Oleh: Rami Musrady ZainiĀ
Orisinalitas, sudah sangat sukar didapati. Seperti berlian yang tertanam di dasar samudra. Entah mengapa hal ini sering terjadi.
Dahulu, waktu saya di bangku SD ada nama mata pelajaran keterampilan. Satu contohnya, membuat sapu lidi. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya biasanya seminggu.Ā
Di kampung saya pohon enau dan pohon kelapa banyak tersedia. Waktu seminggu itu, tentu ada waktu untuk membuat sapu lidi orisinil alias hand made, buatan sendiri.
Di bangku SMP juga demikian, ada mata pelajaran pertanian. Kebetulan ayah saya yang mengasuh. Kami diajari cara menanam sawi. Setelah teori, Kami masing-masing diberi benih untuk di rawat sendiri di rumah, tiba waktu ulangan sawi yang telah ranum hasil perawatan sendiri itu yang dibawa kembali di Sekolah. Dinilai, dan itulah yang menjadi nilai ulangan pertanian Kami ditambah sedikit nilai teori.
Sekarang saya juga telah memiliki anak, keduanya masih di Sekolah dasar. Saya tidak tahu persis mata pelajaran apa yang sebenarnya di ajarkan di Sekolah. Tetiba saja ada tugas di suruh Buat Pot, Buat layangan, Buat permainan enggrang, saya lupa yang lain lagi apa.
Saya tanya? Kapan di kumpul, jawab mereka "besok." Tahu kan apa yang terjadi, swalayan jadi pelarian. Tentu membuat Pot dalam sehari ini tidak mudah, membuat layangan dan enggrang dalam sehari di sini, di kota saya agak sulit. Di tambah tak ada panduan dari Guru bagaimana cara membuatnya. Sudah pasti dikemepetan itu orang tua yang memfinisingnya. Bukan murid lagi.
Dari saya yang SD sampai sekarang anak saya SD, ada nilai-nilai yang terpinggirkan dimana sebuah orisinalitas atau menjadi orisinalitas sudah sulit didapati, di mulai dari pendidikan yang serba instan - membuat segalanya berakhir instan. Hasil lebih diutamakan ketimbang proses. Ada rantai yang hilang.
Di lain tempat, di ruang-ruang sosial budaya, sebutlah di media sosial. Di Wa grup, Ā seorang Doktor yang sebentar lagi profesor, setiap hari membagikan tulisan pendek ukuran dua paragraf ke dalam Grup, yang tidak jelas sumbernya atau penulisnya. Suatu ketika ada seorang yang mendebat WA yang di sharing tersebut, sang Doktor itu marah dan membela mati-matian apa yang telah di sharingnya. Seolah-olah itu hasil pemikirannya.
Saya berharap dengan doktornya ia semestinya membagikan Buah-buah pemikirannya ke dalam grup, ketimbang membagi-bagikan pemikiran orang lain yang tidak jelas sumber kepustakaannya.
Di akar rumput lebih parah lagi, penyebar luasan sebuah informasi di media sosial seperti gelas yang pecah, terserak sehingga sulit tuk dicari puing-puingnya. Mana yang benar mana yang salah.Ā
Pembuatan argumentasi dan simpulan yang lebih menekankan kecepatan di jari ke timbang kecepatan otak menjadi etalase sendiri. Ditambah lagi Mekanisme kopi dan paste argumentasi sudah menjadi hukum yang umum. Tak diolah langsung ditelan, parahnya lagi disebarkan.
Fenomena seperti ini semakin mewabah di ajang pemilu yang baru saja selesai. Tebar dan lempar argumentasi yang tak berdasar menjadi lumrah. Alhasil Fitnah dan Hoax mendapat tempat yang damai.
Kita telah kehilangan nilai-nilai, orisinalitas dan kekaryaan kita perlahan-lahan mulai sirna. Benar kata Coen yang penulis itu, masyarakat kita selalu membicarakan hal-hal yang tanpa data, yang tak punya validitas.Ā
Lanjutnya, itu disebabkan oleh masyarakat kita yang malas membaca dan menulis. Najwa, si pemilik Mata Najwa dan duta baca Indonesia itu, dengan lirihnya menyebut minat baca negeri kita memang paling rendah dibanding negara lain.
Kiranya, disitulah semua bermula, rendahnya minat baca dan kualitas membaca pada akhirnya menuntun seseorang mengesampingkan orisinalitas mulai dari pikiran hingga tindakan.
Guru SD ku dan Ayahku adalah pengingat bahwa orisinalitas adalah jang oetama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H