Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Boikot Pajak, Mengatasi Masalah dengan Masalah

26 Oktober 2020   09:47 Diperbarui: 28 Oktober 2020   06:44 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jakarta. (Foto: KONTAN/CAROLUS AGUS WALUYO)

Boikot terhadap pajak bukan barang baru dalam sejarah peradaban manusia. Menyadur apa yang disampaikan David F Burg dalam A World History of Tax Rebellion (2004), Tax Revolts atau Protes Pajak pernah terjadi pada masa Dinasti Han (AD 25- AD 220) di Asia, era Hammurabi (1792-1750 BC), dan hingga Kekaisaran Romawi (27 BC- AD 337) di Eropa. 

Di Indonesia sendiri, protes Pajak terjadi pada abad ke-19 seiring dengan terjadinya Tumenggung Muhammad (1825), Skandal Tjikandi (1845), dan Pemberontakan Banten/ Banten Revolt (1888). 

Pada era modern, dalam skala nasional, seruan untuk melakukan protes melalui boikot pajak telah pernah terjadi dengan dimotori oleh Arif Poyuono (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra- 2019), dan baru-baru ini, terkait dengan penolakan UU Cipta Lapangan Kerja, terdapat pula seruan untuk melakukan pembangkanngan sipil dimana aksi tolak bayar pajak hendak dijadikan salah satu instrumennya.

Dari berbagai peristiwa yang melibatkan ajakan boikot pajak, pemicu lahirnya inisiatif tersebut adalah kekecewaan publik atas kebijakan pemerintah (seperti yang terjadi pada UU Cipta Lapangan Kerja), kontestasi politik yang sengit (seperti seruan yang disampaikan Arif Poyuono), atau akibat dari perang melawan kekuasaan yang lebih besar (Banten Revolt). 

Namun, tentu saja, meskipun sifat dan arti penting pajak sejak dahulu tidak pernah berubah, namun peran dan porsi pajak telah mengalami pergeseran yang lebih luas ketimbang masa lampau. 

Pajak sudah bukan soal lagi simbol pengakuan atas kekuasaan, permohonan perlindungan, dan bentuk penghargaan seremonial dari penduduk kepada para raja. Di masa modern ini, pajak telah menjelma menjadi bentuk nyata partisipasi publik dalam membangun negara. 

Pemerintah sendiri hanya mendapat mandat untuk mengelola atas nama rakyat dan demi kepentingan rakyat itu sendiri.

Sehingga dengan demikian, dari berbagai fenomena seruan atau pemberontakan tersebut, tentu menarik sekali untuk kita analisis secara rasional: Seberapa tepat kini aksi tersebut dalam menyelesaikan permasalahan yang dipertentangkan?

Mengatasi Masalah dengan Masalah?

Mari kita mendudukkan permasalahan ini dengan sudut pandang yang objektif dalam konteks kekinian, dengan demikan, permasalahan tersebut dapat kita sederhanakan menjadi kepantasan untuk mengajak masyarakat untuk tidak membayar pajak di masa sekarang ini. 

Seperti yang kita tahu, masa sekarang ini adalah masa di mana kebersamaan kita diuji di bawah rundungan pandemi. Secara mendasar, dalam konteks berdemokrasi, pajak adalah perwujudan dari kebersamaan itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun