Setelah berita pasien positif COVID-19 di Indonesia menyebar pada (2/3/2020), masyarakat kemudian berbondong-bondong membeli masker serta cairan antiseptik untuk melakukan pencegahan. Akibatnya, masker dan cairan antiseptik menjadi langka di pasaran.
Momen tersebut kemudian dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk meraup keuntungan. Oknum-oknum tersebut menimbun masker serta cairan antiseptik untuk kemudian dijual dengan harga yang sangat tinggi.
Dilansir di kompas.com (3/3/2020), harga satu boks masker mencapai Rp300.000 yang berisi 50 pcs. Padahal, harga sebelumnya hanya Rp20.000 untuk satu boksnya. Hal ini juga terjadi pada cairan antiseptik yang harganya naik sampai 10 kali lipat.
Namun, apa sebenarnya alasan oknum-oknum tersebut menimbun masker dan cairan antiseptik?
Apabila dikaji melalui perspektif sosiologis dengan teori anomie Emile Durkheim, kejahatan terjadi karena adanya suatu keadaan yang berubah secara mendadak. Perubahan tersebut membuat aturan-aturan yang ada tidak lagi dipegang.
Pandemi COVID-19 ini mengubah keadaan masyarakat secara mendadak, salah satunya penggunaan masker dalam keseharian. Dampak dari keadaan yang berubah secara mendadak terbagi menjadi dua yaitu, kemorosotan dan kemakmuran.
Oknum penimbun masker ini melihat keadaan ini dapat memakmurkan dirinya dan mengabaikan aturan yang sudah ada. Oknum tersebut mengabaikan Pasal 107 Nomor 7 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Perdagangan demi meraup keuntungan.
Penindakan oknum menjadi langkah baik untuk penegakkan kembali aturan. Apabila oknum tersebut dibiarkan, maka aturan-aturan yang ada akan runtuh dan menyebabkan kejahatan-kejahatan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H