Jakarta Selatan, merupakan salah satu bagian dari ibu kota yang infrastrukturnya berkembang dengan pesat. Tak heran jika wilayah ini menjadi pilihan untuk bermukim. Selain mobilitasnya yang dapat dijangkau dengan mudah, terdapat banyak gedung perkantoran yang dibangun, fasilitas pendidikan maupun kesehatan, sarana hiburan, semuanya lengkap di satu kawasan. Sayangnya, ketimpangan ekonomi terlihat dengan kontras. Banyak perumahan mewah yang terbangun di wilayah Jakarta Selatan seperti Pondok Indah, Cilandak, Pakubuwono, Senopati, dan Kemang. Namun, banyak warga bermukim di tempat yang tidak layak, seperti di pinggiran kali. Kondisi pemukiman di wilayah tidak layak huni ini dapat ditemui di daerah padat oleh penduduk seperti Pasar Minggu dan Mampang Prapatan. Pada artikel ini, penulis berkesempatan untuk mewawancarai salah satu penduduk yang bermukim di wilayah dekat dengan kali Mampang, berseberangan dengan kompleks perumahan Pondok Jaya. Artikel ini akan membahas bagaimana bermukim di wilayah tidak layak huni dapat menimbulkan efek pada fisik tetapi juga berdampak pada kesejahteraan mental dari perspektif psikologi lingkungan.
Kepadatan Penduduk dan Kawasan Hunian Tidak Layak Huni
Menyandang status sebagai ibu kota selama puluhan tahun lamanya, Jakarta merupakan salah satu provinsi paling padat penduduk di Indonesia. Menurut BPS Provinsi DKI Jakarta, per tahun 2023, Jakarta dihuni oleh 10.672.100 juta jiwa, sebanyak 2.235.606 juta jiwa di antaranya bermukim di wilayah Jakarta Selatan. Pada tahun 2021 tercatat bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Mampang Prapatan mencapai 145,4 ribu jiwa (BPS Kota Jakarta Selatan, 2022). Berdasarkan data Disdukcapil Provinsi DKI Jakarta (2022), kepadatan penduduk di Kecamatan Mampang Parapatan mencapai 19.871 jiwa/km2, menunjukkan bahwa wilayah ini cukup padat.
Hunian tidak layak dapat dicirikan oleh kepadatan yang tinggi, ventilasi dan sirkulasi udara yang buruk, dan akses terbatas terhadap ruang terbuka atau lahan hijau. Bangunan perumahan yang ada di kawasan ini minim jaraknya satu sama lain. Ventilasi yang ada di rumah tidak mampu menyirkulasi udara dengan baik, sehingga muncul sensasi pengap ketika berada di dalam ruangan. Warga juga tidak memiliki akses terhadap ruang terbuka hijau untuk dimanfaatkan sebagai area bermain atau bertanam. Akses untuk menuju rumah hanya bisa dilalui oleh kendaraan bermotor atau jalan kaki. Selain itu, bangunan rumah yang ada jaraknya sangat berdekatan dengan Kali Mampang. Apabila kali menguap, pemukiman yang ada akan terendam oleh banjir.
Dampak Hunian Tidak Layak pada Kesehatan
Kondisi hunian yang tidak layak dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental bagi penghuninya. Menurut Steg & De Groot (2019) penghuni rumah di kawasan tidak layak huni menunjukkan tingkat hormon stres yang tinggi dan gejala kecemasan. Selain itu terdapat studi longitudinal menunjukkan bahwa kualitas hunian yang tidak layak berhubungan dengan perkembangan anak-anak dan remaja, termasuk fungsi emosional dan perilaku yang lebih buruk dan keterampilan kognitif yang lebih rendah (Coley et al., 2013). Selain itu, pada hunian tidak layak di mana kualitas udara dalam ruangan rendah akibat dari minimnya ventilasi, berkaitan dengan meningkatnya risiko gangguan pernapasan dan penurunan kualitas tidur. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa individu yang tinggal di lingkungan dengan kualitas hunian tidak layak cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih buruk dibandingkan mereka yang tinggal dengan kondisi lebih baik (Riva et al., 2022).
Ibu M (66) juga kerap kali merasakan gatal-gatal di badan dan meriang ketika musim penghujan akibat banjir dari meluapnya Kali Mampang. "Paling sering gatal, buang-buang air (diare), meriang karena baju basah kena banjir", ungkapnya pada Selasa (22/10). Dilansir oleh Trisnanda (2024) lingkungan yang tidak layak huni mampu menjadi sarang penyakit menular seperti diare, penyakit kulit seperti scabies, kurap, infeksi parasit, dan berbagai macam lainnya. Hal ini dapat menghawatirkan, terutama jika area rumah tidak tersanitasi dan dibersihkan dengan baik.
Menurut Tilley & Elias (2019) keterbatasan terhadap ruang terbuka, minimnya fasilitas publik, dan buruknya akses sanitasi di kawasan tidak layak huni mampu memperburuk kualitas hidup penghuninya. Kondisi ini diperparah dengan ancaman banjir yang tidak hanya berefek pada properti tetapi juga meningkatkan rasa tidak aman dan stres. Ibu M juga mengungkapkan bahwa setiap hujan turun, ia merasa was-was. "Takut saya, was-was kalau hujan. Takut banjir karena (posisi) rumah saya paling rendah. Jadi airnya lebih duluan masuk," ungkap Ibu M.
Keterikatan dengan Tempat Tinggal
Ibu M sudah tinggal di kawasan tidak layak huni dari tahun 1981 atau sekitar 43 tahun. Ketiga anaknya pun lahir dan tumbuh di sana. Ketika ditanya apabila berkesempatan untuk pindah ke wilayah yang lebih layak huni, beliau enggan pindah walaupun kondisi rumahnya kerap diterpa banjir. Hal ini sejalan dengan konsep place attachment atau keterikatan dengan keterikatan individu dengan suatu tempat. Place attachment dapat dipahami sebagai ikatan afektif yang dibangun individu dengan tempat tertentu di mana mereka cenderung untuk menetap dan timbul rasa aman dan nyaman (Fleury-Bahi et al., 2017).
"Iya, sudah nyaman karena (sudah) lama (tinggal) di sini. Banyak yang menggunakan jasa saya untuk bantu-bantu masak dan mengurus anak. Orang-orang sudah banyak yang kenal dan percaya. Kalau semisalnya pindah, belum tentu orang mau percaya. Orang belum pada kenal, jadi perlu adaptasi," ungkap Ibu M.
Solusi untuk Mengatasi Hunian Tak Layak Huni dan Meminimalisasi Dampaknya terhadap Psikologis
Pemerintah provinsi seharusnya mulai untuk meninjau kembali tata ruang wilayah kota. Memperketat kebijakan mengenai pembangunan pemukiman, seperti pelarangan membangun pemukiman padat penduduk di atas tanah yang levelnya lebih rendah dengan sungai. Pemerintah juga dapat memberikan bantuan berupa perumahan layak huni yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Menurut Bechtel & Wiley (2002) salah satu aspek perumahan layak huni adalah kondisi udara yang jauh dari polusi sehingga sirkulasi udara di rumah bagus, air memenuhi standar kelayakan untuk dikonsumsi, dan memiliki akses yang terjangkau terhadap fasilitas publik. Pembangunan ruang hijau terbuka sebagai daerah resapan air dapat meminimalisasi banjir selain itu dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat. Hal ini dibuktikkan dengan penelitian oleh (Koohsari et al., 2015) ruang terbuka hijau secara alami mampu membantu indivudu untuk beraktivitas dan menciptakan interaksi sosial yang dapat mengurangi tingkat depresi. Aktivitas yang dapat menurunkan tingkat depresi di ruang terbuka hijau antara lain adalah duduk di bawah pepohonan, area bermain anak-anak, area berolahraga, dan penyediaan sanitasi yang bersih (Tambunan et al., 2021).
Kualitas hunian tidak layak huni di Jakarta Selatan tidak hanya permasalahan dari aspek fisik tetapi juga mental yang mampu memengaruhi kesejahteraan penghuninya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dari aspek psikologis dalam mempertimbangkan intervensinya. Kerjasama masyarakat dan pemerintah untuk relokasi bangunan ke tempat yang lebih layak harus ditingkatkan. Hal ini dilakukan guna meminimalisasi dampak fisik maupun mental dari tempat tinggal kita sendiri.