Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Larangan Thrifting Ilegal dan Nasib UMKM Lokal Kita

27 Maret 2023   17:48 Diperbarui: 30 Maret 2023   10:20 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi thrifting (Sumber: Ardelia Thriftshop di Mijen, Semarang (Sabrina Mutiara Fitri via regional.kompas.com)

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengusulkan akan melarang impor thrifting ilegal. Menurutnya, praktik gelap ini bisa merusak UMKM lokal yang sekarang sedang tumbuh.

Dikutip dari Kompas.com, Deputi Bidang UKM Hanung Harimba Rachman menilai, praktik thrifting dapat merusak industri garmen dalam negeri. "Memang di peraturan perdagangan kita yang bea cukai itu kan sebenarnya dilarang thrifting, impor barang-barang bekas itu kan dilarang," ujaranya. Masih dalam sumber yang sama beliau menyatakan:

"Kita lihat, banyak tempat sampai di daerah-daerah itu penjualan baju-baju bekas ada di mana-mana. Nah, itu merusak industri garmen kita karena harga jauh lebih murah dan ada brand-nya, tapi bekas. Banyak masyarakat kita yang masih price sensitive, artinya kalau harganya murah dibeli, mau itu bekas sekali pun. Jadi industri kita tidak dihargai dan kalah, karena barang bekas dikasih tempat. Masyarakat kelas bawah mungkin senang. Ya otomatis rusak industri garmen kita".

Sumber foto : pexel.com
Sumber foto : pexel.com
Informasi di atas tentu akan menjadi kabar duka bagi para penggemar barang bekas, preloved atau apalah namanya. Namun, barang bekas ilegal yang masuk ke Indonesia juga berpotensi merusak iklim eknomi lokal kita yang sekarang sedang naik daun.

TREND THRIFTING DI INDONESIA

Secara harafiah, thrifting artinya berhemat. Pengertian ini berkorelasi dengan barang bekas yang notabene harganya murah dan ramah di kantong. Jika dipadu padankan maka thrifting adalah aktivitas seseorang yang berbelanja barang bekas demi berhemat. Jadi disini jelas bahwa motif utama dari thrifting adalah berhemat. 

Sedangkan jika ditinjau dari awal mula dan sejarahnya, ternyata thrifting tuh dimulai sekitar tahun 1.300-an di Inggris. Pada saat itu, pakaian bekas ditumpuk dan dijual di alun-alun pasar sebagai aktivitas penggalangan dana. Barang bekas ini kemudian dijual kepada donatur dan hasil penjualannya disumbangkan kepada para tuna netra atau orang yang membutuhkan dan mereka yang terkena musibah. 

Sumber foto : tangkapan layar akun instagram @ussfeeds
Sumber foto : tangkapan layar akun instagram @ussfeeds

Namun seiring perkembangan zaman, tujuan dari thrifting malah bergeser maknanya. Saat ini thrifting bukan hanya untuk mengumpulkan dana untuk bantuan sosial, tetapi dijadikan alat untuk transaksi ekonomi yang menguntungkan beberapa pihak. 

Thrifting sebenarnya sudah lama menjadi primadona di Indonesia. Saya masih ingat betul, ketika masih kanak-kanak, di daerah saya pedagang yang menjual pakaian bekas mulai dari baju, celana hingga kaos kaki sudah ada. Ketika ke pasar, praktis saya selalu melihat gunungan pakaian bekas yang waktu itu dibanderol dengan harga murah.

Sampai hari ini, penjual tersebut masih ada bahkan lapaknya bertambah luas. Nanti setelah era media sosial berjaya, penjualan pakaian bekas ini malah makin naik dan berpindah ke media sosial maupun ke marketplace. 

Istilah thrifting pun juga ikut terkenal sebagai rebranding nama dari usaha tersebut. 

Tak bisa kita pungkiri, faktor kosakata anak Jaksel dan sekitarnya yang kemarin melambung, turut serta memberikan power yang cukup kuat bagi usaha ini. 

Saya pertama kali mendengarnya agak bingung, ini jenis usaha yang bergerak dibidang apa yah. Setelah berselancar di internet, ternyata inilah maksud dari usaha tersebut. 

Bertemunya permintaan dan penawaran thrifting di laman media sosial maupun marketplace membuat trend ini makin menjamur. Minat anak muda khususnya mereka yang ingin mencoba hal baru pun ikut kepincut untuk mencoba berbelanja barang bekas. 

Melansir data pada hasil survei Goodstats tentang preferensi gaya fashion anak muda Indonesia yang dilaksanakan pada 5-16 Agustus 2022 dengan melibatkan 261 responden, sekitar 49,4% di antaranya mengaku pernah membeli fashion bekas dari hasil thrifting.  

Sisanya, sekitar 34,5% mengaku belum pernah mencoba thrifting (tetapi mungkin tertarik) dan sebanyak 16,1% menegaskan tidak akan pernah mencoba membeli barang hasil thrifting. Data ini tentu menjadi bukti sahih bahwa minat thrifting di Indonesia juga bisa saja akan terus meningkat seiring perkembangan zaman dan trend fashion. 

Selama ini, saya juga masih mengandalkan thrifting sebagai solusi untuk mencukupi kebutuhan fashion. Selain karena harganya murah, kualitasnya juga bisa dibilang sangat bersaing dengan produk yang buka baru. Di samping itu, produk thrifting biasanya jarang yang mirip. Jadi aman saat dipakai saat nongkrong. 

Saya tidak tahu apakah selama ini thrifting yang saya beli adalah barang ilegal atau tidak. Akan tetapi secara kualitas masih sangat bisa digunakan. Jika memang barang tersebut ilegal, maka pemerintah harus gerak cepat untuk mengevaluasi kondisi ini.

GELIAT UMKM LOKAL DALAM SERBUAN THRIFTING ILEGAL

Pernyataan pemerintah di atas adalah sebuah ketakutan karena serbuan thrifting ilegal diduga akan mengganggu pasar UMKM lokal. Hanya saja, pernyataan tersebut tidak disertai data yang memadai seberapa besar pengaruh pakaian bekas terhadap daya beli produk dalam negeri.

Selama ini pemerintah hanya bersandar pada tiga alasan yaitu karena barang bekas rawan mengandung bakteri atau zat berbahaya yang mana akan berpengaruh pada kesehatan penggunanya. 

Kedua, pakaian impor banyak yang ilegal alias black market sehingga tidak membayar pajak dan berimbas pada pendapatan negara. 

Ketiga, barang bekas yang branded dibanderol dengan harga murah sehingga memicu orang untuk membeli. 

Ketiga argumen ini sangat masuk akal menurut saya. Barang bekas memang rawan menjadi sarang bakteri berbahaya. Kasusnya pun sebenarnya sudah ada hanya kurang mendapat ekspose. Apalagi barang bekas yang selama ini dijual juga tidak melalui uji mutu seperti produk-produk resmi yang beredar di dalam negeri. 

Kondisi tersebut bisa berbahaya bagi konsumen. Pakaian bekas yang berserakan di lapak pedagang juga sangat sulit dipastikan kebersihannya. Oleh karena itu, isu ini bisa menjadi perhatian serius yang seharusnya mendapat perhatian yang besar bukan hanya bagi pemerintah namun para pembeli pakaian bekas untuk mulai menimbang dengan cermat ketika hendak melakukan praktik thrifting.

Lalu, permasalahan kedua terkait banyaknya barang bekas yang tidak melalui pintu resmi alias black market tentu merugikan negara kita. 

Menurut hemat saya, disinilah celah paling signifikan yang menggangu harga pakaian thrifting dan secara langsung juga berimbas pada harga produk dalam negeri.

Ketiga, terkait harga thrifting branded yang dibanderol dengan harga murah tentu menjadi momok tersendiri bagi industri fashion kita. Jika melihat antusiasme anak-anak muda saat ini, barang branded itu bisa meningkatkan legitimasi dan menjadi alat ukur apakah seseorang anak muda itu tidak ketinggalan zaman atau tidak.

Sama seperti adagium yang menyebut "Utamakan Fungsi Dari Pada Gengsi". Hari-hari ini, anak muda sangat terhipnotis dengan gengsi. Penyebabnya karena pergaulan dan eksplorasi bebas di media sosial. Jadi pake apa aja yang penting branded.

Mau pakai barang branded tapi ekonomi sulit, maka thrifting adalah pelarian terakhir yang bisa dilakukan. Anak-anak muda dengan gaji UMR, atau mereka yang masih sekolah dengan kekuatan ekonomi menengah kebawah mau tak mau harus menyelamatkan gengsi pergaulan mereka. 

Well, mereka yang berburu thrifting karena berburu barang branded memang tidak salah. Toh motivasi seseorang untuk membeli barang bekas atau tidak kembali lagi ke individu masing-masing. Namun yang perlu kita sadari bahwa branded dalam negeri juga punya kualitas yang sama baiknya dengan yang berasal dari luar negeri.

JALAN TENGAH THRIFTING ILEGAL VS UMKM LOKAL

Jika keputusan menyetop impor barang bekas ilegal akan dilakukan maka tidak serta merta menyelesaikan permasalahan UMKM lokal kita. Faktor lain yang bisa dijadikan pertimbangan adalah sensitive price masyarakat dengan beberapa produk dalam negeri yang harganya sulit terjangkau.

Persoalan harga barang memang akan sangat menyesuaikan dengan dompet masing-masing pemiliknya. Oleh karena itu, saya setuju bila produk impor ilegal tidak diizinkan masuk. Ada baiknya pemerintah memberangus saja praktik usaha gelap tersebut. 

Akan tetapi barang bekas yang masuk secara resmi jangan juga ikut dihentikan. Ada kalanya barang bekas yang masik bagus dan layak digunakan masih mendapat tempat di masyarakat. Jika dijual maka masih berpotensi menghasilkan cuan. 

Untuk produk lokal pun harus juga kita dukung dengan terus mempertahankan kualitas, promosi maupun harga yang masih bisa dinikmati oleh pekerja UMR maupun anak muda yang masih hidup dalam naungan orang tua. Serba serbi produk lokal memiliki ragam yang sangat banyak, tinggal pilih kita suka yang mana. 

Pada akhirnya, masyarakat nanti akan memilih produk mana yang akan dibeli sesuai dengan kemampuan uang, minat dan style serta kualitas barang. Kompetisi produk bekas VS UMKM Lokal biarkan saja terjadi sebagai jalan tengah polemik ini. Saya mendukung penggunaan UMKM lokal wajib dikedepankan tanpa harus membunuh usaha thrifting resmi yang juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun