Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Puja Puji Kita untuk Mantan Koruptor

13 April 2023   09:00 Diperbarui: 13 April 2023   11:15 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA FOTO/RENO ESNIR)

Praktik korupsi yang melahirkan banyak koruptor di negeri ini nampaknya punya persoalan lain jika kita tinjau dari segi sosial. Mereka yang sudah mendapatkan vonis inkracht di depan pengadilan harus mendekam di dalam penjara dan itu belumlah kesudahannya. Setelah menjalani masa tahanan, hak politik mereka di bekukan dalam periode waktu tertentu, tetapi glorifikasi nama mereka masih saja terdengar nyaring.

Sebut saja fenomena sosial yang terjadi beberapa waktu ini. Anas Urbaningrum (AU) di sambut gegap gempita oleh fans dan sahabat mereka. Mulai dari kalangan tokoh politik, organisasi kepemudaan, sahabat atau keluarga ramai-ramai datang menyambut bebasnya sang mantan koruptor. Pemberitaannya pun juga ramai di lini masa. 

PENGARUH ANAS UNTUK DEMOKRAT DAN TAHUN POLITIK

Penyambutan bebasnya Mas AU dari Lapas Sukamiskin Bandung tentu mengundang banyak mata. Nilai kejujuran yang ada disitu hanyalah kerinduan yang harus dibayar lunas setelah tokoh ini mendekam selama 8 tahun. Namun dari sisi yang berbeda mari sama-sama mengakui bahwa karisma politik Mas AU masih dirindukan oleh banyak pihak.

Jika kita kembali ke masa-masa persidangan AU, maka akan kita temukan bila kasus ini sarat makna dan penyimpangan. Banyak sahabat dan pengamat hukum menilai sengketa ini adalah proses kriminalisasi dari ketokohan mas AU. Mau tidak mau, suka tidak suka Mas AU harus tabah melalui masa-masa kelam itu.

Kekuasaan waktu itu memang sangat dahsyat, bayangkan saja, Mas AU bukanlah satu-satunya yang terjebak dalam skandal mega korupsi tersebut. Tokoh dan kader lain pun juga ikut terseret. Menteri yang berasal dari partai yang sama juga porak-poranda di jegal KPK ke persidangan.

Kini Mas AU telah bebas. Banyak pihak menduga, kebebasan Mas AU ini akan menjadi bola panas bagi politik Indonesia. Wajar bila ia diramaikan.

Popularitas AU di gelanggang demokrasi khususnya Partai Demokrat yang pernah ia pimpin itu memang bukan main-main. Ia mampu menakhodai partai berambang mercy  tentu dengan gerakan politik yang terstruktur. Hari ini, nama mas AU memang masih melekat bagi para keluarga besar Partai Demokrat.

Segala macam dugaan, tuduhan dan perkiraan pun mulai muncul dan meramaikan kebebasannya. Ada yang bilang, AU akan merebut kembali Demokrat bersamaan dengan gugatan Moeldoko di pengadilan. Ada juga yang menyebut bahwa Mas AU akan balas dendam dengan kriminalisasi yang ia terima dari antek-antek Cikeas.

Suara sumbang di atas  mencederai kebebasan mas AU. Ia yang sudah di penjara tak diberi nafas lega untuk duduk bersama keluarga terlebih dahulu. Belum juga ia keluar namun ramalan malah merusak namanya. Tentu ini hanyalah selebrasi politik yang berlebihan.

Kita tentu rindu mendengar petuah dari seorang narapidana yang menghabiskan waktu panjang di dalam tahanan. Bagaimana ia melalui fase-fase berat itu? Apa pelajaran hidup yang ia terima? Pesan moral apa yang bisa ia bagikan kepada politisi atau calon politisi atau bahkan siapa saja yang saat ini duduk memiliki kekuasaan?

Harusanya itu saja yang kita dengarkan. Ekses kebebasan Mas AU terlalu ditarik kemana-mana. Mereka hanya ingin melihat Mas AU masuk politik supaya ada pembalasan dendam. Terlalu munafik bila itu sampai terjadi.

Kita seharusnya menimba kebijakan dari yang sudah dilalui Mas AU. Persoalan politik dan langkah kedepan yang akan beliau ambil, tak perlu kita besar-besarkan. Integritas dari seorang Mas AU sudah hancur dan kini akan disusun ulang. Itulah esensi yang harusnya kita kedepankan. 

SEKEDAR SENSASI YANG MELUPAKAN ESENSI

Jelas bahwa Anas Urbaningrum adalah seorang mantan koruptor. Stempel ini valid dari vonis majeis hakim yang menjatuhkan hukuman. Kesalahan tersebut adalah fatal dan telah menciderai nilai-nilai kebangsaan.

Bukankah akan berbahaya jika budaya glorifikasi ini bagi iklim politik kita? Banyak yang lebih prestasi tetapi mengapa malah di gembosi?

Media harusnya mencerdaskan masyarakat. Komitmen itu bisa ditunjukkan dengan pilah-pilah narasumber. Tokoh politik kita banyak dan isu yang terjadi di negara ini juga masih sangat banyak. Tidakkah sengkarut itu masih bisa dijadikan bahan informasi untuk dijejalkan ke masyarakat?

Bangsa ini sepertinya terlalu pemaaf. Kita memang diwasiatkan untuk saling memaafkan. Akan tetapi kita juga harus menyusun langkah preventif agar korupsi di Indonesia tidak berulang lagi. Salah satunya adalah dengan tidak memberikan karpet merah bagi napi mantan koruptor.

Sebentar lagi Mas AU mungkin akan tampil di TV, jadi juru bicara podcast dan lain sebagainya. Cara-cara ini hanya mengejar like, jumlah viewers dan rating semata tetapi mengabaikan pendidikan politik dan merendahkan martabat bangsa.

Sejujurnya realita ini tak perlu terjadi. Mas Anas sudah menjalani masa hukumannya dan kita cukup mendoakan agar beliau menjadi manusia yang semakin bijaksana. Biarkan beliau memulai lagi dari awal tanpa perlu di berikan panggung yang terlalu mengutamakan sensasi dari pada esensi.

Tak ada yang salah dengan mantan koruptor untuk kembali ke dunia politik. Itu adalah hak mereka juga. Tapi kembali lagi melihat intisari dari apa yang dilakukan oleh sebagian besar media arus utama hari-hari ini.

Puja-puji kita kepada mantan koruptor sepertinya terlalu berlebihan. Kita seharusnya bersikap biasa saja tanpa mengistimewakan salah satu pihak. Banyak pasang mata yang melihat perilaku yang kita buat ini.

Fenomena sosial seperti di atas sangat menggangu dan tidak memberikan pelajaran politik apa-apa. Jangan-jangan nanti ada yang berpikir, saya tak takut korupsi karena setelah saya di tahan toh saya akan tetap terkenal. Media akan mengundang saya dan saya bisa lagi masuk politik tanpa perlu capek membangunnya dari awal lagi.

Kesalahan berpikir ini terjadi karena kita sendiri yang tidak disiplin. Kita harusnya memberikan ruang dan porsi yang lebih banyak bagi politikus yang jujur. Mengapresiasi mereka dengan cara yang sportif tentu jauh lebih baik dari pada memberi karpet merah bagi para mantan koruptor.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun