Mohon tunggu...
Agnes Sony Tianinda
Agnes Sony Tianinda Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Masih belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Konglomerasi Media Membatasi Isi Konten Berita Online, Benarkah?

7 Oktober 2019   15:55 Diperbarui: 7 Oktober 2019   22:26 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan industri media di Indonesia tidak pernah lepas dari beberapa nama pengusaha besar yang menjadi pemilik media di Indonesia. Hampir sebagian besar media di Indonesia dikuasai oleh para pengusaha besar tersebut. Menariknya, sebagian besar pengusaha tersebut juga merupakan tokoh politik di Indonesia.

Konglomerasi Media

Konglomerasi Media di Indonesia tidak dapat dipungkiri kehadirannya. Konglomerasi media, menurut Anggia Valerisha dalam jurnalnya, merupakan bentuk praktik di mana perusahaan media di saling bergabung menjadi perusahaan yang lebih besar dan membawahi banyak media dengan jenis yang beragam yang dilakukan dengan cara membeli saham, merger, atau akuisisi.

Kelompok Media di Indonesia

Dikutip dari Merlyna Lim dalam jurnalnya yang berjudul The League of Thirteen Media Concerntration in Indonesia, kelompok media di Indonesia dibagi dalam 12 kelompok. 

Dari kelompok-kelompok tersebut, terdapat beberapa media di Indonesia dengan nama pemilik yang familiar di wajah politik Indonesia, di antaranya Hari Tanoesoedibjo pemilik Media Nusantara Citra (MNC) Group, dengan 3 stasiun televisi nasional, 3 stasiun televisi berbayar, 3 stasiun radio, satu koran, tiga majalah, tiga media online dan empat usaha di bidang lainnya. Sebagai tambahan, Hary Tanoesoedibjo juga merupakan ketua umum Partai Perindo.

Selain MNC Group, berikut daftar grup media di Indonesia:

Sumber: Merlyna Lim/The League of Thirteen Media Concerntration in Indonesia
Sumber: Merlyna Lim/The League of Thirteen Media Concerntration in Indonesia

Konglomerat Media dan Riwayat Politiknya

Dari 12 nama yang disebutkan Lim dalam jurnalnya tersebut, beberapa merupakan tokoh politik aktif maupun yang secara terang-terangan menyatakan pilihan politiknya, antara lain :

  • Hary Tanoesoedibjo -- Ketua Umum Partai Perindo
  • Erick Tohir -- Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin
  • Dahlan Iskan -- Mantan Menteri BUMN era Presiden SBY, anggota Partai Demokrat
  • Eddy Kusnadi Sariaatmadja -- Tidak terlibat dalam politik secara langsung, anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) yang dilantik Jokowi tahun 2016
  • Anindya Bakrie -- Mengikuti acara Deklarasi Dukung Jokowi pada Pilpres 2019. Ayah sekaligus pemilik Bakrie Group sebelumnya, Aburizal Bakrie, merupakan anggota Partai Politik Golongan Karya (Golkar) 2009 silam
  • Surya Paloh -- Anggota Partai Golkar (1969-2011), Anggota MPR 1982-1987, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (2011-sekarang)

Berdasarkan hasil pencarian yang saya lakukan, setengah dari 12 kelompok media tersebut terlibat secara aktif dalam politik. Sedangkan beberapa di antaranya memilih bersikap netral seperti Chairul Tanjung, yang sempat dirumorkan menjadi Calon Wakil Presiden Indonesia (Cawapres) bersama dengan Jokowi.

Delapan Konglomerat Media di Indonesia

Dari dua belas kelompok media menurut Lim, terdapat delapan kelompok media mayor yang dikuasai oleh delapan konglomerat besar yang dikutip dari tirto.id, antara lain :

berita Jokowi di Media Indonesia
berita Jokowi di Media Indonesia
berita Jokowi di Media Indonesia
berita Jokowi di Media Indonesia
  • Chairil Tanjung 

CT Corp, dengan anak perusahaan Trans Corp yang menguasai lima media, antara lain, Trans TV, Trans 7, CNNTV, CNNOnline, Detik. serta memiliki dua infrastruktur, Transvision (70%), Indonusa Telemedia.

  • Hary Tanoesoedibjo

globalmediacom. Memiliki anak perusahaan MNC dengan media: (1)MNC, (2)Global, (3)RCTI, (4)Koran Sindo, (5)Okezone, (6)Sindonews, (7)Trijaya FM, (8)RDI, dan (9)Global Radio, dengan dua infrastruktur, Indostar II dan Indovision

  • Eddy Sariaatmadja

Emtek, dengan anak perusahaan SCMA Group. Lima media (SCTV, Indosiar, O-Channel, Liputan6.com, dan El Shinta). Infrastruktur Bitnet Komunikasindo.

  • James Riady

Lippo Group, dengan anak perusahaan Berita Satu. Tiga media (Berita Satu TV, Berita Satu Online, Suara Pembaruan). Dua infrastruktur, LinkNET dan FirstMedia.

  • Jakob Oetama

Kompas Gramedia, dengan anak perusahaan Kompas Group. Lima media (Kompas, KompasTV, Kompas Online, Tribun, Sonora Radio). Satu infrastruktu,r K-Vision.

  • Aburizal Bakrie

Bakrie, dengan anak perusahaan Visi Media Asia. Tiga media (TVOne, ANTV, Vivanews). Infrastruktur Bakrie Telecom.

  • Dahlan Iskan

Jawa Pos, dengan anak perusahaan Jawa Pos Group. Empat media (Jawa Pos, Jawa Pos TV, jpnn.com, Fajar FM. Infrastruktur Fangbian Iskan.

  • Surya Paloh

Media Group dengan anak Perusahaan Media Televisi Indonesia. Tiga media (Metro TV, Media Indonesia, metrotvnews.com). Satu infrastruktur Media Group

Teori Agenda Setting

Dalam ranah Ilmu Komunikasi, dikutip dari jurnal Jaduk Gilang Pembayun, terdapat Teori Agenda Setting yang diperkenalkan oleh McCombs dan Shaw pada tahun 1972. Asumsi dasarnya adalah jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, hal tersebut akan memengaruhi audiens untuk menganggapnya penting. 

Media memiliki kekuatan untuk memengaruhi audiens agar mempercayai bahwa suatu isu atau peristiwa dianggap penting. Dalam Teori Agenda Setting, terdapat agenda media yang merupakan daftar isu dan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan kepentingan. Media melakukan seleksi berdasarkan politik pemberitaan masing-masing media yang subjektif.

Agenda setting menentukan hal yang menjadi agenda publik, isu yang menjadi bahan pembicaraan utama yang diharapkan menjadi agenda kebijakan atau memengaruhi agenda politik yang kemudian memengaruhi kebijakan publik. Singkatnya, media memiliki kekuatan untuk membuat suatu isu dianggap penting oleh audiens atau masyarakat.

Kebebasan Pers di Indonesia

Sudah menjadi rahasia publik bahwa di era pemerintahan Presiden Soeharto, pers sempat sangat dibatasi pergerakannya. Ketika Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Presiden Habibie, pers diberikan kebebasan yang lebih luas. 

Terdapat beberapa peraturan yang dianggap mengekang kebebasan pers kemudian dicabut, seperti Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kebebasan Pers kemudian ditegaskan dalam  UU No. 40 Tahun 1999.

Keresahan AJI dan Dewan Pers tentang Konglomerasi Media dan Kebebasan Pers

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Dewan Pers merasakan keresahan tentang dampak konglomerasi media pada kebebasan pers sejak lama. Terbukti pada Maret 2010 silam, dikutip dari berita Kompas, AJI bersama dengan Dewan Pers menggelar diskusi bertema "Konglomerasi Media: Ancaman Atau Peluang Bagi Kebebasan Pers". 

Menurut Ignatius Haryanto, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), pemberitaan dapat dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk kepentingan politik maupun bisnis, meskipun di sisi lain konglomerasi media yang memiliki kemampuan modal lebih kuat.

Faktanya Saat Ini...

Apakah konglomerasi media di Indonesia dan relasi politik para pemiliknya memengaruhi berita yang dirilis di situs berita online? Mari kita lihat dengan mencarinya di google.

berita Jokowi di Media Indonesia
berita Jokowi di Media Indonesia

berita Prabowo di Media Indonesia
berita Prabowo di Media Indonesia

berita Jokowi di Okezone
berita Jokowi di Okezone

berita Prabowo di Okezone
berita Prabowo di Okezone

Kesimpulan yang saya tarik dari hasil pemberitaan pada April-Mei 2019, yaitu ketika masa kampanye Pilpres 2019, tidak terdapat perbedaan pemberitaan yang signifikan dari beberapa situs berita online di Indonesia. 

Meskipun faktanya, pemilik dari media-media tersebut memiliki pilihan politik yang berbeda. Namun demikian, saya merasakan terdapat sedikit kesenjangan jumlah berita yang diterbitkan mengenai kedua Capres Pemilu 2019. 

Selain itu, para konglomerat media ini lebih memilih 'menggunakan' media sebagai alat kampanye partai maupun diri sendiri dibandingkan dengan preferensi politiknya. Selama masih dalam batasan yang wajar, menurut saya hal tersebut tidak dapat dihindari sebagai akibat dari konglomerasi media.

Bagaimana menurut anda? Apakah konglomerasi media di Indonesia memengaruhi kebebasan pers? Apabila terdapat pandangan yang berbeda, silakan tinggalkan komentar pada artikel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun