Mohon tunggu...
Rami Musrady Zaini
Rami Musrady Zaini Mohon Tunggu... PNS -

Terkadang meluapkan gagasan ke dalam bait-bait kata terasa sulit, untuk tak dibilang sebagai penulis. Biarlah ku dinilai sedang iseng dalam menyusun sebuah gagasan. Dan inilah saya, yang tak pernah bijak dengan hari sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kematian

14 April 2019   16:30 Diperbarui: 14 April 2019   16:40 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DALAM seribu satu macam ulasan kehidupan, satu yang saya tahu kehidupan akan menggenapi 'kematianmu '.

Mati dalam keberbahasaan yang umum adalah kehilangan unsur kehidupan. Dan kematian adalah men-jadi mati.

Terserah dalam konteks apa kita menempatkan kata mati tadi. Hakekatnya ada makna kehilangan disana.

Suatu waktu saya membaca Goenawan Muhammad, sang sastrawan agung pujaanku, ia berkutat tentang kematian. Ia menunjuk mas Pram yang telah mendaku mati diusianya yang belum begitu senja. Ia telah kehilangan produktifitas menulisnya Dan kepercayaan dirinya dalam menatausahakan kata-kata setelah lama hingar bingar dalam penjara. Hingga tibalah kiriman mesin tik dari sahabatnya Sartre, nobelis kebangsaan prancis yang juga seorang filsuf pujaanku. Ia kembali hidup.

Di sela waktu yang lain, saya menjumpai salah seorang senior saya Di HMI yang tengah duduk sebagai pimpinan Di lembaga perwakilan rakyat. Dahulu, media mengabarkan ia telah mati, setelah prahara politik menderanya, naskah PAW dikirim ke rumahnya, tak hanya itu kecelakaan fisik juga menimpa dirinya. Mati mungkin, sedikit lagi menyapanya. Tapi tidak demikian dengan dirinya, dalam keyakinannya masih membaja jiwa kehidupannya. Ia melesat, dan kembali hidup.

Arman, nama seorang sahabat dan juga adik yang selalu berkunjung ke rumahku, mati juga merupakan pilihannya setelah cintanya kandas dalam skandal cinta segitiga, kedua kekasihnya memilih pergi dan meninggalkan sisa luka perih yang tak kunjung terobati. Ia pun memilih mati. Mati dalam pengasingan, hingga tuhan mengirimkan bidadari cantik dari utara pulau buton. Ia pun kembali hidup, dan melanjutkan kehidupannya.

Suatu ketika dalam naskah perjanjian baru Yesus dari nazareth mengabadikan kisah tentang tangannya yang menghidupkan orang mati, menghidupkan burung-burung yang terbelah hingga akhirnya melesat terbang, dan Di ceritra lain, kaisar Nero dari Romawi membakar kota roma hanya untuk menghidupkan inspirasinya yang diyakininya telah mati.

Kematian rupanya berkeliaran dalam rupa yang beraneka, mendompleng dalam kisi-kisi kehidupan. Tapi rupanya, kematian bukanlah hanya sebuah kodrat, tetapi jua seni penciptaan. Bukanlah jua soalan sang pencipta, tetapi dicipta dari makhluk yang diciptakan.

Melalui kehidupan kita memaknai sebuah kematian, dan dari itu saya hanya menyampaikan pesan bahwa kematian pun men-jadi pilihan, sisa sejauh mana kita mendefinisikan makna kematian itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun