Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tributum Ergo Sum: Aku Membayar Pajak, Maka Aku Ada

19 Februari 2016   08:59 Diperbarui: 19 Februari 2016   09:15 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1637 Masehi seorang Descartes pernah berujar: “Cogito Ergo Sum” atau “Aku Berpikir Maka Aku Ada”. Kala itu, mendiang Descartes mungkin tidak pernah menduga bahwa 379 tahun kemudian ujarannya itu telah menginspirasi seorang abdi negara untuk membidani lahirnya artikel “Aku Membayar Pajak Maka Aku Ada”  atau “Tributum Ergo Sum”. Menurut Zen RS (2014) rumusan Descartes tersebut menempatkan manusia sebagai subjek dunia sekaligus menjadi tautan ontologis dari antroposentrisme. Sementara dari sudut pandang perpajakan, manusia yang diangkat didalam artikel ini adalah manusia sebagai Wajib Pajak dan tautan ontologis dalam hal ini adalah pembayaran pajak yang dilakukannya yang menjadikan mereka “ada” atau tidak sekadar bernyawa.

Sayangnya pandangan idealis itu terbentur dengan sebuah realita klise dari Richard M Bird: Manusia pada dasarnya tidak suka membayar pajak. Ragam penelitian pun dilakukan disetiap penjuru dunia untuk mengupas hal mendasar yang diharapkan mampu mendorong manusia berkenan membayar pajak. Salah satunya terkonfirmasi melalui hasil eksperimen di Harvard Business School yang berjudul “Eliciting Taxpayer Preferences Increases Tax Compliance” oleh Michael L Norton (2014). Ia menyimpulkan bahwa setiap individu akan dengan senang hati memberi (membayar pajak) manakala mereka mengetahui untuk apa mereka memberi dan cenderung enggan untuk melakukannya jika mereka tahu hasil dari apa yang mereka bayarkan adalah hal yang sama sekali tidak mereka inginkan.

Kesimpulan dari Norton bisa dimaklumi karena seiring perkembangan zaman Wajib Pajak juga kian cerdas dalam memandang kinerja pemerintah. Eugene Stuerle (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa: “Tax policy today involves far more than issues of how to collect revenues fairly and efficiently: it has evolved into a major tool for both macro or fiscal policy and, more than ever, expenditure and social policy”. Artinya Wajib Pajak sudah tidak lagi hanya terkungkung oleh kriteria perpajakan semata dalam memandang kebijakan perpajakan dan dalam menentukan tingkat kepatuhan yang akan dilakukan.

Sejumlah kriteria perpajakan yang pernah dikemukakan oleh Joseph Tyre Sneed, Eugene R Schlesinger, Musgrave, Adam Smith, Traditional Trinity of Tax Policy Criteria, International Criteria for Tax Policy, dan International Monetary Fund (IMF) Tax Policy kemudian menjadi tidak lagi relevan jika kriteria itu gagal menjawab ekspektasi Wajib Pajak: Benarkah Pajak yang Saya Bayar Telah Digunakan dengan Baik?

Tipikal Wajib Pajak semacam inilah yang sebetulnya dibutuhkan negeri ini. Wajib Pajak yang kritis dan memandang dirinya setara dengan pemerintah (memiliki nilai tawar). Mereka sadar bahwa mereka adalah salah satu unsur vital dalam tritunggal tak sakral antara Wajib Pajak, Pemerintah, dan Konsultan Pajak yang terbangun secara alamiah pada sebuah sistem perpajakan yang ada disuatu negara. John E. Karayan dan Charles W. Swenson (2007) dalam bukunya yang berjudul “Strategic Business Tax Planning” menyebutkan bahwa pajak pada dasarnya merupakan harga yang harus dibayarkan kepada pemerintah atas penyediaan fasilitas publik.

Diktum Tributum Ergo Sum yang dikumandangkan penulis berangkat dari pandangan ini. Raison d’etre nya adalah: Jika Wajib Pajak telah membayarkan harga tersebut maka pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas publik yang layak. Fasilitas tersebut juga tidak boleh secara sempit dimaknai terbatas hanya fasilitas fisik semata, tetapi juga penyediaan kedamaian dan ketenangan di ruang publik oleh para elit.

Dalam konteks hubungan harga-produk maka setiap pembayaran oleh pembayar melahirkan hak untuk menikmati sebuah fasilitas atas pengorbanan yang dilakukan. Jika memang kemudian sudut pandang ini tidak bisa dipakai karena mungkin terlalu menyimpang dari prinsip Keuangan Publik maka fasilitas tersebut setidaknya masih bisa digantikan dengan hak untuk memastikan bahwa uang pajak yang telah dibayarkan telah digunakan sebagaiamana mestinya.

Penuntutan hak tersebut pada dasarnya merupakan hak setiap warga negara, namun jelas para Wajib Pajak yang membayar pajak berada dibarisan terdepan. Mereka adalah pertahanan terakhir yang dimiliki bangsa ini manakala persekongkolan antara pengusaha hitam dengan pejabat tuna nurani telah membelit tubuh birokrasi, sehingga peran mereka mendesak difasilitasi agar pemanfaatan uang pajak berjalan sesuai dengan amanat konstitusi.

Membayar pajak kini sudah bukan lagi sekadar memenuhi kewajiban melainkan sebagai alat untuk menaikkan nilai tawar Wajib Pajak itu sendiri. Kewajiban untuk membayar pajak yang telah dipenuhi dengan benar seharusnya sudah cukup menjadi dasar yang kuat untuk menyuarakan protes ke pemerintah atas pelayanan publik yang kurang layak atau hak untuk menuntut agar pemerintah memprioritaskan penggunaanya untuk program yang menyentuh langsung kesejahteraan rakyat.

Keberanian semacam itulah yang penulis sebutkan dapat mendorong Wajib Pajak menjadi tak hanya sekadar bernyawa tetapi juga menggunakan haknya. Di negara maju seperti Amerika Serikat, mereka membentuk National Taxpayers Union (NTU) yang menjadi wadah untuk menyuarakan kepentingan Wajib Pajak termasuk dalam hal kebijakan perpajakan dinilai tidak adil dan memberatkan.

Keberadaan entitas semacam NTU dibutuhkan sebagai wahana pembelajaran bagi Wajib Pajak untuk bersatu menyuarakan kepedulian dengan mengedepankan semangat dialog. Kehadiran wadah semacam ini merupakan bentuk lanjutan yang lahir dari diktum Tributum Ergo Sum. Ia lahir dari kesadaran kolektif bahwa “membayar pajak adalah kewajiban” yang bertemu dengan “pemahaman tentang bagaimana seharusnya pajak itu dipungut dan digunakan”. Kita tentu tidak ingin kebijakan perpajakan menjadi korban karena dirumuskan semata mengikuti dahaga belanja pemerintah atau bisik-bisik oknum pengusaha hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun