Mohon tunggu...
Sopyan Maolana Kosasih
Sopyan Maolana Kosasih Mohon Tunggu... -

Saya adalah guru PKn di SMP Negeri 3 Bogor.\r\nSaya juga senang beraktifitas diberbagai kegiatan sosial yang terkait dengan pendidikan dan pelayanan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Quo Vadis Demokrasi Indonesia?

12 September 2014   14:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:54 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munculnya pembahasan PILKADA yang mengubah sikap beberapa fraksi memang terlihat kontroversial. Sebelumnya beberapa fraksi mendukung PILKADA langsung, namun seiring dinamika politik pasca PILPRES, tiba-tiba semuanya berubah haluan. Sepertinya ada kepentingan besar yang mendesak dan darurat sehingga PILKADA akan membahayakan negeri ini dengan alasan biaya dan konflik horizontal. Sebuah alasan yang mengada-ada karena sebelumnya mereka dengan gigih mengusung pemilihan langsung dengan alasan kedaulatan rakyat. Kini, rakyat yang mana yang dijadikan landasannya.

Seperti yang sudah diketahui sejak bersekolah di tingkat Sekolah Dasar, pengertian demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Bahkan anak-anak SMP Kelas VII juga sudah sangat fasih menyebutkan prinsip dasar demokrasi yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln yang menyebutkan demokrasi itu DARI RAKYAT, OLEH RAKYAT, UNTUK RAKYAT. Kesadaran terhadap hak-hak yang mendasar ini semakin menguat. Kalau pada awal reformasi masyarakat masih kental dengan politik transaksional sebagai jawaban atas ketidak adilan yang tampil kasatmata. Akibatnya biaya politik menjadi besar karena harus membagi-bagikan sejumlah uang serta asesoris pemilu lainnya yang kadang-kadang tidak bermakna apapun bagi sang calon.

Faktor menarik lainnya adalah para anggota dewan yang terhormat ternyata lupa akan teori mendasar demokrasi yang dikemukakan oleh Motesque yaitu TRIAS POLITICA. Dimana pada teori ini kekuasaan dibagi kedalam tiga lembaga, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bisa dibayangkan jika legislatif memainkan peran (mengatasnamakan rakyat) untuk memilih kepala daerah. Ini jelas-jelas pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi. Tentu kesejajaran tadi akan menjadi berbeda karena eksekutif dipilih oleh mitranya. Kepala Daerah yang seharusnya berpihak kepada rakyat pasti akan berubah orientasinya menjadi pelayan wakil rakyat sebagai orang/lembaga yang sudah memilihnya.

Seiring berjalannya waktu masyarakat kini mulai realistis dalam memilih. Faktor-faktor politik transaksional yang sebelumnya marak mulai disikapi dengan baik oleh beberapa partai untuk mencari kader-kader terbaik yang dianggap mampu menyerap kehendak rakyat dan berinisiasi melayani segala keluhan dan kebutuhan rakyatnya. Dampaknya sungguh luar biasa, dalam beberapa tahun terakhir bermunculan fenomena Kepala Daerah yang dicintai rakyatnya karena prestasinya dalam melayani masyarakat. Beberapa diantaranya adalah Walikota Surabaya, Bandung, Bantaeng, Gubernur Jawa Tengah, sampai Jokowi-Ahok yang begitu fenomenal dalam memberikan layanan publiknya. Tentu saja ini terlepas dan pro-kontra dalam konteks kepentingan politik, yang paling utama adalah bagaimana rakyat secara keseluruhan bisa merasakan perubahan-perubahan secara nyata dalam pelayanan publik. Semuanya perlu proses dan kini proses ini sudah menuai hasil yang menggembirakan, baik dari figur-figur yang muncul maupun antisipasi konflik horizontal yang bisa diatasi secara proporsional. Hal ini tentu memberikan optimisme dalam penyelenggaraan demokrasi Pancasila yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.

Keindahan transformasi demokrasi yang indah ini mendadak suram, bagai sebuah kendaraan yang sudah melaju kencang tiba-tiba di rem mendadak atas dasar alasan yang tidak logis dan mengada-ada walau dibungkus semu atas dasar hemat bahan bakar dan prinsip biar lambat asal selamat. Semua ini hanya omong kosong dengan nama propaganda yang menjerumuskan rakyat.

Kalau memang ada konflik horizontal, korupsi, biaya yang besar, serta argumen lain yang selama ini masih banyak terjadi, mengapa para tuan-tuan yang mulia di DPR tidak merancang konsep-konsep yang lebih konstruktif dan bisa mengantisipasi segala permasalahan yang ada. Hal yang dilakukan oleh para anggota dewan yang terhormat seperti peribahasa “buruk muka cermin dibelah”. Sungguh ada kepicikan berpikir yang dibungkus dengan kepentingan dan aroma kolutif lain terkait dengan terpilihnya Bapak Joko Widodo sebagai Presiden. Para anggota DPR harusnya ingat bahwa dirinya saat ini sudah disumpah untuk membela kepentingan rakyat bukan membela kepentingan partai-partai atas nama rakyat.

Kalau anggota DPR masih terus berusaha keras ingin merebut dan mengeliminasi hak rakyat, maka yang harus dikaji terlebih dahulu adalah UU Otonomi Daerah dan teori demokrasi. Apakah rakyat Indonesia masih bodoh? Kalau sudah tidak mau dibodohi, memang benar! Jadi stop melakukan pembodohan kepada rakyat. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh partai politik dalam menyikapi PILKADA, terutama partai-partai yang selalu menjadi pecundang, diantaranya:

1.Melakukan kaderisasi

Partai politik sudah sebaiknya menghindari jalan pintas dengan merekrut anggota dadakan dengan latar belakang selebritis maupun para pengusaha. Dalam jangka pendek mungkin anda akan meraup suara yang signifikan, namun dalam jangka panjang partai akan kehilangan arah karena para pengendali partai bukan sejatinya orang-orang yang idealismenya melayani namun akan diisi oleh orang-orang yang sarat dengan kepentingan jangka pendek. Solo, Bandung, Surabaya, Bantaeng bisa dijadikan model bagaimana sebuah sistem kaderisasi dan rekrutmen politik dilakukan dengan efektif dan efisien.

2.Melakukan pendidikan politik

Ketidaktahuan masyarakat mengenai partisipasi politik dan hak-hak politik yang dimilikinya seharusnya mendapatkan sosialisasi oleh para partai politik. Partai politik sebaiknya ada dan bersama masyarakat agar tidak dibodohi oleh penguasa. Jika dilakukan dengan cerdas, bukan tidak mungkin pendidikan politik ini akan jadi media yang baik menuju proses rekrutmen politik.

3.Melakukan advokasi dan layanan kepada masyarakat

Rakyat perlu dibantu, dibela, dan diarahkan supaya hak kewarganegaraanya dapat penuh. Kalau masyarakat sudah menyadari, maka diharapkan tidak ada lagi pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah (baik pemerintah pusat/daerah). Partisipasi masyarakatpun akan dinamis sehingga segala program pemerintah yang baik akan mudah diimplementasikan dan program pemerintah yang kurang baik akan dikritisi dengan tajam sehingga dapat menjadi kontrol sosial.

Tetapdilaksanakannya PILKADA langsung diharapkan mampu membangun ikatan antara Gubernur dan Bupati/Walikota dengan konstituennya. Kepala daerahpun akan memiliki tanggung jawab moral secara utuh kepada masyarakat bukan hanya kepada partai politik yang memilihnya. Inilah sejatinya masyarakat Madani yang dicita-citakan melalui reformasi. Jadi jangan khianati reformasi oleh syahwat kepentingan pribadi ataupun kelompok tuan-tuan yang terhormat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun