Mohon tunggu...
Rami Musrady Zaini
Rami Musrady Zaini Mohon Tunggu... PNS -

Terkadang meluapkan gagasan ke dalam bait-bait kata terasa sulit, untuk tak dibilang sebagai penulis. Biarlah ku dinilai sedang iseng dalam menyusun sebuah gagasan. Dan inilah saya, yang tak pernah bijak dengan hari sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Rendra dalam Puisi-puisi Cinta

6 April 2016   13:24 Diperbarui: 6 April 2016   13:36 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto Rami Musrady Zaini"][/caption]

"Apa sebabnya daya pikat sawah tak habis-habisnya mengundang bajak untuk kembali?..."Karena di sawah sang Bajak bisa menemukan ekspresi dirinya yang penuh."..."Tugas bajak disini apa? Memuliakan kehidupan."

W.S. Rendra (1935-2009)

Kutemukan sebuah buku bersampul biru di jejeran rak buku di sebuah toko buku bergaya modern, buku dengan sampul desain postmodernisme itu bertuliskan 'Puisi-Puisi Cinta' karya pujangga agung W.S. Rendra.

Anggaplah aku terkaget, ketika buku itu terekam di sudut mataku. Sang Maestro seolah kembali hidup lewat sampul biru buku itu. Setidaknya ada empat hal yang terlintas dalam benak sahaya ketika mengingat Rendra. Pertama Teater, kedua pemberontakan, ketiga ke empat yang sedikit malu-malu kusebutkan adalah Wanita dan Romantisme.

Buku itu seperti mengulang penegasan-penegasan romantisme bukunya 'Ballada Orang-orang Tercinta.' Sebuah kesan-kesan cinta dalam puber pertamanya. Perhatikanlah:

Kesan romantisnya hidup saat kubaca halaman pertama, Ia seperti memulai memohon menyampaikan pesan cintanya dalam puisinya 'Permintaan'

Wahai, rembulan yang bundar
Jenguklah jendela kekasihku!

Ia tidur sendirian,
Hanya berteman hati yang rindu.

Puisi itu begitu hidup, hingga sahaya tak kuasa. Seperti turut dalam dagelan romantisme cintanya, bacalah sahaya juga dalam puisi 'Sepeda'

Aku harus mengendarai sepeda hati-hati
Menghindari jalan becek
Mematuhi aturan lalu-lintas
Sebab yang kupakai sepeda kekasihku

Dihalaman akhir, sahaya pun turut sedih mengakhiri kisah cintanya, melebihi kesedihan pungguk kepada bulan dalam puisi 'Barangkali Karena Bulan'

...Aku tulis sajak cintaku ini
Karena tak bisa kubisikkan kepadamu.
Rindu mengarungi Senin, Selasa, Rabu,
dan seluruh Minggu.
Menetes bagaikan air liur langit
yang menjadi bintang-bintang.

...Ma, tubuhmu yang lelap tidur
terbaring di atas perahu layar
hanyut di langit
mengarungi angkasa raya.

Sungguh Rendra engkau tetap menyimpan daya magis dari sehimpun puisi-puisimu. Engkau begitu dalam memaknai cinta dan Wanita.

Mejumpamu seperti keabadian, menuliskanmu seperti air yang mengalir, dan membacamu seperti duduk berdua denganmu. Duhai guru Rendra, saya bersimpuh dan memohon kepadamu. Luruskan dan cerahkan jiwa saya lagi, dan lagi.

Kendari, 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun