Mohon tunggu...
Nurul Hidayat
Nurul Hidayat Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Sociologist and educator

Pendidik Sosiologi Global Prestasi School

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi 20 Mei: Kami Sebut Civitas Akademika

20 Mei 2017   10:26 Diperbarui: 20 Mei 2017   10:52 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : N. H. Eddart

Lembaga pendidikan sejak dahulu dijadikan sebagai wadah masyarakat dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan. Proses transformasi berupa hasil pemikiran-pemikiran dari maha guru lalu disampaikan kepada murid-muridnya, seperti ketika Aristoteles belajar dari Plato dan ketika Plato belajar dari Socrates. Meski Socrates dimasanya tidak menerbitkan sebuah karya, namun dia tetap dikenang dalam tulisan murid-muridnya. 

Proses internalisasi ilmu pengetahuan antara guru dan murid adalah bentuk beradaan diri. Rene Descartes, sang filsuf Perancis mengungkapkan “Cogito Ergo Sum” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada” ditafsirkan bahwa seseorang harus berfikir akan kehendak yang diinginkan, sehingga keinginan tersebut dapat diwujudkan sesuai dengan kehendaknya. Hal ini tentu sama dengan konsep nilai sosial akan sebuah perasaan-perasaan yang diinginkan dan mempengaruhi perilaku tersebut. Adapun hasil pemikiran seseorang sangat mempengaruhi tindakan-tindakan yang dilakukan, jika berfikir akan nilai yang sederhana maka perilaku kita hanya sebatas tindakan yang sederhana pula.

Keinginan seseorang dengan konsep yang besar dengan mencakup banyak individu sosial, maka akan mewujudkan sebuah hasil karya yang besar. Jika dalam satu wadah lembaga pendidikan memiliki pemikiran besar tentu akan melahirkan sebuah kota pendidikan, bukan hanya sekedar transformasi ilmu, bukan semata-mata mencetak lulusan-lulusan baru, tapi sebuah peradaban besar akan muncul di wadah lembaga pendidikan ini. 

Peradaban dalam bahasa Latin, yaitu civitas yang artinya kota. Kota sendiri dideskripsikan sebagai wilayah yang memiliki karakteristik tata ruang yang baik dan rapih, sistem sosial dengan norma sosial yang dipatuhi oleh warganya, masyarakat yang memiliki ragam pekerjaan serta telah memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju ketimbang wilayah lainya. 

Civitas dalam lembaga pendidikan merupakan wadah aktivitas pendidikan dengan proses melahirkan, mengembangkan, dan mewariskan sistem pengetahuan agar bertahan dari krisis degeneratif pendidikan. Karena kita tahu, maju-mundurnya sebuah peradaban disebabkan pewarisan nilai-nilai pendidikan oleh guru kepada muridnya. Aktivitas yang berkelanjutan dan sinergi dengan nilai-nilai kebangsaan harus dipatuhi oleh seluruh elemen sekolah, baik itu guru, murid, pegawai, dan orang tua. Maka keseluruhan elemen yang bersatu padu untuk mewujudkan peradaban pendidikan, kami sebut Civitas Akademika.

Sekolah sebagai salah satu unit lembaga pendidikan, bertanggungjawab atas keberlangsungan nasionalisme bangsa Indonesia. Untuk menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa harus diwujudkan dalam aktivitas pendidikan di unit sekolah dalam bentuk aktivitas-aktivitas bernafaskan kebangsaan. Nilai-nilai kebangsaan yang telah tertanam kuat akan rapuh seperti bangunan rumah kayu diserang rayap. Maka penguatan kebangsaan harus semaksimal mungkin dirawat agar tetap kokoh.

Secara konteks historis, kesadaran kebangsaan ditandai dengan dibentuknya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang pada saat itu digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo kemudian didirikan oleh Dr. Soetomo dan para mahasiswa STOVIA. Budi Utomo menjadi pelopor organisasi awal pergerakan nasional, kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dll. Kehadiran organisasi ini secara massif melawan kolonial Belanda dengan cara berbeda sebelum tahun 1908, yaitu dengan peranan pers dan pendidikan.

STOVIA yang merupakan sekolah kedokteran era Belanda, menjelma menjadi civitas akademika yang menyadarkan akan pentingnya kebangsaan. Konstribusinya jelas untuk mewariskan kepada generasi selanjutnya untuk bersatu secara ideologis  dan menyuarakan melalui tulisan-tulisan bahwa masyarakat nusantara harus bangun bersatu. Padahal sekolah ini merupakan sekolah kedokteran, menyadari tugas kedokteran begitu berat tapi tidak menurunkan semangat nasionalisme organisasi ini.

Belajar dari kisah sejarah, mari refleksikan hari kebangkitan nasional dalam unit sekolah. Apakah selama ini sudah membangun Civitas Akademika? Bagaimana bentuk Civitas Akademika yang menyumbang kesadaran kebangsaan di unit sekolah? Dan apakah hasil yang telah dilakukan bisa dirasakan oleh seluruh elemen Civitas Akademika?

Untuk menutup tulisan ini, jangan jadikan sekolah hanya sebagai proses belajar mengajar, karena proses belajar mengajar hanya mengejar nilai semata. Tapi jadikan sekolah sebagai pusat peradaban dalam meregenerasi muridnya untuk memegang estafet Budi Utomo. Hari Kebangkitan Nasional adalah titik awal Indonesia merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun