Mohon tunggu...
Baginda Sormin
Baginda Sormin Mohon Tunggu... -

I am ordinary boy who stand alone to beat this fleeting world. And now I had decided become Full Time Blogger after graduated my college. This is controversial decision since few of Indonesians who familiar with Blogger as profession.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Money Means Nothing

2 Juni 2010   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuku dijari tanganku sudah kelihatan panjang. Kuambil penjepit kuku dari atas lemari yang kubeli satu tahun lalu seharga Rp.75.000,-. Lantas, aku menyusuri jalan menuju pintu belakang, tempat yang pas untuk memotong kuku. Sinar matahari yang melewati celah-celah daun pisang menemaniku disini. Kehangatan sinarnya yang memberikan semacam energi merasuki sekujur tubuhku. Dari satu buku yang sedang kubaca, aku mengetahui bahwa sinar matahari dapat mengurangi depresi. Mulanya aku kurang percaya. Tetapi setelah pagi ini kurasakan sendiri, aku berputar haluan untuk mempercayai tesis penulis buku itu. Ini dapat dijelaskan secara sederhana. Aku merasakan sinar matahari yang menusuk tubuhku mengalir di aliran darah seraya melemaskan otot-otot yang dilaluinya. Di ruang tamu, Bang Yudhi menonton TV. Dari audionya, aku langsung tahu apa yang ia tonton. Dia sedang menonton sebuah acara infotainment yang memberitakan seorang artis yang lupa daratan, bagai kacang lupa kulitnya. TV itu berujar bahwa artis yang dulunya seorang pengamen jalanan itu, mendadak menjadi seleb setelah menjuarai salah satu ajang kompetisi tarik suara terbesar di negeri ini. Aku menyelesaikan potongan kuku terakhir di jempol kaki kananku. Ku telusuri lagi jalan tadi untuk mengembalikan penjepit kuku ke tempat semula. Petuah yang dulu sering ku dengar dari ibu, ayah, uda dan bouku: "letakkan barang yang sudah selesai dipakai ke tempat semula." TV itu masih ngoceh tentang artis tadi. Sebelum melangkah masuk ke kamar, aku menyempatkan diri melayangkan mata ke TV untuk memuaskan rasa penasaranku tentang berita artis yang lupa daratan itu. Seorang gadis muda, istri artis tsb, yang menggendong bayinya sedang berlinangan air mata menuturkan kisah sedihnya, karena merasa tidak diperdulikan oleh artis tsb. Ia mengatakan bahwa lebih baik suaminya menjadi pengamen seperti dulu daripada menjadi artis yang bergelimangan uang tapi tak perduli lagi kepada istri dan anaknya. Miris. Uang yang dianggap sebagian orang menjadi tolak ukur segalanya di dunia ini, ternyata tidak berarti apa-apa bila dihadapkan dengan hati. Uang tidak berarti segalanya. Kalimat ini berotasi di otakku yang sedang membuka memori hidupku dulu yang terpatri oleh pepatah "Hepeng do mangatur nagaraon."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun