Mohon tunggu...
Harry Puguh
Harry Puguh Mohon Tunggu... Administrasi - Sustainability Profesional

Saya bekerja di lembaga swadaya masyarakat selama lebih dari 20 tahun dan sekarang bekerja dibidang sustainability

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jakarta oh Jakarta

14 April 2021   13:40 Diperbarui: 14 April 2021   16:48 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi penulis

Baru-baru ini Jakarta menjadi urutan nomer 20 kota paling mahal untuk dihuni, masuk dalam group kota-kota yang mungkin menjadi bagian dari mimpi kita untuk kita kunjungi, Hongkong, New York, San Fransisco, Geneva, dll.

Merenungkan kembali, ketika kota makin diimpikan untuk ditinggali menjadi tempat dimana kita harus mengeluarkan banyak biaya untuk tinggal dikota itu.

kita bisa membayangkan betapa nyamannya kota itu, betapa modernnya kota itu, pelayanan yang paripurna serta penghasilan yang cukup untuk kita bisa hidup dan tinggal.

Saya menjadi teringat ketika teman saya yang masih muda, dengan penghasilan yang tinggi, bersama suaminya, baru-baru ini berencana membeli rumah untuk tempat tinggal. Dan harus menyerah dengan membeli rumah mungil di pinggiran Jakarta seharga 1.4 M dengan cicilan 10 jt per bulan. 

Dengan penghasilan yang cukup besar, dia hanya bisa mendapatkan rumah di pinggiran jakarta dengan harga yang sangat mahal, sementara banyak sekali rumah-rumah ditawarkan dengan harga selangit, minimal empat miliar untuk mendapatkan apartemen baru ditengah kota, apalagi rumah, bisa berharga puluhan miliar.

Dan tetap dengan harga segitu, masih banyak orang yang mampu membelinya, mungkin dengan mudah mereka membelinya, dan kita tidak tahu siapa mereka itu yang mampu membeli rumah atau apartmen seharga itu.

Pekerjaan apa yang memungkinkan kita membeli rumah seharga itu? itu pertanyaan yang selalu kita diskusikan, ataukah pekerja korporasi seperti kita sanggup membelinya? saya yakin tidak ada untuk orang bisa supaya sanggup membelinya.

Kalau masih saja menjadi pekerja korporasi, kita yakin seumur hidup kita akan sibuk dengan membayar cicilan mobil, cicilan rumah, pinjaman koperasi di kantor kita, sampai pada saat pensiun, kita cuma memiliki aset di pinggiran kota Jakarta, kehilangan banyak teman dan sendirian. 

Pada saat itu kita kebingungan menbayar pajak rumah, pajak kendaraan, menganggur disaat usia masih produktif serta kesepian karena kita cuma hidup dengan pasangan kita di kota besar yang dingin.

Miris memang, kita bekerja bertahun-tahun bahkan dengan sikut-sikutan, berjibaku dengan macetnya jakarta, menghadapi bos yang kurang menyenangkan, berakhir dengan tabungan sekadarnya, rumah satu-satunya dipinggiran dan mobil yang pajaknya menggerus tabungan tanpa tambahan penghasilan lain.

Hal itu yang membuat kita harus berpikir, bagaimana agar pensiun dari pekerjaan korporasi kita masih bisa aktif bekerja produktif, sehingga kita perlu strategi yang jitu untuk memiliki kebebasan finansial dan menjadi bagian dari industri, jangan menjadi pekerja selamanya. 

Keluar dari jerat cicilan adalah hal pertama yang harus kita lakukan, ketika uang kita lebih, jangan perpikir untuk membeli sesuatu karena kenyamanan dan kemewahan, jangan berpikir membeli mobil, membeli barang-barang mewah, liburan keluar negeri karena teman-teman kita melakukannya dan memilikinya.

Investasikan uang kita ke hal-hal yang produktif, seperti kursus bisnis sehabis bekerja, mengejar lisensi pelatih cabang olahraga, membuka warung sesuai keahlian kita,  belajar bisnis supaya menginvestasikan uang lebih kita ke saham yang prospeknya bagus di jangka panjang, banyak hal yang bisa kita lakukan disela pekerjaan korporasi, dan satu hal, kemewahan itu jerat setan, percayalah.

Hiduplah sederhana selama kita masih produktif dan investasikan uang kita ke hal-hal yang penghasilkan, supaya kita bisa memastikan masa pensiun kita adalah kebebasan kita dari pekerjaan rutin korporasi dan mempunyai aktifitas atau bisnis produktif sendiri.

Karena mahalnya Jakarta bukanlah tempat yang ramah buat pensiunan tidak produktif dan kesepian. Semakin maju suatu kota semakin kejam buat kita, apalagi ketika kita tidak mempunyai strategi untuk menaklukannya.

Selamat berjuang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun