Nasionalisme bukanlah something given dan statis, melainkan sesuatu yang harus dibentuk dan dinamis. Secara historis, tidak ada yang bisa menolak bahwa Indonesia sebagai entitas kebangsaan merupakan sesuatu yang baru. Nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan - sebagai antitesa terhadap dominasi kolonialisme Belanda - oleh kelompok masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas masing-masing yang terpisah, baik secara suku, agama, ras, dan kelompok yang banyak.
Dasar pemikiran itulah yang menyebabkan Ernest Gelner menyebutnya sebagai bagian dari high culture and invented tradition. Sebagai sebuah ikatan kebangsaan, entitas Indonesia tidak pernah ada sebelumnya, dan baru muncul pada awal abad ke 20 serta mencapai puncaknya ketika sebuah nation-state diproklamasikan pada tahun 1945. Sejak saat itu semua penduduk yang ada di bekas wilayah Hindia Belanda kemudian menyebut dirinya bangsa Indonesia dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, secara sosiologis perkembangan kebangsaan Indonesia harus dilihat lebih rasional dan obyektif - tidak hanya fokus pada ideologisasi dan mitologi historis - sebagai suatu proses yang unfinished project.
Globalisasi artinya “garis besar” atau kesejagatan. Era sekarang disebut globalisasi karena seluruh dunia dalam garis besar yang sama, dalam model yang sama, produksi yang digunakan-pun sama, dan sebagainya. Realitas demikian disebabkan semua bangsa dan negara di dunia ini menerima informasi yang sama, sehingga terjadi keseragaman dalam banyak hal. Fenomena ini merupakan kontribusi dari kecanggihan teknologi informatika.
Alvin Toffler, penulis “The Power Shift” berpendapat bahwa saat ini dunia berada pada gelombang ketiga (the third wave), yaitu adanya revolusi informasi. Pada tahapan ini basic power terjadi pergeseran (shift), yaitu bertumpu pada mind atau rasio. Sedangkan pada gelombang kedua atau revolusi industri, basic power bertumpu pada money. Adapun gelombang pertama atau revolusi pertanian, basic power bertumpu pada otot (muscle). Sejalan dengan konteks diatas, maka terdapat dua ( 2 ) ciri pokok globalisasi, yaitu transparansi (the end of scret), dan persaingan bebas atau liberalisasi.
Selanjutnya, para ahli merisaukan dampak negatif dari globalisasi yang mereka sebut “the human cost of globalization”, yaitu : Pertama, hilangnya keragaman dan menstandarisasi kehidupan. Manusia hanya sebagai sekrup dari mesin raksasa yang menghilangkan spontanitas dan kebebasan, sebab manusia harus hidup seperti mesin. Kedua, munculnya fragmentasi , spesialisasi dam kuantifikasi. Ongkos yang harus dibayar dari kenyataan ini mengakibatkan pekerjaan kehilangan makna. Ketiga, ia melahirkan impersonality dan manipulasi.
Keempat, ia seringkali berkembang tanpa kendali, sehingga membuat masyarakat powerless dan hopless. Kelima, ia juga menyebabkan alienasi dari Tuhan, sesama manusia, dan eko-sistem. Dalam keadaan teralienasi ini manusia mengalami stress, dan frustasi. Di lain pihak, pada dasarnya globalisasi, rasa etnisitas, dan primordialisme kelompok adalah sesuatu yang bersifat genuine, karena merupakan bagian dari proses dialectic of potencial and will. Untuk itu, agar dampak negatif tersebut tidak semakin kuat seharusnya dieliminir atau paling tidak diminimalisir, sehingga diperlukan blue print of behaviour atau design for living. Dalam perspektif inilah kajian nation dan globalisasi tidak bisa dipisahkan dari pemahaman yang mendalam tentang multikulturalisme.
Secara sosiologis, NKRI dengan keanekaragaman suku, agama, dan budayanya masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi, politik, dan kemiskinan. Semua realitas empirik tersebut berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik di tengah masyarakat. Lebih dari itu, tanah dan kekayaan sumber daya alam serta daya dukung lingkungan yang semakin terbatas dapat juga menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan, maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat bawah.
Selain dari pada itu, identitas kebangsaan saat ini mejadi lebih kompleks dari pada sebelumnya, dikarenakan adanya masyarakat global (transnational society), yang mulai menafikan simbolisasi kebudayaan menurut mazhab imagining nation. Karenanya multikulturalisme adalah pilar kuat yang harus selalu dijaga kelestariannya. Pada dasarnya bangsa Indonesia adalah reperesentasi masyarakat pluralis dan multikultural.
Itulah kenyataan riil yang tidak bisa ditolak, dan sejarahpun mencatat bahwa Indonesia adalah sebuah ruang yang “nyaman” bagi keinginan umum terlaksananya jalinan pertalian dalam masyarakat pluralis sekaligus multikultur. Artinya, Indonesia adalah ruang untuk saling menyapa atas segala bentuk perbedaan berdasarkan pada pluralitas itu sendiri. Semangat Bhineka Tunggal Ika dalam lambang kenegaraan merupakan bukti bagi terbentuknya ikatan batin yang menyemangati keinginan untk hidup bersama secara damai tanpa dilibatkannya unsur-unsur perbedaan dalam suasana kebatinan berbangsa-bernegara.
Namun, sampai hari ini ruang yang bernama Indonesia tersebut juga masih sering terkoyak dengan hadirnya sejumlah peristiwa konflik-konflik horizontal yang berdimensikan pluralitas, semisal suku dan agama. Konflik antar etnis diakui memang mengedepan dalam sejarah kita, ketika memasuki masa transisi ini. Dari soal konflik di Papua yang dinuansakan sparatisme sampai konflik yang bernuansa suku dan agama, serta antar kelompok yang ironisnya belum terseleseikan secara tuntas. Berbagai realitas konflik antar agama, etnis dan antar golongan tersebut memunculkan sejumlah problem yang berkaitan dengan landasan kebangsaan kita yang didasarkan pada keragaman. Minimal konsep nation-state yang selama kita anut seolah hanya bergerak pada ranah “retorika” belaka, karena dalam realitasnya, secara empirik bangsa ini masih dihadapkan pada kesadaran yang rendah atas pluralitas dan keanekaragaman budaya. Sebagai sebuah bangsa, mozaik kebersamaan itu nyaris gagal menjadikan negeri ini sebagai tempat yang aman untuk saling menyapa satu sama lain. Dalam konteks ini, wajarlah jika ada pengamat yang memberikan kritik atas pemahaman kebangsaan, bahwa pada dasarnya kita “sedang belajar” menjadi sebuah bangsa.
Lebih lanjut, nasionalisme tersebut tidak dapat dipahami hanya dengan menyatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, tediri dari berbagai suku, agama, dan berbagai kelompok yang terkesan adanya fragmentasi. Nasionalisme juga tidak boleh dipahami sekedar untuk menyingkirkan fanatisme. Nasionalisme adalah pertalian sejati tentang kebhinekaan dalam ikatan keadaban (genuine engagement of diversities whitin the bonds of civility). Bahkan solidaritas dalam keragaman adalah suatu keharusan bagi keselamatan semua makhluk (rahmatan lil’alamin) yang harus dipertahankan melalui mekanisme perawatan dan pengawasan yang dijiwai oleh ruh keseimbangan dan kesederajatan.
Multikulturalisme adalah sebuah paham dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis maupun agama. Ia merupakan konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun, multikulturalisme sebagai roh nasionalisme yang diidealkan dalam “kebijakan politik” seringkali justru berlawanan dengan realitas sosial yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya hingga saat ini membincangkan multikulturalisme sebagai pilar nasionalisme masih menjadi wacana yang penting dan menarik. Hal ini tidak lain berkenaan dengan bagaimana suatu proses penyaluran aspirasi masyarakat yang majemuk, tidak hanya berkaitan dengan konstruksi identitas nasional melainkan juga berkaitan dengan distribusi kekuasaan dan implementasinya bagi kesetaraan akses publik kelompok-kelompok yang majemuk tersebut.
Karenanya, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi memiliki dimensi politik dan dimensi kebudayaan. Di dalamnya, penghargaan atas keberagaman budaya menjadi mainstream sosial. Dalam pengertian secara politik, multikulturalisme merupakan kebijakan terhadap perlindungan keaneragaman latar belakang identitas kolektif (etnis, agama, dan ras) di dalam suatu negara-bangsa. Penerjemahan lebih lanjut dari multikulralisme sebagai sebuah kebijakan politik tercermin dalam peran pemerintah sebagai penyedia (provider) dan penjamin (guarantor) bagi distribusi keadilan sosial untuk kesetaraan akses tanpa pengecualian. Sedangkan di dalam dimensi kebudayan, multikulturalismme merupakan konstruksi sosial terhadap kesadaran untuk melihat keragaman identitas kolektif di dalam relasi sosial yang bersifat mutual serta memahami unsur-unsur yang bersifat tidak setara (incompatible) dalam masing-masing identias kolektif suatu kelompok yang sangat potensial memicu terjadi konflik sosial.
Dalam perspektif ini, multikulturalisme mejadi pilar penting bagi tumbuhnya sense of nationalism. Disinilah Anderson (1983) mengajukan tesisnya bahwa “bangsa” adalah komunitas-komunitas imajiner (imagined political communities) yang proses kelahiran dan keberlangsungannya dikonstruksikan secara politis melalui praktek-praktek kebudayaan. Dalam proses pemaknaan nasionalisme tersebut Stuart Hall (1992) menyebutkan terdapat lima elemen yang harus diwujudkan, yaitu : (1) narasi tentang ide suatu bangsa yang tercatat dalam sejarah resmi, (2) penekanan terhadap akar kebudayaan, kelangsungan, dan pemeliharaan tradisi, (3) penemuan tradisi baru, (4) peletakan pondasi mitologis, (5) serta gagasan mengenai rakyat jelata. Berikut beberapa catatan reflekstif yang bisa kita jadikan pertimbangan dalam rangka memperkuat nasionalisme dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 :
Pertama, hendaknya dihindari pemaknaan NKRI yang didominasi oleh wacana kelompok mayoritas yang akan melahirkan jebakan identitas (identity trap) dimana kelompok dominan yang menerjemahkan kepentingan mereka terhadap resorsis politik dengan mengabaikan keragamnan nilai yang ada pada kelompok minoritas.
Kedua, hendaknya selalu dijaga bahwa setiap individu memiliki dua kepentingan utama atas kebebasan (freedom), yaitu (a) kebebasan untuk mengarahkan kehidupan mereka menurut nilai-nilai yang mereka anut tanpa “rasa takut” terhadap bentuk-bentuk diskriminasi atas nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Dan (b) kebebasan untuk mempertanyakan berbagai kepercayaan dan menguji suatu sistem nilai menurut informasi dan argumen yang disediakan oleh budaya yang melingkupi seseorang dalam suatu komunitas.
Ketiga, globalisasi, jelas akan mempengaruhi pandangan hidup, sikap, dan perilaku manusia Indonesia; serta selanjutnya bisa menyebabkan adanya disintegrasi bangsa. Namun dengan memahami dampak negatif globalisasi kita justru bisa “me-reintegrasi” sosial sebagaimana tesis Fukuyama, yaitu re-ordering of society.
Keempat, multikulturalisme yang diadopsi sebagai kebijakan politik harus menghindari penyamaran potensi-potensi laten dari suatu bentuk hegemoni budaya. Multikulturalisme yang hanya bersifat permukaan belaka (superficial) seringkali menjadi peneguh bagi praktek dominasi budaya. Kebebasan untuk merayakan perbedaan (the celebratory multiculturalism) saja, tidaklah cuklup ketika masyarakat tidak dibekali dengan pendidikan dan pengajaran yang secara kritis memuat berbagai ide dan pengelolaan toleransi sosial.
Kelima, mengelola suatu masyarakat yang mejemuk tidak hanya direfleksikan secara intelektual semata, tetapi lebih dari itu, bagaimana kita memanfaatkan semua peluang yang tersedia dalam iklim masyarakat yang demokratis untuk mengubah potensi kerapuhan sosial (social fragile) dalam masyarakat majemuk sebagai wahana yang justru memperkuat identitas bersama sebagai bangsa.
Keenam, Dalam nasionalisme kearifan saja tidaklah cukup, karena ia memerlukan upaya bagi perbaikan mekanisme demokratis dan pendistribusiam keadilan sosial (social justice). Karena, bagaimanapun juga ide tentang wujud toleransi sosial dan kebersamaan dalam keperbedaan hanya akan menjadi “sia-sia” ketika masih ada sebagian orang yang “takut” untuk secara bebas menyuarakan aspirasinya.
Ketujuh, last but not least, nation merupakan formalisasi dari kesadaran warganya yang secara empirik membutuhkan kongruensi dengan state sebagai wadahnya yang obyektif dan bersifat politis. Namun, konstruksi nation-state tersebut seringkali mengandung kerancuan, sebab pada level praksis politik terjadi “pemaksaan” kongruensi antara nation sebagai unit sosial, dan state sebagai entitas politik. Karenanya, nation-state memiliki kecenderungan inheren untuk berwatak state violence, dan juga mewarisi karakter negara absolut, yaitu tetap adanya kecenderungan kekuasaan sentralistik yang menyebabkannya rentan dan totaliter.……. Ya, sudah saatnya kita melakukan dekonstruksi historiografis menuju humanistic construction dalam konteks hak-hak citizenship.
Demikianlah, semoga makalah ini bermanfaat. Amien ……….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H