Oleh: Rami Musrady ZainiÂ
Kecurangan itu mesti diuji bukan diasumsi. Sama halnya kebohongan.
Terkadang saya merasa aneh bahkan terkekeh. Ketika orang-orang yang mengumandangkan kecurangan dan kebohongan itu tidak pada tempatnya.
Meneriakan media tidak menginformasikan hal yang dirasa kebohongan, sementara di satu sisi, di pihak lain merasa terus memproduksi Video-video dan informasi yang kualitas kenetralannya juga bisa dipertanyakan.
Paska QC dipublikasi yang menyatakan indikasi pasangan 01 menang, Pihak 02 juga menyatakan menang berdasarkan indikasi RC internal. QC dan RC adalah metode atau cara memprediksi hasil, yang sama-sama diakui secara pengamatan ilmu pengetahuan.
Bersamaan dengan itu, di pihak 02 tidak meyakini (kurang percaya) hasil QC tetapi meyakini RC-nya.... Pihak 02 berpidato di depan publik untuk menunggu dan mengawal hasil KPU. Pihak 01 sedari awal untuk tetap menunggu hasil resmi KPU RI.
Disini ada sebentuk kesamaan. 'Menunggu' akan tetapi ada pihak yang benar-benar menunggu, sementara di pihak lain ada yang tetap mengumandangkan hasil-hasil kemenangan menurut apa yang diyakininya. Ditambah propaganda kecurangan dari lembaga resmi tersebut.
Saya jadi mengingat Baudrillard filsuf prancis dengan teori Simulacranya bahwa dalam konteks seperti ini apa yang salah dan yang benar bersatu padu. Dan kondisi-kondisi simulacrum seperti ini hanya dapat dilakukan oleh relasi-relasi kuasa. Oleh aktor politik. Relasi-relasi kuasa Disini bukan hanya berarti 01, tetapi pada pihak 02 juga. Sehingga Disatu titik tertentu kecendrungan menanggapi simulacrum akan membawa dampak kegilaaan.
Kegilaaan yang saya maksud disini merujuk pada Foucault seorang filsuf postmodernisme, ia menyatakan kegilaaan itu bukan pada masalah psikologi melainkan pada aspek moralitas yang diproduksi oleh kuasa.
Dalam ruang seperti ini- ruang pertarungan kuasa masyarakat yang tidak memiliki sabuk pengaman (akal yang logis bukan akan sehat) akan jatuh dalam pelukan simulacrum.