Mohon tunggu...
Sophia Lauren Sidabutar
Sophia Lauren Sidabutar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan dari Universitas Sriwijaya, jurusan Ilmu Hubungan Internasional angkatan 2022. Saya sekarang berkontribusi dalam sebuah himpunan mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional yaitu IRSSA.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rohingnya: Nasib Kami sebagai Pengungsi

2 Maret 2023   15:56 Diperbarui: 2 Maret 2023   16:01 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Myanmar merupakan salah satu negara berbentuk republik yang beribukota Yangon, yang dulunya dikenal dengan Burma. Pada tanggal 18 Juni 1989, pemerintah Junta Militer mengubah sebutan Burma terhadap negara menjadi Myanmar. Myanmar memiliki 135 etnis dan heterogennya etnis Myanmar yang kemudian terbelah menjadi penduduk minoritas dan mayoritas. 

Salah satu etnis minoritas yang tinggal di Myanmar adalah etnis Rohingya. Etnis Rohingya merupakan etnis muslim yang disinyalir kurang mendapatkan perhatian negara, bahkan tersisihkan. Etnis Rohingya mengalami diskriminasi yang disebabkan lemahnya peran negara dalam memberikan perlindungan. Diskriminasi ini juga diikuti tindak kekerasan secara terbuka. Dukungan kekerasan datang dari sebagian besar massa fanatik pemerintah Junta.

Diskriminasi, Pelanggaran HAM, dan ketidakadilan terhadap Rohingya terus mereka alami dengan jangka waktu yang lama. Hingga etnis Rohingya mengalami krisis selama 5 tahun. Krisis tersebut awalnya terjadi pada tahun 2017. Pada pagi hari tanggal 25 Agustus 2015 kelompok militan Rohingya yang disebut dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) memberikan serangan terkoordinasi ke arah puluhan pos polisi yang ada di negara bagian Rakhine di Kawasan pesisir Myanmar. 

Dari aksi tersebut menewaskan sedikitnya belasan petugas. Kemudian Militer Myanmar menggelar operasi di desa-desa Rohingya, dengan dalih untuk mengusir para pemberontak. Dan para militer berhasil membunuh setidaknya 400 gerilyawan, namun pihak lawan mengatakan sebgian besar yang terbunuh adalah warga sipil. Dan menurut PBB, paling tidak 1.000 orang yang tewas dalam operasi militer tersebut.

Pada tanggal 5 September, ada lebih 120.000 warga Rohingya yang kabur ke Bangladesh, mereka memenuhi kamp-kamp pengungsi yang mereka buat seadanya. Sebelumnya sudah ada warga Rohingya di Bangladesh.  Pada tanggal 19 September, pemimpin sipil Myanmar, Tong, Tung San Suu Kyi, menjanjikan meminta pertanggungjawaban bagi para pelanggar "Hak Asasi" tetapi menolak untuk menyalahkan tentara. Pada tanggal 23 November, Bangladesh dan Myanmar sepakat untuk memulangkan Rohingya. Namun, itu Komisaris Fungsi PBB berpendapat, bahwa tidak ada lagi kondisi yang baik untuk memulangkan pengungsi Myanmar. Pada tanggal 5 September, Pejabat urusan Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra'ad Al Hussein memberi peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi "genosida" dan menyerukan menyerukan penyelidikan internasional.

Pada tahun tanggal 25 Agustus 2018, ribuan pengungsi Rohingya menggelarkan unjuk rasa untuk memperingati satu tahun eksodus mereka. Pada 3 September, dua orang jurnalis Reuters dituduh telah melanggar undang-undang rahasia Myanmar dalam melaporkan pembantaian Rohingya yang dijatuhi hukuman penjara selama tujuh tahun. Mereka dipenjara lebih dari 500 hari, sebelum mereka dibebaskan dengan pengampunan presiden. Dan pada bulan November, usaha untuk memulangkan pengungsi Rohingya sebanyak 2.260 gagal dikarenakan tidak adanya jaminan keselamatan.

Pada 16 Juli 2019, Washington memberikan sanksi kepada militer Myanmar dan tiga perwira tinggi lainnya. 3.500 diperbolehkan untuk kembali ke rumah mereka. Namun pada jadwal 22 Agustus, tidak ada yang melakukan pemulangan. Pada tanggal 11 November, Gambia mengajukan gugatan tuduhan bahwa Myanmar telah melakukan genosida terhadap warga Rohingya ke Mahkamah Internasional ICJ. Tiga hari setelahnya, Mahkamah Pidaba Internasional ICC yang berada di Den Haag memberikan izin untuk penyelidikan penuh atas penganiayaan terhadap warga Rohingya. Dan di minggu yang sama, diajukannya kasus yang ketiga oleh kelompok hak asasi manusia di Argentina berdasarkan prinsip yurisdiksi universal. 

11 Desember, Gambia menjabarkan kasusnya di ICJ dengan menunjuk Aung San Suu Kyi yang bertanggung jawab terhadap departemen pertahanan Myanmar. Tetapi Suu Kyi membantah atas tuduhan genosida, dan juga menyangkal klaim "menyesatkan dan tidak lengkap" dan bersikukuh bahwa Myanmar berurusan dengan "konflik bersenjata internal". Namun dia mengakui, mungkin tentaranya telah memakai kekuatan secara berlebihan.  Pada 23 Januari 2020, ICJ memberi perintah terhadap Myanmar untuk mengambil langkah-langkah mendesak demi mencegah dugaan genosida dan melapor kembali dalam waktu empat bulan.

Tanggal 1 Februari 2021, militer Myanmar merebut kekuasaan dengan menjatuhkan pemerintahan sipil dan kemudian melakukan tindakan keras dan berdarah terhadap aksi-aksi protes negara itu. Dan pada tanggal 21 Maret 2022, Amerika Serikat dengan resmi menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi pada tahun 2017, merupakan genosida, dengan bukti jelas dari upaya "menghancurkan" Rohingya. Pada tanggal 22 Juli, ICJ memutuskan bahwa kasus yang diajukan oleh Gambia bisa dilanjutkan, Di bulan yang sama Junta militer mengeksekusi empat tahanan. Dan itu merupakan eksekusi hukuman mati pertama di negara itu beberapa dekade terakhir. Pada 10 Agustus, dua pemimpin komunitas Rohingya ditembak mati di salah satu kamp pengungsian Bangladesh .

Dari pemaparan di atas, jika kita amati dan analisis dari segitiga kekerasan, konflik ini masuk ke dalam beberapa kekerasan di segitiga kekerasan. Dari segi kekerasan struktural, dapat kita lihat dari usaha militer Myanmar dalam menghapuskan etnis Rohingya dengan dalih pengusiran pemberontak. Dari segi kekerasan langsung, bisa kita lihat dari operasi Militer Myanmar yang menewaskan 400 gerilyawan.

Dari konflik Rohingya dan Myanmar, terjadinya diskriminasi warga Rohingya, Pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang dirasakan oleh warga Rohingya, adakah keadilan dan damai bagi mereka?. Memang benar warga Rohingya hanya pengungsi dan mereka merupakan kaum namun jika kita melihat dari sisi kemanusiaan, apa salahnya kita bersikap adil dan saling melindungi satu sama lain. Di posisi ini etnis Rohingya dianak tiri kan, kita sebagai manusia yang beradab sudah seharusnya kita merangkul mereka tanpa melihat siapa mereka dan dari mana mereka berasal. Sudah bertahun-tahun etnis Rohingya mengalami ketidakadilan dan sudah saatnya juga untuk pemerintah Myanmar dan masyarakatnya untuk mengakhiri ketidakadilan ini dan mulai merangkul semua etnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun