Ditulis dari hasil pemikiran bersama antara Erikson Wijaya & M. Faisal Artjan
Bertempat di Seoul Korea Selatan pada September 2006, OECD menyelenggarakan Forum Administrasi Perpajakan yang membahas meningkatnya peran tax intermediaries termasuk tax advisers (konsultan pajak) dalam memberikan pemahaman pajak bagi masyarakat namun di sisi lain, juga meningkatnya tax planning secara agresif yang dikembangkan oleh konsultan pajak itu sendiri. Hasil diskusi yang dituangkan dalam “Seoul Declaration” menyarankan pentingnya kedudukan konsultan pajak dan perlunya membangun strategi untuk menjawab pertanyaan mengenai relasi yang ideal antara konsultan pajak dengan otoritas perpajakan. Pertanyaan tersebut kemudian menjadi bahasan utama yang diangkat dalam artikel ini. Penulis berpandangan bahwa terdapat peluang agar relasi yang dinamis antara kedua entitas ini berjalan saling menguntungkan.
Mitra Strategis
Pasca krisis moneter tahun 1998, ketika perekonomian negeri ini mulai menggeliat, profesi Konsultan Pajak makin berkembang pesat. Pasalnya sederhana, Wajib Pajak semakin merasa membutuhkan asistensi untuk memastikan bahwa kewajiban perpajakannya telah terlaksana dengan baik (Kadir, 2003). Atas dasar kebutuhan itulah profesi Konsultan Pajak kian dilirik. Dari sini dapat dipahami bahwa keberadaan Konsultan Pajak cukup strategis untuk membantu DJP mengawasi dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Pemahaman atas hal tersebut dapat menjadi modal dasar terciptanya iklim sistem perpajakan yang kondusif sebab bersama dengan Ditjen Pajak dan Wajib Pajak, Konsultan Pajak adalah salah satu elemen dalam lingkup sistem tersebut. Ketiganya setara dan saling membutuhkan dalam suatu pola yang saling berhubungan.
Memasuki medio 2016, berdasarkan data pada Direktorat Jenderal Pajak, terdapat 3.322 orang Konsultan Pajak terdaftar. Jumlah ini sedikit dan tidak memberi signifikansi. Keberhasilan tugas DJP untuk mengamankan target penerimaan negara setiap tahunnya ditentukan dari efektifitas mekanisme pengawasan kepatuhan Wajib Pajak. Jika sampai dengan Agustus 2016 terdapat kurang lebih 37 juta Wajib Pajak terdaftar yang diawasi DJP dengan jumlah pegawai hanya 36.000an orang. Artinya ada begitu banyak Wajib Pajak yang lolos dari pengawasan dan berakibat hilangnya potensi penerimaan pajak secara akumulatif. Ini adalah ruang kosong yang mendesak untuk diisi dengan memandang dan mendudukkan Konsultan Pajak sebagai mitra strategis untuk menutupi keterbatasan yang membelit DJP.
Revolusi Paradigma
Usaha DJP untuk memperbaiki kinerjanya menunjukkan kesan progresif dan itu patut diapresiasi. Namun kerap kali segala upaya tersebut menguras banyak sumber daya sehingga menyebabkan instansi ini kehilangan fokus dalam menyelesaikan tugas utamanya mengamankan penerimaan pajak. Target penerimaan pajak dapat tercapai jika DJP berhasil mensinergikan fungsi pelayanan, pengawasan, dan penegakkan hukum kepada Wajib Pajak secara sinkron dalam operasional sehari-hari. Sehingga terdapat fungsi-fungsi yang optimalisasinya dapat diserahkan dengan mengandalkan keberadaan pihak lain yang tidak kalah kompeten, dalam hal ini adalah Konsultan Pajak. Pilihan tersebut realistis ditengah keterbatasan sumber daya waktu dan sumber daya manusia yang dimiliki DJP. Fungsi-fungsi yang dapat disinergikan secara optimal (bukan lepas tangan) dengan Konsultan Pajak antara lain fungsi sosialisasi, fungsi pendampingan, fungsi evaluasi dan fungsi anti-penghindaran pajak.
Fungsi Sosialisasi
Sebagaimana disebutkan dalam panduan yang dirilis OECD yang berjudul “Study Into The Role of Tax Intermediaries” bahwa: “The enhanced relationship between tax advisers and revenue bodies should also result in opportunities for tax advisers and revenue bodies to collaborate on projects such as the production of early explanations of new tax laws, or greater consultation in respect of law-reform proposals.” Ini sejalan dengan konsep bahwa setiap suatu kebijakan perpajakan terbit, maka langkah terpenting adalah melakukan sosialisasi. Konsultan Pajak, dengan basis data yang dimilikinya dan akses ke segmen masyarakat tertentu yang sudah terjalin dengan baik, dapat diberdayakan untuk terlibat dalam upaya sosialisasi tersebut. Langkah ini membantu proses diseminasi kebijakan perpajakan agar berlangsung lebih cepat dan berdampak lebih luas. Lebih jauh lagi, disaat yang sama optimalisasi dalam sinergi terhadap fungsi ini dapat menghasilkan evaluasi berjalan terhadap suatu kebijakan perpajakan. Artinya Konsultan Pajak dari pengalaman yang dilakukannya dapat menyusun sejumlah butir rekomendasi untuk penyempurnaan kebijakan. Biasanya, butir rekomendasi tersebut dapat terkumpul berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat pada masa sosialisasi.
Fungsi Pendampingan
Meskipun semangat modernisasi yang digulirkan DJP telah melahirkan jabatan tertentu yang berfokus memberikan pendampingan dan fungsi konseling kepada Wajib Pajak, tidak dapat dihindari bahwa masih banyak Wajib Pajak masih memilih menggunakan jasa Konsultan Pajak. Terhadap fenomena ini, DJP tidak boleh salah dalam memahami pilihan masyarakat. Masyarakat memiliki alasan masing-masing untuk belum mengoptimalkan fasilitas yang disediakan DJP. Justru, hal tersebut merupakan tantangan sendiri untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas pendampingan yang disediakan DJP. Masyarakat yang masih nyaman dengan jasa Konsultan Pajak tidak perlu diupayakan untuk menjadi berpaling. DJP pun tetap harus berpikiran positif dalam memandang profesionalisme yang disediakan Konsultan Pajak.Kesediaan yang diberikan Konsultan Pajak untuk memberikan pendampingan profesional adalah kesempatan untuk secara tidak langsung merawat tingkat pengetahuan Wajib Pajak agar tetap terpelihara.
Fungsi Evaluasi
Signifikansi peran yang dimainkan Konsultan Pajak dalam memberikan kontribusi terhadap sistem perpajakan dapat dijalankan dengan memberikan saran konstruktif atas kebijakan-kebijakan perpajakan. Meskipun evaluasi berjalan secara mandiri tetap dilakukan DJP namun evaluasi yang diberikan pihak Konsultan Pajak (melalui asosiasi konsultan pajak) dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dan lebih dapat mengakomodir aspek keadilan yang diharapkan masyarakat. Evaluasi dalam hal ini juga meliputi kebutuhan akan asupan informasi yang memadai terkait kondisi bisnis dan perekonomian Wajib Pajak. Dengan informasi yang cukup maka kebijakan perpajakan yang dirancang oleh DJP dapat lebih kredibel dan dapat diterima lebih banyak lapisan. Ini sesuai dengan anjuran OECD bahwa: “tax advisers have a role to play in helping revenue bodies increase their commercial awareness and understanding their clients’ businesses”
Fungsi Anti Penghindaran Pajak
Di dalam bentuk yang lebih modern dari profesi konsultan pajak, para pelakunya telah menyadari sepenuhnya tentang keberadaan etika dasar dalam memberikan penyadaran bagi masyarakat untuk menghindari praktek penghindaran pajak (tax evasion). Dengan koridor undang-undang perpajakan yang menjadi aturan main bersama otoritas perpajakan, maka pelayanan perpajakan yang diberikan kepada Wajib Pajak akan selalu mempertimbangkan risiko besar jika Wajib Pajak mendorong untuk memilih perilaku yang bertetantangan dengan peraturan perundangan. Sehingga meski dorongan kecenderungan perilaku Konsultan Pajak yang terbesar adalah tuntutan dari klien (Wajib Pajak) untuk mengutamakan efisiensi biaya pajak (managing tax cost)maka sepanjang etika dan kesadaran telah terbangun dalam profesionalisme seorang Konsultan Pajak, praktik penghindaran pajak akan dapat diminimalisir. Fungsi semacam ini dapat dioptimalkan jika Konsultan Pajak ditempatkan sebagai mitra strategis dan diberikan rasa kepercayaan dari negara.
Kembali Ke Fitrah
Sudah saatnya jawaban atas pertanyaan dalam “Seoul Declaration” 10 tahun silam yang mengawali artikel ini dijawab dengan menempatkan kembali peran Konsultan Pajak ke fitrahnya. Di era dimulainya keterbukaan informasi keuangan, kedua belah pihak baik Konsultan Pajak maupun Ditjen Pajak harus saling membangun kepercayaan untuk menuju tercapainya kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan negara. Konsultan Pajak sudah seharusnya konsisten untuk berdiri di tengah dan memberikan kontribusinya kepada negara dengan menyediakan jasa profesional kepada masyarakat penggunanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. DJP, di saat yang sama, harus lebih merangkul dan menempatkan Konsultan Pajak sebagai mitra strategis yang dapat diajak bersinergi untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu seperti: sosialisasi, pendampingan, dan evaluasi serta membangun prinsip anti-penghindaran pajak.. Dengan memberikan kesempatan untuk lebih terlibat terhadap Konsultan Pajak maka akan terbangun kerjasama dan kepercayaan yang baik dengan lebih cepat.
Hal ini dikarenakan pada dasarnya Konsultan Pajak adalah mitra strategis bagi DJP dalam menjalankan fungsinya. Lagipula, sebagai sebuah institusi yang terus memperbaiki diri, DJP memiliki keterbatasan sehingga tidak perlu memaksakan untuk menjalankan semua fungsi dalam belitan keterbatasan itu. Keberadaan pihak lain seperti Konsultan Pajak adalah kesempatan untuk mengoptimalkan kapasitas yang dimiliki sembari tetap terus mengembangkan kapabilitasnya pada masa yang akan datang. Pengembangan kapabilitas ini adalah tuntutan yang sungguh penting untuk dapat menghadapi tantangan praktik penghindaran pajak yang kian agresif pada masa yang akan datang. Jika tidak waspada dan menerapkan strategi yang tepat sejak dari sekarang maka tugas mengamankan penerimaan negara di masa yang akan datang akan terasa jauh lebih berat. Dan upaya itu dapat dimulai dengan merubah cara pandang dalam menilai kedudukan Konsultan Pajak dan menerapkan strategi yang pas agar peran profesi ini dapat berkontribusi optimal bagi negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H