Sore itu didinginnya udara Moskow surat itu datang, entah kenapa begitu lusuh dan kusam, ku buka pelan-pelan karena surat ini dari pujaan hati, jantungku berdebar dan tanganku bergetar, seraya dalam hati berbisik, "Aku kangen kamu".
Ternyata bukan hanya amplop yang lusuh, tetapi aku dapati kertasnya yang ditulis juga lusuh dan bahkan tidak terbaca sama sekali karena dibasahi air mata dan kemasgulan, cuma satu yang jelas terlihat, "mas, aku udah menikah".
Lima tahun aku menunggu dan memimpikan bertemu, sengaja tiga bulan terakhir aku tidak mengirimkan surat untuk segera menyelesaikan tesisku dan diam-diam pulang dengan kejutan, sambil membayangkan gamelan kebo giro mengiringi langkah kita ke pelaminan.
Surat ini adalah pertanda kiamat dan mencabut separo jiwaku, hilang musnah entak kemana, aku goncang dan tidak tahu harus berpegang apa, seperti terjun bebas di sumur kelam tidak berdasar, seraya menetaskan air mata.
Pangkat letnan dipundakku tidak bisa menahanku untuk jatuh terduduk lemah tak berdaya, sementara salju turun pelan seperti enggan menyentuh lantai halaman Gereja Saint Petersburg.
aku pandang jendela, melihat salju lucu itu turun pelan, resah menyentuh tanah, seakan memakan waktu selamanya. Dunia berhenti seketika, dikamar dingin dan tembok tebal, pikiranku melayang dengan senyum manis, lambaian tangannya, manis tutur kata anak priyayi jawa ini, keadaan memaksa kita berpisah jalan, mencabut rasa cinta yang tidak akan pernah hilang, berdarah.
Pagi itu aku keluar dari ruang dingin kamarku menuju  sambil menggenggam surat ini laksana mimpi berjalan menuju taman universitas, Sambil mengusap cincin di jari manisku,  aku menangis sendirian dipeluk dinginnya udara dan hembusan angin musim dingin menerpa wajahku, membuat airmataku beku dan terpaku.
Tanpa aku sadari, ada seorang wanita memperhatikan ku dan beranjak mendekatiku "Hai kamu kenapa Pras?" kata swetlana.
Seraya tercekat, aku menjawab "Putri meninggalkanku".
Tangan lembutnya mengusap punggungku tanpa kata tanpa suara, sedikit meredakan sakit dihatiku, tapi tidak akan pernah mengobati luka dalamku, "I love her, so much".
"I know", timpalnya. "Kamu sudah berulang kali bercerita tentangnya". "jadi aku sudah tau semua", Swetlana menjawab tanpa menatapku, seraya memandang kosong pepohonan didepannya.