Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Petik Merah Kopi

11 Juni 2018   13:35 Diperbarui: 18 Juni 2018   00:34 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(shutterstock.com)
(shutterstock.com)
Menyeruput kopi pagi, mengawali diskusi kami tentang kopi, pagi itu, tepatnya obrolan di satu purnama sebelum Ramadhan 1439 H. Dering android yang memanggilku untuk bertemu teman berbeda. Biasanya, aku sudah turun ke petani, terutama ibu-ibu petani kopi bercengkrama dengan mereka berbicara tentang kebun kopi mereka.

Panggilan kali ini bertemu dua orang muda yang bersemangat bicara tentang kopi di Semendo, Muara Enim dan kopi di Lahat. Apapun tentang kopi yang bisa di bicarakan terasa menarik buat kucatat dalam benak.

Aku mengenal Nopri (28) salah satu pemuda dari Tunggul Bute, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Ia keturunan petani yang berprofesi sebagai pendidik di salah satu pondok pesantren di Lahat. Perkenalan dengan Nopri diawali ia menjual kopi bubuk untuk beberapa rekannya yang diolah orangtuanya. "Lumayan Yuk (sebutan untuk kakak perempuan) kopi bubuk buatan jeme tue(orang tua) disukai teman yang beli," ucap Nopri kala itu.

Bahwa dalam perbincanganku mengajaknya membuat kelompok pemuda dan petani untuk sama-sama belajar menjadikan kopi bubuk yang nikmat diseduh. Nopri yang tertarik dengan bincang-bincang ini setelahnya mengajak Usman (28) salah satu rekan dan juga kerabatnya dari Semendo, Muara Enim. "Yuk ke rumah bisa pagi ini, ada saudara yang juga minat tentang kopi," ajak Nopri. Yang akhirnya mengantarkanku kali kedua ke rumah kontrakan itu.

Singkat rupa Usman juga antusias mengembangkan kopi robusta dan Arabika di Semendo yang sudah terkenal. Mengubah cara pandang teman-teman petani bermunculan, sayang daya dukung mandiri, masih minimnya pembinaan bagi mereka dari pihak terkait. Pemberdayaan sederhana oleh Usman selaku pemuda dengan beberapa ibu, perempuan di desanya patut diberi jempol. Bahwa tak ada target, hanya memanfaatkan waktu luang dari perempuan di desanya menjadi manfaat. Menjemur kopi, memilah kopi dan sebagian mereka jadikan kopi bubuk.

Sampai pada kalimatku memintanya proses natural kopi petik merah. Keluh Usman, bahwasanya sudah cukup lama permintaan petik merah. Beberapa temannya mencoba, sayangnya kendala kembali muncul. Setelah beberapa petani tahu harga kopi semakin baik, jika petik merah, dipilih yang bagus, ada lagi kriminalitas yang muncul.

Dengan guyonannya tentang pencuri di malam hari menyaingi Luwak (musang) yang berkepala hitam dan berkaki dua ini. Membuat petani kopi berjaga di talang (istilah untuk kebun yg di luar pemukiman) lebih ketat mereka lakukan. Kopi yang dipetik jadi sembarangan daripada dicuri orang lain.

Kuungkapkan pada Usman, hal ini tidak diketahui oleh pengepul kopi hingga pembeli di kota. Pemberdayaan yang ada harus melibatkan banyak masyarakat sehingga bisa menekan tingkat kriminalitas. Pekerjaan saya, Usman dan Nopri tidak mudah. Meski pelan tapi pasti, itulah yang dilakukan walaupun wilayah kami berbeda-beda, tapi kami berbagi informasi, berbagi cara.

"Maling tahu harga kopi petik merah mahal saat ini  dan berbeda harga dari petik sembarang," kata Usman. Semangat mereka berdua yang tak padam  inilah yang bersama menggerakkan masyarakat lokal. (Soufie)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun