Boikot terhadap pajak bukan barang baru dalam sejarah peradaban manusia. Menyadur apa yang disampaikan David F Burg dalam A World History of Tax Rebellion (2004), Tax Revolts atau Protes Pajak pernah terjadi pada masa Dinasti Han (AD 25- AD 220) di Asia, era Hammurabi (1792-1750 BC), dan hingga Kekaisaran Romawi (27 BC- AD 337) di Eropa.Â
Di Indonesia sendiri, protes Pajak terjadi pada abad ke-19 seiring dengan terjadinya Tumenggung Muhammad (1825), Skandal Tjikandi (1845), dan Pemberontakan Banten/ Banten Revolt (1888).Â
Pada era modern, dalam skala nasional, seruan untuk melakukan protes melalui boikot pajak telah pernah terjadi dengan dimotori oleh Arif Poyuono (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra- 2019), dan baru-baru ini, terkait dengan penolakan UU Cipta Lapangan Kerja, terdapat pula seruan untuk melakukan pembangkanngan sipil dimana aksi tolak bayar pajak hendak dijadikan salah satu instrumennya.
Dari berbagai peristiwa yang melibatkan ajakan boikot pajak, pemicu lahirnya inisiatif tersebut adalah kekecewaan publik atas kebijakan pemerintah (seperti yang terjadi pada UU Cipta Lapangan Kerja), kontestasi politik yang sengit (seperti seruan yang disampaikan Arif Poyuono), atau akibat dari perang melawan kekuasaan yang lebih besar (Banten Revolt).Â
Namun, tentu saja, meskipun sifat dan arti penting pajak sejak dahulu tidak pernah berubah, namun peran dan porsi pajak telah mengalami pergeseran yang lebih luas ketimbang masa lampau.Â
Pajak sudah bukan soal lagi simbol pengakuan atas kekuasaan, permohonan perlindungan, dan bentuk penghargaan seremonial dari penduduk kepada para raja. Di masa modern ini, pajak telah menjelma menjadi bentuk nyata partisipasi publik dalam membangun negara.Â
Pemerintah sendiri hanya mendapat mandat untuk mengelola atas nama rakyat dan demi kepentingan rakyat itu sendiri.
Sehingga dengan demikian, dari berbagai fenomena seruan atau pemberontakan tersebut, tentu menarik sekali untuk kita analisis secara rasional: Seberapa tepat kini aksi tersebut dalam menyelesaikan permasalahan yang dipertentangkan?
Mengatasi Masalah dengan Masalah?
Mari kita mendudukkan permasalahan ini dengan sudut pandang yang objektif dalam konteks kekinian, dengan demikan, permasalahan tersebut dapat kita sederhanakan menjadi kepantasan untuk mengajak masyarakat untuk tidak membayar pajak di masa sekarang ini.Â
Seperti yang kita tahu, masa sekarang ini adalah masa di mana kebersamaan kita diuji di bawah rundungan pandemi. Secara mendasar, dalam konteks berdemokrasi, pajak adalah perwujudan dari kebersamaan itu sendiri.Â
Kita bergotong royong membayar pajak. Semangat itu membuat kita dapat menyediakan uang bagi negara agar semua program dapat berjalan, termasuk program pemulihan ekonomi nasional.Â
Ada banyak agenda tambahan yang uangnya harus disiapkan negara di masa sulit ini antara lain: belanja insentif pajak, anggaran bidang kesehatan, insentif tenaga kesehatan, santunan kematian, anggaran perlindungan sosial, penundaan pembayaran utang dan bunga KUR, dan sejumlah pos lainnya yang harus diupayakan.
Pandemi ini menggerogoti kita sebagai satu kesatuan bangsa di banyak lini: ekonomi, sosial, pariwisata, kesehatan, politik, hingga ke kestabilan keamanana.Â
Banyak hotel, pusat perbelanjaan, dan agen perjalanan wisata yang menutup operasionalnya akibat larangan bepergian dari pemerintah, ini menyebabkan banyak  karyawan mulai dirumahkan dan kehilangan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pangan mendasar.Â
Dalam Webinar Sinergi Pengawasan APIP-SPI-APH yang diisi oleh Kementerian Keuangan pada akhir bulan lalu, disampaikan bahwa pandemi ini menyebabkan kemiskinan kemungkinan akan naik sekitar 3,02 hingga 5,71 juta orang dan pengangguran meningkat kurang lebih 4,03 juta orang hingga 5,23 juta orang.Â
Mereka yang kehilangan sumber penghasilan dan pekerjaan adalah kelompok rentan yang dapat terseret lebih jauh menjadi sumber permasalahan yang baru. Kekuatan dukungan pemerintah dengan program yang baik dan ketersediaan dana yang cukup dapat mencegah hal tersebut terjadi.
Dari sekilas uraian di atas, seharusnya kita paham bahwa ajakan untuk boikot pajak tidak perlu diikuti. Di saat solidaritas sosial kita ditempa di periode sulit ini, yang seharusnya dikedepankan adalah seruan yang mempererat kerekatan antar masyarakat (kohesi sosial), bukan ajakan yang memecah belah dan membawa dampak lebih buruk.Â
Selain itu, seruan untuk boikot pajak adalah seruan yang inskonstitusional/ tidak sah atau melawan undang-undang. Pasal 23A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, sehingga mengikuti seruan untuk tidak membayar pajak sama saja dengan mengikuti seruan untuk melawan undang-undang.Â
Sanksi administrasi dan pidana perpajakan akan terus berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Bahkan sanksi tersebut dapat menjurus ke sanksi pidana manakala terbukti ada unsur kesengajaan dalam tindakan untuk tidak membayar pajak yang dapat menyebabkan kerugian pada pendapatan negara (Pasal 39 UU KUP).Â
Dalam situasi yang penuh tantangan ini, kita sebagai warga negara, dengan peran dan tanggung jawab masing-masing, diharapkan dapat berpikir dan memandang secara jernih dalam merespon dan bertindak suatu seruan dari siapapun.
Sebab jika tidak, bukan pandemi ini  yang menghancurkan kita melainkan pilihan sikap yang keliru dalam merespon suatu ajakan yang tidak berdasar kuat secara logika dan konteks, termasuk salah satunya adalah ajakan boikot pajak. Karena pada dasarnya kita ingin keluar dari pandemi ini dengan selamat bersama-sama, bukan sebaliknya.
Salam.
Erikson Wijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H