Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Miris dengan Cughup Buluh

26 Januari 2019   17:43 Diperbarui: 26 Januari 2019   17:51 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketua Pokdarwis setempat Yaumal (44) menjelaskan bahwa banjir dua tahunan ini meluap dari hulu sungai yang banyak sampah terbawa sehingga menghancurkan jembatan yang ada. 

Debit air yang naik sekitar 200 centimeter ini pernah terjadi lebih parah lagi di 8 Februari 2016 lalu yang menghancurkan lima pondok jualan, dua bangku bambu dan 2 jembatan bambu yang gotong royong mereka buat dengan biaya seadanya saat itu menghabiskan sekitar Rp2juta kala itu. "Biasanya kita memperbaikinya ya gotong royong saja, tak ada bantuan dari desa," jelas Yaumal.

Ditambahkan Yaumal mereka cuma mengandalkan gotong royong dari 20 orang anggota Pokdarwis. Uang mereka dapat dari parkir dan uang masuk yang hanya berkisar Rp 10.000 dan Rp 5.000. "Kadang-kadang saja kita dapat tamu banyak, saat ini sudah mulai sepi. Kita sudah pernah mengajak bicara kepala desa untuk pembangunan air terjun tapi tak di respon," ungkap Yaumal.

Sejak 2015 di buatnya Pokdarwis dan dibangun pondok jualan, mushala, bangku bambu dan jembatan secara patungan warga belum memberi hasil berarti.  Karena jumlah pengunjung hingga seribu orang membludak tidak lama hanya dari 2016 hingga 2017. Dari pemerintahan sendiri tidak ada follow up untuk membantu mereka. 

Mereka mengharapkan ada solusi untuk pembangunan tempat ini melalui dana desa atau pemerintah terkait. "Bisa liat sendiri, jalan menuju ke sana kita bersihkan sendiri gotong-royong setiap Minggu, padahal jalan umum," papar Yaumal kesal.

Sekarang penggunjung mulai sepi, karena akses jalan masih berbatu dan pemerintah tak gubris dengan jalanan sepanjang 6 km itu yang berbatu dan licin saat musim penghujan. "Mulai sepi pengunjung di akhir 2017 dan pertengahan 2018 ini hanya ada beberapa ratus pengunjung di akhir pekan saja," keluhnya. Mereka berharap perhatian semua pihak yang bisa membantu potensi cughup Buluh tersebut sebagai pendapatan desa dan menunjang perekonomian desa.

Salah satu pengunjung dari Jakarta, Weni (20) yang penulis pernah temui di lokasi menyayangkan hal ini. Bahwa tempat terpencil seperti ini dan masih alami justru yang menjadi surga para petualang. Mereka pasti datang jika ada akses yang baik dan pengelolaan. "Sayang ya, padahal tempat seperti ini justru indah dan di cari. Harusnya ada kerjasama dalam pengelolaan dan bimbingan stake holder terkait," ungkapnya.

Salam Kompal

dok. Kompal
dok. Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun