Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengampunan Pajak, Jalan Pintas Mencapai Target Penerimaan Negara. Mitos atau Fakta?

20 Januari 2016   19:14 Diperbarui: 20 Januari 2016   19:24 28963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty (selanjutnya penulis singkat TA) bukan kebijakan yang asing bagi Indonesia. Negara ini sudah empat kali menerapkan kebijakan serupa yakni pada tahun 1964, 1984, 2008, dan 2015. Termasuk pula yang kini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu RUU Pengampunan Pajak yang jika diketok palu tanda setuju, akan mulai berlaku per Februari 2016. Terlepas dari latar belakang dan tujuan jangka panjang penerapan TA, kiranya tidak ada lagi keraguan bahwa salah satu tujuan utama dari TA itu sendiri adalah mengerek penerimaan pajak yang seret dan tidak pernah mencapai target.

Data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2004- 2015 secara rata- rata Direktorat Jenderal Pajak hanya mampu mencatatkan pencapaian penerimaan pajak sekitar 95,59% (masih kurang dari target yang ditetapkan). Sehingga dari rahim ketumpulan kinerja itu lahirlah kebijakan TA. Pertanyaanya sederhana. Apakah harapan bahwa TA merupakan jalan keluar dari permasalahan tersebut, merupakan fakta atau sekadar mitor belaka?

Kepemimpinan, Politik, dan Pajak

Pajak, bagaimanapun krusial posisinya sebagai instrumen kebijakan ekonomi, tetap tidak bisa dilepaskan dari kepentingan banyak pihak. Termasuk politisi. Kepemimpinan menjadi penting dalam hal ini, kepercayaan yang baik antara sesama unsur pimpinan negara adalah modal untuk menciptakan kebijakan pajak yang kuat dan mengandung semangat kebersamaan. Mengacu pada apa yang terjadi di Afrika Selatan yang memulai upaya perbaikan administrasi perpajakan sejak tahun 1997 (melalui pembentukan South Africa Revenue Service/SARS) negara ini kemudian sukses mempertahankan performa sistem perpajakannya dengan menjadi urutan ke-3 (setelah Algeria dan Seychelles) dari daftar 10 negara di benua Afrika dengan Tax Ratio tertinggi, namun yang perlu dicermati disini adalah realita bahwa secara konsisten, termasuk ketika TA diberlakukan, keberadaan sosok Nelson Mandela telah menjadi pelopor rekonsiliasi politik di negeri tersebut dengan memberikan pengampunan kepada pejabat kulit putih yang pernah membuatnya mendekam di balik jeruji besi 20 tahun lamanya.

Terinspirasi dengan kebesaran jiwa seorang Mandela, TA yang dijalankan di negara itu mendapat sambutan hangat karena antara para elit dan warga negaranya sudah terbangun rasa saling percaya, memaafkan (rekonsiliasi), dan persamaan visi untuk membangun masa depan dengan semangat kebersamaan, dan menanggalkan semua cerita masa lalu. Artinya dalam hal ini, penulis hendak mengingatkan bahwa kehadiran peran politisi dalam kebijakan TA bukan suatu hal yang tabu, karena memang ditangan merekalah pada akhirnya kebijakan TA diputuskan. Terlebih jika TA yang dikehendaki berlandaskan UU yang melibatkan elit di tataran legislatif dan eksekutif.

Di Indonesia yang kini dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penulis melihat bahwa peluang itu ada. Ketokohan seorang Joko Widodo yang ditengarai memiliki modal sosial yang besar dapat dikapitaliasi menjadi semangat untuk memulai rekonsiliasi politik dan membuat batas yang tegas dengan masa lalu dan belajar dari kesalahan- kesalahan pemimpin terdahulu termasuk kesalahan di bidang tata kelola fiskal (perpajakan).

Pijakan yang digunakan untuk memulai semangat ini sebagaimana dinyatakan oleh Prastowo Yustinus dalam tulisannya yang berjudul “Quo Vadis Kebijakan Perpajakan Indonesia” (dimuat di harian KOMPAS edisi 12 Januari 2016) adalah dengan menyuntikkan visi Trisakti dan jalan Nawacita yang menyatakan untuk menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan demi kesejahteraan rakyat, serta merumuskan turunan dalam program dan agenda aksi. TA merupakan unsur yang relevan dan koheren dengan semangat dan upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan, TA diberikan sebagai penanda adanya transisi sistem perpajakan, sebagaimana yang terjadi pada TA 1984 yang merupakan satu kesatuan dengan paket reformasi perpajakan saat itu yang melahirkan UU No 6,7,8 Tahun 1983 tentang KUP, PPh, dan PPN & PPnBM.

Pajak, dalam kaitannya dengan semangat TA, tidak bisa lepas dari kepemimpinan tokoh politik saat itu, tingkat keberhasilan TA sangat ditentukan dengan kredibilitas pemerintahnya dan otoritas perpajakan yang mengelolanya. Kepercayaan itu dimulai tentu saja dari kebesaran jiwa pemimpin yang duduk di pemerintahannya.

Persiapan Adalah Kunci

Penulis sendiri berpendapat bahwa TA bukan satu-satunya jalan keluar yang tepat atas kegagalan DJP dalam mencapai target penerimaan pajak yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P. Hal ini dikarenakan TA, kalaupun berhasil, hanya merupakan jalan pintas yang tidak mewariskan pondasi struktur kebijakan perpajakan yang kokoh dan berkelanjutan untuk generasi mendatang. Namun artikel ini tidak ditujukan untuk menentang TA, melainkan memberikan masukan bahwa persiapan adalah kunci utama yang dapat menjadi jawaban atas pertanyaan yang mengemuka bersama judul artikel yang penulis buat.

Persiapan yang penulis maksud dimulai dari salah satu kriteria yang disebutkan oleh Profesor Schlesinger (Pace University, New York) bahwa untuk dikatakan sebagai kebijakan perpajakan yang baik, maka harus terdapat estimasi penerimaan pajak yang dapat didulang melalui penerapan kebijakan tersebut. TA 1984 yang berlaku di Indonesia kala itu telah mengumpulkan tax revenue sebesar Rp67,8 Miliar dari total penerimaan negara tahun 1985/1986 Rp6.616,9 Miliar atau sekitar 1,02% nya saja. Sementara TA 2008 (Sunset Policy) berhasil menyumbang sekitar 15,2% dari target yang tercapai. Adapun untuk TA 2015 (Reinventing Policy) sejauh ini belum ada rilis berita resmi dari Direktorat Jenderal Pajak mengenai angka yang terkumpul. Sehingga program TA yang baik seharusnya sudah memperhitungkan besaran target yang bisa diraih melalui pemberlakuan kebijakan tersebut.

Estimasi potensi merupakan unsur penting karena menjadi tolak ukur keberhasilan/ efektivitas TA itu sendiri. Potensi dihitung berdasarkan kajian yang berdasar. TA di Italia (scudo fiscale) melakukan perhitungan potensi penerimaan pajak dengan melibatkan inteligen untuk menggali informasi mengenai jumlah aset/kekayaan warga negaranya yang disembunyikan di luar negeri. Hasilnya tercatat bahwa ada sekitar 500 Euro nilai kekayaan yang bisa diikutisertakan dalam pengampunan, pasca TA dijalankan ternyata hanya 80 Euro yang berhasil direpatriasi kedalam negeri melalui skema TA.

Belajar dari pengalaman TA ala Italia, maka Indonesia bisa menerapkan upaya untuk mempelajari terlebih dahulu besaran kekayaan yang diharapkan akan dimintakan ampunan oleh Wajib Pajak. Dari situ potensi tax revenue yang masuk dapat diestimasi agar menjadi tolak ukur keberhasilan kebijakan sekaligus sebagai pijakan untuk penentuan skema yang tepat apakah melalui tarif tebusan yang sesuai atau cukup penghapusan sanksi bunga/denda. Tetapi justru disitu masalahnya, estimasi potensi hanya dengan akurat diketahui jika negara memiliki administrasi yang baik. Sehingga persiapan yang dimaksud juga seyogyanya adalah pembenahan administrasi terlebih dahulu. Tanpa adanya semangat semacam ini, maka TA terancam hambar dan kehilangan arah serta wibawanya.

Kesimpulan

Apakah kemampuan TA dalam membantu negara mencapai target penerimaan pajak merupakan fakta atau sekadar mitos belaka? Pencapaian target penerimaan pajak dalam konteks TA adalah tujuan jangka pendek yang mendorong pemerintah memberlakukan TA itu sendiri. Jawaban atas pertanyaan yang penulis buat ada pada kekuatan kepemimpinan politik dan kualitas persiapan pra pengampunan dilakukan.Kualitas kepemimpinan politik akan mendorong lahirnya semangat kebersamaan untuk menatap masa depan dan melepaskan segala kesalahan masa lampau, termasuk kesalahan dalam konteks perpajakan.

Kepercayaan itu dimulai tentu saja dari kebesaran jiwa pemimpin yang duduk di pemerintahannya. Bersamaan dengan itu hal yang juga tidak bisa diabaikan adalah estimasi penerimaan pajak yang dapat didulang melalui penerapan kebijakan tersebut. Persiapan juga meliputi pembenahan administrasi terlebih dahulu. Kualitas gabungan yang baik antara kedua unsur yang penulis sebutkan diatas akan menjadikan TA adalah alat bantu yang baik bagi negara untuk mencapai target penerimaan pajak, jika tidak maka TA hanya mitos belaka yang tidak optimal keberadaanya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun