Meskipun hanya bertemu dalam dunia digital, dokter kami menyarankan agar beberapa pasien dirujuk kekota untuk menjalani diagnosis lanjutan, sisanya bisa mengikuti pengobatan jarak jauh. Kami berusaha untuk menyanggupi itu dan mengajak peran serta Pemerintah Desa agar memfasilitasi warganya yang akan berobat kekota. Namun, karena banyak dari mereka yang tergolong ekonomi lemah, kami harus putar kepala untuk menyelesaikannya lagi.
Ternyata menjalankan pelayanan didesa tidak semudah yang dibayangkan. Kembali kami menggagas satu program inovatif bernama Seribu Untuk TB. Tujuannya adalah iuran seluruh masyarakat desa untuk memberikan bantuan materil kepada warga yang terjangkit TBC. Iuran ini sebesar seribu rupiah perkepala keluarga. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk membantu biaya transportasi dan sisanya akan dipakai untuk biaya rontgen paru dirumah sakit.
Ide ini diterima dengan terbuka oleh sebagian besar masyarakat kampung. Tidak hanya seribu perak, mereka yang berkecukupan bahkan memberi lebih. Sungguh nilai kegotong royongan yang sudah jarang kita temui. Kami pun menggotong beberapa pasien untuk selanjutnya dirujuk ke rumah sakit daerah dan bertemu dokter disana.
Perjuangan memang akan selalu menemui tantangan, izinkan kami berbangga diri karena sudah semakin mendekati pintu keberhasilan menyelesaikan TB diwilayah kerja Puskesmas Pinogu. Kasus demi kasus telah teratasi dan pasien TB kini lebih rajin dan disiplin dalam meminum obat mereka. Mereka yang tadinya putus obat, kembali bersemangat untuk menyelesaikan pengobatannya selama 6 bulan.
Penting untuk diketahui, kunci sukses untuk memutus mata rantai TBC adalah dengan taat meminum obat dan melakukan Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Agar program ini berjalan lancar dibutuhkan pemantauan yang ketat dari pihak tenaga kesehatan agar terus menerus memperhatikan pasiennya. Sekali seminggu, sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) saya  memantau mereka melalui panggilan video call.
Melalui kemudahan ini, pekerjaan kami dalam memantau dan mengidentifikasi para pasien semakin efektif dan efisien. Dengan berbasis teknologi yang dihubungkan dengan internet kami tak perlu kuatir lagi karena bisa berkonsultasi langsung dengan Dokter dirumah sakit. Monitoring efek samping obat dan tingkat kepatuhan minum obat pasien juga semakin mudah. Internet sangat bermanfaat dalam akselerasi penyelesaian TB di wilayah kerja Puskesmas Pinogu.
Dalam dua tahun kami berhasil mengobati 35 orang pasien dewasa dan 3 orang pasien anak. Mereka telah dinyatakan sembuh dan bebas dari kuman TB. Para kader kesehatan, tenaga kesehatan dan dokter yang ikut berkontribusi turut serta merayakan sukacita ini. Kelihatannya kecil namun perjuangannya sangat besar.
Tidak hanya persoalan TB, internet juga membantu banyak penyelesaian dibidang kesehatan. Misalnya ketika internet belum ada kami biasanya harus turun kekota hanya untuk mengirim data laporan kesehatan warga. Namun, sekarang hanya dengan tiga kali klik, kami bisa menghemat biaya dan waktu tanpa harus bersusah payah kekota.
Updating ilmu bagi tenaga kesehatan juga bisa dilakukan secara berskala. Kami sadar bahwa ilmu pengetahuan terus dan akan terus berkembang. Oleh karena itu, hal ini bisa dilakukan dengan terus belajar. Walau hidup dipedalaman, internet adalah jalan ninja kami dalam menyusul ketertinggalan, bisa dengan mengikuti seminar, membaca jurnal atau dengan menonton YouTube yang interaktif.
Tak terasa, waktu berputar dengan cepat, sampailah saya dan teman-teman diujung waktu pengabdian. Napak tilas perjalanan ini sangat mengesankan. Berbakti ditengah daerah yang asing ditambah dengan akses yang jauh dan buruk serta minimnya fasilitas publik membuat saya berjanji untuk tidak akan melupakannya.