Mohon tunggu...
Sopyan Maolana Kosasih
Sopyan Maolana Kosasih Mohon Tunggu... -

Saya adalah guru PKn di SMP Negeri 3 Bogor.\r\nSaya juga senang beraktifitas diberbagai kegiatan sosial yang terkait dengan pendidikan dan pelayanan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aku Sang Guru

13 November 2011   21:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:42 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah guru yang sudah lama menekuni profesi ini. Kini aku sudah diambang pensiun. Aku telah merasakan asam garam dan segenap rasa lain dengan berjuta kejadian yang membuatku menjadi sebuah pribadi yang kuat, tahan banting, bahkan sudah tidak tahu lagi apa yang seharusnya saya lakukan ditengah kepastian yang bernama perubahan kebijakan dan perubahan jaman. Aku kini telah menjadi guru yang paripurna dan terstandarisasi dari berbagai sertifikasi dan layak menikmati uang lebih yang selama ini tak kunjung datang dari sebuah objek yang namanya remunerasi. Jadi jangan salahkan saya kalau uang sertifikasi saya manfaatkan untuk memenuhi hasrat yang tertunda sebagaimana manusia yang memiliki jabatan tinggi dalam struktur pemerintahan.

Dahulu aku memilih profesi guru agar menjadi orang yang terhormat, berpangkat, dan hidup layak. Saya mendapatkan kesempatan menjadi guru setelah melalaui seleksi panjang dan biaya yang besar untuk seukuran masanya. Kalau tidak bisa memberikan setoran, sepertinya profesi terhormat ini hanyalah impian saja karena teman-temanku yang idealis dan sok suci ternyata tidak pernah mendaptkan kesempatan ini walau ia dinilai sangat loyal pada profesinya dan disukai oleh murid-muridnya karena keterampilan menyampaikan materinya yang menyenangkan. Jadi, prinsip pertama adalah ada uang ada jabatan. Gak percaya? Saya mengalaminya, walau sudah reformasi ternyata bisik-bisik itu tetap ada, apalagi dikalangan para keluarga pejabat tinggi. Bukan hal seperti itu yang harus kita contoh?

Dulu kala, mengajar tidak perlu repot-repot seperti sekarang. Cukup dengan membawa sebuah kapur tulis, berikan perintah sederhana maka anak-anak akan mengikuti segala perintah yang harus mereka kerjakan. Tidak ada anak yang protes, tidak ada anak yang mengeluh, apalagi orangtua yang datang mencak-mencak menuntut pelayanan yang istimewa. Dulu buku dibuat dan berlaku dalam jangka yang lama, sehingga sekolah tidak harus melakukan data ulang atau mendata buku baru seperti sekarang yang setiap tahun harus berganti. Untungnya jaman dulu guru dapat menghapal semua materi pelajaran karena buku acuan yang digunakan hanya satu. Coba bandingkan dengan jaman reformasi, buku pelajaran kebanyakan dan kurikulum terus menerus berubah membuat materi yang sudah dikuasi menjadi berantakan. Tentu ini menghambat proses pembelajaran. Benar-benar perubahan yang menyusahkan saya sebagai guru.

Pelatihan dilaksanakan dimana-mana. Hampir semua pelatihan itu tidak pernah sekalipun mampir surat undangannya ke meja saya, walaupun meja saya reyot karena sudah sepanjang sejarah saya mengajar sampai saat ini tidak pernah tergantikan. Benar-benar mejayang bersejarah.... Kembali ke pelatihan, biasanya yang disuruh hanya orang-orang suci dan terpilih dari kepala sekolah sebagai dewa di sekolah yang berhak menentukan apapun, karena memang sekolah adalah miliknya yang melekat akibat jabatannya. Akibatnya saya sulit naik golongan karena tidak memiliki sertifikat pelatihan, tapi kalau soal keterampilan mengajar jangan ditanya! Saya ternyata mampu bertahan mengajar di depan anak-anak dengan semangat. Suara saya masih lantang untuk memastikan apa yang saya sampaikan dapat didengar oleh murid-murid saya. Bandingkan dengan guru-guru yang baru saja mengikuti pelatihan. Mereka menjadi kerepotan karena harus menyiapkan bahan-bahan yang harus ditampilkan. Padahal anak-anak itu bisa dengan cepat memahami walau tanpa alat peraga. Bahkan mereka dapat menghapal buku satu bab ketika saya perintahkan. Bukankan itu artinya mereka menguasai pelajaran?

Jadi, jangan pernah ragukan kualitas kami walau gempuran moderenisasi terus berdatangan, ternyata prinsip yang saya anut masih up to date dan bisa bersaing dengan para guru yang sok moderen karena baru saja mengikuti pelatihan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun