Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Yang Tersisa] Setelah Parada dan Soza Mangkat*

25 April 2016   13:48 Diperbarui: 25 April 2016   13:59 2804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Biasanya, proses penyampaian SP2DK II dilakukan AR dengan mendatangi langsung alamat Wajib Pajak dengan maksud untuk bertemu dan menjalin komunikasi serta memberikan penjelasan lisan atas isi surat tersebut (Field Visit). Pada prinsipnya, menurut SE-39/PJ/2015 tidak dikenal mekanisme penerbitan SP2DK II, yang disebutkan sebagai tindakan lanjutan dalam hal SP2DK I tidak memperoleh tanggapan dari Wajib Pajak adalah dengan 1) pemberian perpanjangan waktu paling lama 14 hari kerja atau 2) melakukan kunjungan kepada Wajib Pajak atau 3) mengusulkan agar terhadap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan. Namun demikian, pada praktiknya untuk menjaga hubungan baik kepada Wajib Pajak, banyak KPP menerbitkan SP2DK II sehingga Wajib Pajak memiliki waktu tambahan untuk hadir memberikan penjelasan. Jika SP2DK II masih belum membuahkan tanggapan maka KPP akan menindaklanjutinya dengan melakukan kunjungan lapangan ke lokasi alamat/usaha Wajib Pajak.

Proses yang dilakukan AR untuk menindaklanjuti lebih jauh SP2DK yang belum ditanggapi Wajib Pajak adalah dengan mengundang Wajib Pajak datang ke KPP dalam rangka konseling. Jarak antara SP2DK II dengan terbitnya undangan konseling adalah 14 (empat belas) hari. Konseling merupakan titik temu paling akhir sebelum Wajib Pajak diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan. Melalui konseling diharapkan diperoleh kebenaran atas dugaan kewajiban pajak yang belum dipenuhi Wajib Pajak sebagaimana tertulis didalam SP2DK. Jika Wajib Pajak menyangkal dengan bukti yang kuat dan meyakinkan maka bukan tidak mungkin angka tersebut dibatalkan dan proses ditutup. 

Namun jika Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan atau tidak dapat membuktikan maka KPP berkewajiban menindaklajutinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu usulan pemeriksaan. Jarak sejak konseling sampai dengan usul pemeriksaan dibahas dan disetujui sangat beragam, tergantung kepada AR dalam menyusun analisis resiko dan penelaahan kembali usulan yang diajukan. Dengan asumsi bahwa seorang AR membutuhkan waktu sekitar 14 (empat belas) hari untuk menyelesaikannya maka sudah ada 42 (empat puluh dua) hari yang terlampaui sejak kali pertama potensi itu ditemukan.

Jangka waktu tersebut andaikan dimanfaatkan dengan baik oleh Wajib Pajak tentu saja cukup untuk membuktikan kebenaran pemenuhan kewajiban pajak menurut versi Wajib Pajak. Tahapan sampai dengan 42 (empat puluh dua) hari tersebut sebetulnya merupakan tahapan yang paling strategis karena nilai yang disampaikan oleh KPP belum menjadi ketetapan yang sifatnya mengikat. Melainkan baru berupa hasil analisis sementara sehingga akan lebih mudah bagi Wajib Pajak untuk memberi sanggahan, hal ini dimungkinkan karena tahapan tersebut belum melibatkan proses hukum yang panjang dan rumit, melainkan hanya mengandalkan itikad baik Wajib Pajak untuk bersikap kooperatif dan transparan. 

Tahapan panjang tersebut jika diabaikan akan menghantarkan ke proses yang lebih rumit yaitu pemeriksaan, proses ini tidak bisa dihentikan (kecuali dengan alasan tertentu yang biasanya ditetapkan oleh Instruksi Dirjen atau Peraturan Menteri Keuangan) dan selalu berakhir dengan terbitnya Surat Ketetapan Pajak (SKP). SKP merupakan produk hukum yang menjadi objek tagihan yang melekat kepada Wajib Pajak. Proses ini berlangsung setidaknya 3-7 bulan terhitung sejak usulan pemeriksaan dari AR disetujui atau bisa lebih cepat jika usul pemeriksaan berasal dari Kantor Pusat Ditjen Pajak (top-down). 

Jika dihitung dengan masa pra pemeriksaan, dengan jangka waktu pemeriksaan yang tercepat 3 (tiga) bulan maka ada rentang waktu sekitar 130 (seratus tiga puluh) hari atau hampir 5 (lima) bulan yang menjadikan sangat mungkin bahwa sebelumnya sudah ada interaksi langsung antara KPP dan Wajib Pajak. Jangka waktu tersebut belum memperhitungkan proses penagihan yang pada tragedi Parada dan Soza telah mencapai tahap penyampaian Surat Paksa. Jika diperhitungkan dengan proses penagihan yang sudah dijalankan maka durasi tersebut ditambah lagi sebanyak 28 hari (7 hari setelah jatuh tempo SKP ditambah 21 hari setelah batas jatuh tempo untuk dilakukan penyampaian Surat Paksa).

Terlepas dari bagaimana mekanisme pemeriksaan yang dijalankan, poin yang hendak disampaikan disini adalah dalam setiap tahapan tindak lanjut temuan data, selalu terbuka ruang yang begitu lebar untuk Wajib Pajak memberikan atau meminta penjelasan atas angka yang ditemukan. Begitu juga atas penetapan Surat Ketetapan Pajak yang akhirnya menghantarkan Parada dan Soza menuju keabadian. Lebih jelas lagi disampaikan bahwa berdasarkan runutan proses pra ketetapan tersebut, sangat kecil kemungkinan pelaku tidak mengetahui nilai yang ditagihkan. Sehingga pengakuan pelaku yang menyatakan terkejut lantas kalap atas nilai yang ditagihkan perlu diujikan kembali kebenarannya melalui proses pembuktian sesuai ketentuan yang berlaku.

Momentum Penguatan

Parada dan Soza telah mangkat dengan meninggalkan catatan sejarah yang akan dikenang banyak orang. Pemangku kepentingan di negeri ini seharusnya memaknai apa yang mereka alami sebagai momentum untuk menyadari bahwa pekerjaan Ditjen Pajak bukanlah suatu pekerjaan yang tanpa risiko terutama mereka yang menyandang jabatan tertentu yang bersentuhan langsung dengan Wajib Pajak di lapangan, seperti Juru Sita, Account Representative, Fungsional Pemeriksa Pajak, dan Fungsional Penilai PBB. Ketiga jenis jabatan ini menyusun sekitar 36% dari komposisis total sekitar 35.000 pegawai Ditjen Pajak. 

Penguatan DJP dapat dilakukan secara kelembagaan dengan memberikan amunisi yang memadai bagi instansi ini dalam menjalankan tugas. Amunisi tersebut diberikan dalam bentuk perlindungan hukum bagi pegawai Ditjen Pajak. Realita yang terjadi adalah regulasi yang membahas perihal tersebut mangkrak. Tidak terdengar progres yang signifikan sejak wacana itu mengemuka tahun 2015 lalu. Kerjasama yang terjalin antara Ditjen Pajak dan POLRI baru sampai rencana untuk memberikan pengamanan saat proses penagihan pajak. Namun sejauh ini belum terlihat realisasinya.

Perlindungan bagi petugas pajak mendesak untuk disediakan saat ini jika memang negara belum mampu membuat Ditjen Pajak menjadi lebih kuat sebagaimana yang seharusnya dianjurkan menurut penelitian terkini. Karena menurut saya sudah saatnya petugas pajak dengan jabatan dan kompetensi tertentu dilengkapi dengan alat dan keahlian khusus untuk melindungi dirinya dari ancaman fisik dan non fisik yang berpotensi membahayakannya. Potensi itu dapat berupa intimidasi, ancaman, kekerasan hingga kehilangan nyawa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun