Pergeseran paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk menentukan kebijakan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pembangunan didesentralisasikan mengacu pada beragamnya keinginan dan harapan masyarakat, yang kadang-kadang program pemerintah pusat tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat daerah. Untuk memaksimalkan pembangunan agar dapat menyentuh kebutuhan dan kepentingan masyarakat di daerah, maka pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang otonomi daerah. Dari segi kemasyarakatan tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan pemberdayaan (empowerment) masyarakat sehingga masyarakat makin mandiri (selfsustain) dan tidak terlalu bergantung kepada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhan (Koswara, 2001: 93-94). Persoalannya adalah apakah program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, sudah sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat di daerah? Dan apakah program pemerintah daerah telah menciptakan keadilan bagi semua penduduk yang tinggal di perkotaan? Bisa jadi program yang dilaksanakan hanya bermanfaat bagi segelintir orang, yang memanfaatkan kekurangan SDM di daerah tersebut.
Kemajuan di bidang ekonomi di dalam masyrakat kota selalu di identikkan dengan perubahan dalam pola konsumsi dan gaya hidup yang sangat berlebihan dan bermewah-mewahanan. Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.
Seperti halnya dengan perkembangan kota di dunia bahwa kapitalisme menjadi Pendorong suatu kota untuk berkembang dan maju dengan pesat. Modal besar dan investor Asing akan masuk dengan mudah karena ada kesempatan untuk membuka pasar baru yang Lebih besar dan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari tempat baru itu. Di kota Besar kemajuan ekonomi perkotaan selalu di dukung dengan pusat-pusat perbelanjaan,mall, Hotel, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Kapitalisme akan tumbuh subur ketika Daerah membebaskan pemilik modal dari manapun untuk menanamkan investasinya di daerah Tersebut, yang terjadi adalah masyarakat yang menengah ke bawah akan mendapatkan imbasnya karena suatu pembangunan besar di suatu kota pastilah ada penggusuran besar-besaran dan akan menghambat kehidupan perekonomian masyrakat menengah ke bawah. Masyarakat menengah-ke bawah akan menjadi budak para pemilik modal karena mereka Halnya sebagai pekerja kelas bawah dan hanya di beri gaji yang minim dalam pekerjaannya ,yang di untungkan dalam hal ini hanyalah orang-orang yang punya kepentingan dan jabatan tinggi di pemerintahan daerah, seperti DPRD, Kepala daerah, walikota, bupati, gubernur, dan para birokrasi pemerintah.
Pembangunan perekonomian di kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta terkenal dengan kota budaya dan seni dan juga sebagai kota pendidikan yang terkenal dari tingkat nasional sampai internasional. Dengan membuminya Nama Yogyakarta maka banyak turis dari turis lokal dan turis mancanegara membanjiri kota Yogyakarta apabila ada hari libur nasional atupun libur panjang, dengan banyaknya pengunjung tiap tahun di kota Yogyakarta maka pembangunan kota pun sangat gencar seperti pembangunan Mall, Hotel, tempat Shooping, dan infrastruktur kota sehingga Yogyakarta yang awalnya kota budaya menjadi kota komoditas yang sangat menjanjikan bagi pemilik modal untuk menanamkan modalnya di Yogyakarta. Hal ini akan sangat menguntungkan kaum borjuis dan pemilik modal besar yang akan mencari keuntungan sebesar mungkin dari kekayaan budaya dan seni yang di miliki oleh Yogyakarta.
Kapitalisme, sebagaimana yang dirumuskan Werner Sombart dan diperkuat Wallerstein, adalah sistem ekonomi yang dikuasai dan diwarnai peranan modal, yang di dalam pandangan ekonominya didominasi oleh tiga gagasan, yaitu: usaha untuk memperoleh dan memiliki, persaingan, dan rasionalitas (nilai efisiensi kerja). Dalam sistem ini akumulasi modal (keuntungan) yang tanpa akhir telah menjadi tujuan dan menguasai hukum ekonomi. Dari sinilah, sistem ini mensyaratkan faktor individualisme yang menuntut kebebasan yang leluasa dan dengan free fight competition-nya menempatkan negara hanya sebagai “penjaga malam” saja (dilarang ikut campur) (Azhar, 1996; Rahardjo, 1991). Mengingat individualisme begitu inhern dalam sistem ekonomi ini, maka dalam prakteknya menimbulkan eksploitasi masyarakat oleh sekelompok kecil. Sehingga faktor sosial dikesampingkan. Manusia menjadi tercabut dari akar sosialnya.
Perubahan haluan perekonomian kota Yogyakarta dari ekonomi kerakyatan tradisional berubah ekonomi kapitalis membuat masyarakat bawah terkena imbas yang luar biasa mereka menjadi pekerja rendahan dengan gaji yang sangat minim sehingga untuk menghidupi diri sendiri saja sangat sulit apalagi untuk menghidupi keluarga. Masyarakat bawah tertindas dengan pola kapitalis yang ada sekarang pusat perbelanjaan, mall, supermarket, dan hotel terbangun dengan megah mereka kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan mereka karena pembangunann tersebut. yang di untungkan hanyalah pemilik modal dan juga pejabat tinggi di daerah yang saling berkompromi untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari pembangunan ekonomi kota. Pemerintah daerah seolah lupa jati diri masyarakat Yogyakarta mereka tergiur oleh uang yang besar dari para kapital-kapital yang ingin menanamkan modalnya di sini. Dengan dalih mengurangi jumlah kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan baru dari pembangunan ekonomi di Yogyakarta, masyarakatmiskin menjadi semakin miskin, kota menjadi lahan kapitalisme pemilik modal, dan rumah-rumah warga tergusur untuk membangun hotel dan pusat perbelanjaan, sehingga kehidupan mereka semakin susah sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja dengan para kapitalis dengan upah yang sangat rendah jauh dari UMR yang ada. Rata-rata gaji para karyawan di Yogyakrta hanyalah 900.000 ke bawah. Itu sangat rendah apabiola di bandingkan kota-kota besar lainnya di nusantara.
Apabila ingin membangun kota tanpa sistem kapitalis seharusnya masyarakatharus dilibatkan banyak dalam pembangunan pariwisata di Yogyakarta. Seperti apabila ada turis yang butuh penginapan atau temapat istirahat pemerintah menunjuk rumah-rumah penduduk atau rumah-rumah kuno yang itu akan malah bisa di nikmati oleh masyrakat Yogyakarta. Meminimalisasi pembangunan hotel-hotel dan perbelanjaan mall itu secara tidak langsung akan menggusur para masyrakat bawah dan menghiolangkan mata pencaharian mereka. Hanya golongan elit saja yang akan merasakan dampak pembangunan itu sendiri. Sebuah kontradiksi ketika kota yang berbasisi kebudayaan berubah menjadi kota berbasis ekonomi kapitalis, ketika pemerintah daerah malah ikut dalaam menindas kaum kelas bawah siapa lagi yang akan membantu mereka untuk keluar dari jalur kemiskinan?
Ketika pemilik modal dan pemerintah bersatu maka masyrakat bawah akan di rugikan dengan kebijakan dan pembangunan yang di buat oleh mereka. Pemerintah daerah hanyalah boneka para kapitalis yang ingin mencari keuntungan sebesar mungkin di daerah dan masyrakat bawah pada akhirnya hanya sebagai budak dan pekerja rendahan yang di beri upah minimum yang tidak sebanding dengan pekerjaan mereka. Pembangunan kota dengan jalan kapitalisme selalu akan menghancurkan perekonomian kelas bawah sudah seharusmya perekonomian berbasis kemasyarakatan dan juga kesetaraan harus di galakkan karena kalau kapitalis meraja lela rakyat kecil yang menjadi korbannya sementara pemerintah daerah akan memiliki keuntungan yang berlipat ganda dari pengurusan perizinan dan juga penandatanganan proyek dan masayrakat bawah akan senantiasa tertindas dengan system kapitalis yang hanya memeras tenaga mereka dengan tidak manusiawi. Kesetaraan ekonomi dan juga pembangunan kota yang melibatkan masyarakat itu akan jauh lebih baik dan bisa di rasakan semua kalangan masyarakat terutama kelas bawah akan mendaptkan penghidupan lebih baik, dan walaupun masih ada kesenjangan akan tetapi kesenjangan kelas itu tak akan separah dengan sistem kapitalis di zaman sekarang.
Data-Data pertumbuhan pembangunan dan ekonomi di Yogyakarta
Tabel 1 Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Status Peruntukan Lahan
Tahun 2007-2010 Kota Yogyakarta
Tahun
Jenis penggunaan lahan ( Ha)
perumahan
Jasa
Perusahaan
Industri
Pertanian
Non produktif
Lain-lain
jml
2007
2.104,357
275,467
275,617
52,234
134,052
20,113
388,160
3.250
2008
2.106,338
275, 562
277,565
52,234
130,029
20,041
388,160
3.250
2009
2.105,108
275, 713
284,498
52,234
124,166
20,113
388,118
3.250
2010
2.105,391
279,373
286,138
52,234
118,591
20,113
388,160
3.250
Sumber Data : Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta/ Kota Yogyakarta Dalam Angka 2007-2011
TABEL 2 Nilai dan Kontribusi dalam PDRB Berdasarkan Harga Konstan
Kota Yogyakarta Tahun 2007-2010 (dalam jutaan rupiah)
No
Sektor
2008
2009
2010
(RP)
%
(RP)
%
(RP)
%
A
Pertanian
18.140
0,36
17,359
0,33
17.455
0,32
B
Pertambangan dan penggalian
258
0,01
265
0,01
272
0,01
C
Industri pengolahan
543.050
10,82
549.574
10,48
594.845
10,80
D
Listrik, gas dan air bersih
65.488
1,3
67.212
1,28
68.726
1,25
E
Konstruksi
412.972
8,22
413.965
7,89
426.739
7,65
F
Perdagangan, hotel dan restoran
1.253.972
25
1.332.070
25,4
1.393.111
25,30
G
Pengangkutan dan komunikasi
984.783
19,61
1.005.067
20,12
1.098.385
19,94
H
Keuangan, sewa, dan jasa perusahaan
696.816
13,88
731.975
13,96
770.658
14
I
Jasa-jasa
1.046.615
20,84
1.077.364
20,54
1.135.751
20,63
J
PDRB
5.021.149
100
5.244.851
100
5.505.942
100
Sumber : BPS Kota Yogyakarta, 2010
nilai dan kontribusi sektor dalam PDRB yang didasarkan pada harga berlaku, sektor jasa-jasa adalah sektor yang memberikan sumbangan terbesar yaitu 24,63% pada tahun 2007 dengan nilai Rp2.118.045.000.000,- dan meningkat menjadi 24,77% pada tahun 2010 dengan nilai Rp2.908.302.000.000,-. Pada tahun 2010 sektor-sektor lain yang memberikan sumbangan yang besar terhadap PDRB Kota Yogyakarta yang didasarkan pada harga berlaku adalah sektor perdagangan, hotel dan restauran 23,65%, serta sektor pengangkutan dan komunikasi 16,04%. Sumbangan PDRB terendah berdasarkan harga berlaku berasal dari sektor pertambangan dan penggalian yaitu 0,01% pada tahun 2007 dengan nilai sebesar Rp. 497.000.000,- dan pada tahun 2010 dengan persentase yang sama yaitu 0,01% dengan nilai Rp 566.000.000,-. Dan sektor-sektor lain yang mengalami penurunan pada tahun 2010 yaitu sektor pertanian 0,28% , sektor industri pengolahan 10,01%, sektor konstruksi 8,08%, sektor listrik, gas dan air 1,83%.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sektor penyumbang PDRB terbesar di Kota Yogyakarta. Keberadaan sektor ini tersebar hampir diseluruh kecamatan di Kota Yogyakarta. Jika melihat sumbangan PDRB pada setiap kecamatan di Kota Yogyakarta, maka, masing-masing kecamatan memiliki nilai dan kontribusi yang berbeda beda terhadap PDRB Kota Yogyakarta. Berdasarkan pada harga konstan dan harga berlaku, Kecamatan Umbulharjo adalah kecamatan yang memberikan sumbangan yang besar bagi PDRB Kota Yogyakarta. Sektor yang berkembang pesat di Kecamatan Umbulharjo antara lain sektor jasa, sektor pengangkutan dan telekomunikasi, sektor bangunan, serta sekto keuangan, sewa dan jasa perusahaan. Kecamatan Umbulharjo berdasarkan harga berlaku pada tahun 2007 menyumbang 23,089% sedangkan pada tahun 2010 sebesar 23,086%. Dan untuk kecamatan lain yang memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB Kota Yogyakarta yaitu Kecamatan Gondokusuman (17,151% pada tahun 2010) dan Kecamatan Danurejan (9,109% pada tahun 2010). Sedangkan untuk pertumbuhan
PDRB Kota Yogyakarta dari tahun 2007 cenderung meningkat yaitu 4,37% pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 4,98% pada tahun 2010.
D. Analisis Perkembangan Ekonomi dan Masyarakat Yogyakarta
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perkembangan ekonomi Yogyakarta sangat pesat apalagi dengan pembanguan Mall,Hotel, Jasa dan industri lain akan tetapi tanah pertanian tiap tahun malah menuru ini membuktikan dengan pembangunan besar-besaran yang di lakukan oleh kapitalis selalu merugikan rakyat kecil dan lapangan kerja para petani menjadi hilang. Dengan kasus seperti ini pemerintah daerah Yogyakarta mau berbuat apa lagi? Mereka sudah tak bisa apa-apa lagi karena para kapitalis telah memberikan dana yang besar untuk mereka agar mengizinkan pembangunan ekonomi di Yogyakarta. Marx berkata kapitalis akan selalu ada apabila system perbudakan di dunia ini masih ada selama masyrakat masih terbagai dengan kelaskelas sosial kapitalisme akan selalu hidup dalam kegiatan kehidupan manusia. Marx juga mengemukakan bahwa harus ada kesadaran kelas yaitu masyrakat yang tertindas ioleh sistem kapitalis mereka haruslah bersatu dan membuat massa yang besar akan tetapi kesadaran kelas ini bisa terwujud apabila adanya massa yang kuat, media, keinginan politik dan ekonomi yang sama juga pemerintah yang kooperatif.
Akan tetapi di kota yogyakarta masyarakat tak mempunyai hal-hal untuk melakukan kesadaran kelas karena mereka hanyalah kaum proletar yang tak punya kekuasaan apa-apa apalagi di antara orang ploretal itu belum ada kesamaan pandangan mereka juga sebagian besar juga bekerja sebagai buruh di perusahaan orang kapitalis, yang kita lihat sekarang pemerintah Yogyakarta sea akan-akan sewenang-wenang untuk membangun segala perekonomian seperti Mall, Hotel,danJasa serta dengan adanya pembangunan tersebut masyarakat kecil di rugikan dengan pembangunan besar-besaran tanah atau sawah mereka semakin berkurang tiap tahun. Produksi pertanian semakin menurun karena kurangnya lahan petani sangat dirugikan apalagi kalau petani itu hanyalah buruh suruan tuan tanah betapa tidak manusiawinya dan tidak ada kepedulian sosial pemerintah kota Yogyakarta akan nasib para petani kecil tersebut. Ketika kapitalisme sudah masuk pastilah pejabat publik dan juga pemilik modal serta tuan tanah akan enerima keutungan yang sangat besar apalagi Yogyakarta merupakan kota tujuan wisata dan juga pendidikan jadi tiap tahun pastilah masyrakat nasional dan internasional selalu akan berkunjung ke jogja. Konflik antara orang ploletar dan kaum borjuis tidak akan pernah berakhir selama kapitalisme itu masih hidup di dalam suatu kota.
Memang benar yang dikatakan oleh Karl marx bahwa sejarah manusia hanyalah konflik dengan sesame manusi sendiri, dan konflik untuk memeprebutkan kelas-kelas sosial serta perebutan kepemilikan modal di dalam suatu masyarakat.
Ketika pemilik modal dan pemerintah bersatu maka masyrakat bawah akan di rugikan dengan kebijakan dan pembangunan yang di buat oleh mereka. Pemerintah daerah hanyalah boneka para kapitalis yang ingin mencari keuntungan sebesar mungkin di daerah dan masyrakat bawah pada akhirnya hanya sebagai budak dan pekerja rendahan yang di beri upah minimum yang tidak sebanding dengan pekerjaan mereka. Pembangunan kota dengan jalan kapitalisme selalu akan menghancurkan perekonomian kelas bawah sudah seharusmya perekonomian berbasis kemasyrakatan dan juga kesetaraan harus di galakkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H