Kompasiana - Mohammad Faisal selaku Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) menyatakan bahwa perjuangan Indonesia untuk melawan diskriminasi perdagangan internasional sudah berada di jalur yang tepat. Bahkan, pemerintah diminta untuk terus konsisten dalam menyuarakan kepentingan Indonesia di kancah global.Â
Faisal menambahkan bahwa saat ini, Indonesia kini menghadapi diskriminasi perdagangan dari banyak negara terkait kebijakan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan nikel.Â
"CPO memang tekanannya besar sehingga kita harus konsisten memperjuangkan CPO, terutama pada sisi penetrasi ekspor. CPO dianggap sebagai sesuatu yang tidak ramah lingkungan. Begitu pula dengan nikel, yang justru penolakan datang dari negara yang tidak mengimpor nikel mentah kita, yaitu Uni Eropa," kata Faisal kepada Media Center Indonesia Maju.Â
Faisal menganggap bahwa langkah yang diambil pemerintah saat ini sudah bagus, tetapi masih perlu diperkuat terutama terkait trade diplomacy. Hal ini penting untuk melawan segala tuduhan yang tidak benar demi mempertahankan kepentingan kita dari negara yang merasa kebijakan Indonesia bertentangan dengan WTO.
"Mengenai penolakan ini, saya meyakini bahwa ada motif tersembunyi dari argumen sawit yang tidak ramah lingkungan misalnya menjaga produk substitusi, seperti Eropa mereka punya minyak bunga matahari, minyak kacang kedelai," ungkap Faisal.
Lebih dari itu, ada juga upaya negara-negara maju untuk mencegah Indonesia naik kelas, dengan menolak kebijakan ekspor manufaktur yang bisa memberikan nilai tambah lebih dibanding sekadar ekspor komoditas.Â
"Ini pernah terjadi pada saat China ingin naik kelas dengan tidak lagi ekspor barang bernilai tambah rendah, tapi, pada produk teknologi 5G, Amerika mencoba untuk menjaga dominasinya dengan menerapkan tarif. Jadi itu hal yang umum terjadi, ketika negara memanfaatkan platform internasional untuk mencegah negara lain naik kelas dan ironinya, itu justru dicontohkan oleh negara yang menyuarakan perdagangan bebas," beber dia.
Spesifik untuk larangan ekspor bijih nikel, Faisal melihat Indonesia sedikit mengalami kerugian ketika hendak memulai kebijakan hilirisasi pada awal tahun 2020. Namun, kini hilirisasi telah menjadi salah satu faktor penting yang membuat neraca perdagangan Indonesia terus surplus.Â
Ungkapan Faisal senada dengan pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, yang menyoroti soal politik dagang negara-negara maju di balik gugatan produk Indonesia di WTO.
"Tentang WTO, diskriminasi, dan deforestasi, ini politik dagang. Tidak ada negara di dunia ini yang ingin lapaknya diambil negara lain. Ujung-ujungnya kita lihat ini main narasi saja, tapi substansi sama. Kenapa dibawa ke WTO, karena industri mereka yang sudah dibangun tidak dapat lagi suplai bahan baku. Andaikan mereka dapat suplai, sudah dengan harga mahal," ungkap Bahlil pada September 2023.Â
Sementara itu, melalui diskusi Media Center Indonesia Maju pada Kamis (4/1/2024), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa diplomasi ekonomi merupakan salah satu fokus kebijakan luar negeri Indonesia.
"Diplomasi ekonomi juga kita gunakan untuk memerangi diskriminasi terhadap produk-produk Indonesia, misalnya kelapa sawit. Dan diplomasi ekonomi ini juga untuk hilirisasi industri," tegas Retno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H