Ibu, kalau aku merantau, lalu datang musim kemarau,
sumur sumurpun kering, dedaunan gugur bersama ranting,
hanya air mata, air matamu yang tetap lancar mengalir.
Ibu, kalau aku merantau sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumutÂ
Â
Pada diri tempatku berlayar, menebar pukat
dan melempar sauh lokan-lokan, mutiara, dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan namamu,
Ibu, yang kan kusebut paling dahulu lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku menyuruhku menulis langit biru dengan sajaku