waktu yang tidak sebaik sepasang kekasih dipertemukan, sempat dipisahkan lalu bertemu lagi.
"Aku tuh sudah pasrah dengan kondisi kita, Hon."
"Aku juga sudah nyerah untuk maju atau sebaliknya."
"Hidup yang kunikmati terlalu keras, aku sudah tidak bisa keluar dari lingkaran yang melingkupi."
"Jika dirimu ingin tetap bertahan, atau pergi silahkan."
"Perasaanku sudah terlalu dalam dan terluka."
"Aku tidak pernah sekalipun meninggal kan orang yang kukasihi, tapi kalian yang meninggalkanku."
Perempuan itu mengungkapkan sesak yang dirasakan. Ia harus berjuang, keluar dari luka yang ditorehkan. Hati yang dihempaskan, ia bangkit dari kubur yang membenamkannya.Â
Berapa butir waktu yang harus dihapuskan, agar ia tidak lagi menggurung diri dalam ketakutan, menyembuhkan luka hatinya saat ditinggalkan. Dihianati orang yang dicintai itu sakit, saudara-saudara. Dan dengan lantang dan tertawa lebar perempuan itu berani bicara.
Siang itu sudah disiapkan sup hangat, nasi yang mengepul dari perapian, capucino arabika di mug jumbo khusus yang biasa dipakai si perempuan. Terhidang rapi ditemani tempe mendoan dan sambel terasi Toboali idola nya.
"Makan yok Hon....?"