Kita bergotong royong membayar pajak. Semangat itu membuat kita dapat menyediakan uang bagi negara agar semua program dapat berjalan, termasuk program pemulihan ekonomi nasional.Â
Ada banyak agenda tambahan yang uangnya harus disiapkan negara di masa sulit ini antara lain: belanja insentif pajak, anggaran bidang kesehatan, insentif tenaga kesehatan, santunan kematian, anggaran perlindungan sosial, penundaan pembayaran utang dan bunga KUR, dan sejumlah pos lainnya yang harus diupayakan.
Pandemi ini menggerogoti kita sebagai satu kesatuan bangsa di banyak lini: ekonomi, sosial, pariwisata, kesehatan, politik, hingga ke kestabilan keamanana.Â
Banyak hotel, pusat perbelanjaan, dan agen perjalanan wisata yang menutup operasionalnya akibat larangan bepergian dari pemerintah, ini menyebabkan banyak  karyawan mulai dirumahkan dan kehilangan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pangan mendasar.Â
Dalam Webinar Sinergi Pengawasan APIP-SPI-APH yang diisi oleh Kementerian Keuangan pada akhir bulan lalu, disampaikan bahwa pandemi ini menyebabkan kemiskinan kemungkinan akan naik sekitar 3,02 hingga 5,71 juta orang dan pengangguran meningkat kurang lebih 4,03 juta orang hingga 5,23 juta orang.Â
Mereka yang kehilangan sumber penghasilan dan pekerjaan adalah kelompok rentan yang dapat terseret lebih jauh menjadi sumber permasalahan yang baru. Kekuatan dukungan pemerintah dengan program yang baik dan ketersediaan dana yang cukup dapat mencegah hal tersebut terjadi.
Dari sekilas uraian di atas, seharusnya kita paham bahwa ajakan untuk boikot pajak tidak perlu diikuti. Di saat solidaritas sosial kita ditempa di periode sulit ini, yang seharusnya dikedepankan adalah seruan yang mempererat kerekatan antar masyarakat (kohesi sosial), bukan ajakan yang memecah belah dan membawa dampak lebih buruk.Â
Selain itu, seruan untuk boikot pajak adalah seruan yang inskonstitusional/ tidak sah atau melawan undang-undang. Pasal 23A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, sehingga mengikuti seruan untuk tidak membayar pajak sama saja dengan mengikuti seruan untuk melawan undang-undang.Â
Sanksi administrasi dan pidana perpajakan akan terus berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Bahkan sanksi tersebut dapat menjurus ke sanksi pidana manakala terbukti ada unsur kesengajaan dalam tindakan untuk tidak membayar pajak yang dapat menyebabkan kerugian pada pendapatan negara (Pasal 39 UU KUP).Â
Dalam situasi yang penuh tantangan ini, kita sebagai warga negara, dengan peran dan tanggung jawab masing-masing, diharapkan dapat berpikir dan memandang secara jernih dalam merespon dan bertindak suatu seruan dari siapapun.
Sebab jika tidak, bukan pandemi ini  yang menghancurkan kita melainkan pilihan sikap yang keliru dalam merespon suatu ajakan yang tidak berdasar kuat secara logika dan konteks, termasuk salah satunya adalah ajakan boikot pajak. Karena pada dasarnya kita ingin keluar dari pandemi ini dengan selamat bersama-sama, bukan sebaliknya.