Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum ( RUU Pemilu) nampaknya tak akan mengalami revisi. Kebijakan ini semakin menguat setelah diberitakan bahwa beberapa  partai politik yang semula mendukung revisi malah angkat kaki dan tak akan meneruskan  pembahasan tersebut. Padahal, sebelum batal direvisi, telah begitu banyak partai koalisi maupun non koalisi yang getol membahas perubahan RUU pemilu ini.
Sebelum RUU Pemilu harus kandas untuk tidak bahas, suara di  DPR RI memang telah terpecah. Ada sembilan partai  politik yang memiliki pandangan berbeda apakah pemilu dilaksanakan pada tahun 2022 atau serentak pada tahun 2024. Lima partai yaitu PDI-P, Gerindra, PAN, PPP serta PKB sepakat bahwa DPR RI tak perlu merevisi uu pemilu karena uu yang saat ini ada masih relevan dan relatif dapat mengakomodasi kepentingan demokrasi. Sedangkan empat partai yaitu Demokrat, Golkar Nasdem, PKS memilih untuk bersebrangan jalan dengan mengingingkan bahwa UU Pemilu perlu direvisi dan dibahas ulang.
Rencana untuk merevisi RUU Pemilu akhirnya  harus putus ditengah jalan setelah dua partai besar pendukung pemerintah, yaitu Nasdem dan Golkar menarik niatannya. Perubahan yang terjadi dalam waktu semalam itu tentu sangat mengaggetkan kita semua. Apa yang menjadi dasar keputusan dari Nasdem dan Gokar tidak jadi merevisi RUU Pemilu?
Mengutip laman kompas.com, "Partai Golkar dalam sikap terakhir setelah mencermati dan mempelajari RUU Pemilu, serta melihat situasi saat ini, memutuskan untuk menunda revisi UU Pemilu. Kami mendukung Pemerintah untuk fokus pada penanganan pandemi Covid dan pemulihan ekonomi" kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin, saat dihubungi, Senin (8/2/2021).
Sedangkan dari Partai Nasdem, sang ketua umum Surya Paloh mengatakan bahwa Partai Nasdem harus searah dengan visi misi dari Presiden Joko Widodo. Berikut kutipan lengkapnya dari laman kompas.com, "Cita-cita dan tugas Nasdem, adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," kata Paloh dalam keterangan tertulis, Jumat (5/2/2021).
Inisiatif DPR RI dalam merevisi RUU Pemilu khusunya  pada Pasal 731 Ayat (2) dan (3), agar Pilkada dapat diselenggarakan  pada  tahun 2022 dan 2023 sirna setelah Presiden Joko Widodo juga menyatakan ketidaksenangannya. Gonta-ganti UU Pemilu menurut Presiden Joko Widodo akan menimbulkan banyak masalah apalagi masyarakat dan lingkungan kita belum beradaptasi dengan suasana pandemi virus covid-19.
Pernyataan beliau ini dilontarkan ketika melakukan pertemuan dengan sejumlah mantan Tim Suksesnya pada tahun 2019. Mengutip kompas.com, Â "(Jokowi menyampaikan) kenapa sih setiap pemilu ganti undang-undang. Kita belum menyesuaikan, kita belum beradaptasi, ganti lagi. Itu nantinya kan pasti ada problem terus. Harusnya kan undang-undang itu untuk jangka waktu yang lama ya. Kalau pun nanti jangka waktu yang lama itu dievaluasi, itu kan bisa dikoreksi ," kata Irfan, kepada Kompas.com, Rabu (3/2/2021).
Pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo atas riak-riak DPR RI yang akan merubah UU Pemilu tentu memiliki pengaruh yang sangat kuat. Penolakan secara implisit oleh Joko Widodo ini tentu mampu mengintervensi suara-suara dari partai politik. Nasdem dan Golkar sepertinya tak bisa berbuat banyak dengan permintaan Presiden Joko Widodo.
Jika UU Pemilu tak mengalami revisi maka akan tercipta kekosongan kekuasaan dibeberapa wilayah seperti di DKI Jakarta dan Banten yang terbilang cukup lama hingga 2024. Kekosongan ini merupakan buah dari habisnya masa berlaku dari Gubernur yang jatuh tempo. Pada 2022 akan ada 7 Gubernur yang habis masa jabatannya dan pada tahun 2023 ada 17 gubernur yang mengalami demikian.
Begitupun sebaliknya, bila pilkada diundur hingga 2024 maka akan terjadi kontestasi politik skala luas dan terkesan borongan. Â Pilgub, Pilpres, Pilwakot, maupun Pileg akan bertemu dalam waktu yang terpaut dekat. Keadaan ini tentu memiliki efek yang sangat luas bila kita kaji. Wajar bila, riak-riak untuk merevisi UU Pemilu oleh beberapa partai naik kepermukaan. Tujuannya ialah agar menghindari kekosongan kepemimpinan dan besarnya pesta politik dalam waktu yang sama.
Penyelenggaran pemilu yang serentak ternyata juga memiliki masalah lain. Pada tahun 2019, ketika Pilpres dan Pileg diadakan bersamaan oleh KPU, banyak anggota KPPS yang bertugas jatuh sakit dan meninggal. Faktor yang menyebabkan kematian ini disebabkan oleh kelelahan yang dialami oleh petugas sewaktu menghitung surat suara, sebab pemungutan dan perhitungan hanya dilaksanakan dalam waktu satu hari.
Kekosongan kepemimpinan yang terlalu lama membuat demokrasi dan kehidupan politik didaerah ikut terciderai. Posisi strategis yang seperti ini akan mengundang bala bila dibiarkan berlarut-larut. Potensi-potensi kepemimpinan dan kemampuan organisasi didaerah pun juga akan menurun. Menunggu hingga tahun 2024 adalah waktu cukup yang lama.
Bayangkan bila pemilu yang demikian ketatnya itu terjadi pada waktu yang sama dan terulang lagi. Pemungutan dan perhitungan suara pasti akan diberikan waktu yang cukup lama. Dan apakah akan memakan korban lagi bila pemilu dilakukan secara rombongan dan keroyokan.
Sikap istana yang menolak revisi UU Pemilu ini tentu harus kembali dpikirkan. Demikian pun oleh sikap anggota di senayan. Bila DPR RI setengah hati dalam merevisi UU Pemilu, seharusnya perlu dilakukan ramuan kebijakan yang setidaknya bisa mengimbangi kontestasi politik dimasa pandemi seperti sekarang dan mengindari pemilu secara rombongan.
Perubahan arah angin dari Nasdem dan Golkar, yang semula menyetujui dan kini menolak adalah bukti politik setengah hati dari Nasdem dan Demokrat. Seharusnya revisi UU ini bisa dijadikan momentum dan sarana untuk memutus arogansi partai kerkuasa. Bila saja politik transaksional ini mau dijalankan oleh Nasdem dan Golkar, Anies maupun Ridwan kamil akan tersenyum lebar.
Urgensi lain yang bisa diperjuangkan dari terbukanya revisi UU ini ialah negosiasi ambang batas pencalonan presiden dan parlemen. Ambang batas pencalonan presiden yang terlalu tinggi adalah hambatan yang dialami oleh beberapa parpol untuk mendapat panggung kontestasi politik. Apakah perlu diubah dan jika akan diubah berapa ambang batas yang diperlukan apakah 20 persen ataukah 25 persen?
Bila ambang batas pencalonan presiden diturunkan, maka masyrakat akan disuguhkan oleh calon presiden yang lebih banyak, bisa tiga atau empat orang pasangan calon. Selain itu, polarisasi politik seperti yang terjadi pada tahun 2019 Â silam lebih bisa diminimalisir. Sehingga corong-corong suara dan alternatif kekuasaan akan saling tarik menarik dan tawar menawar.Â
Revisi atau tidak merevisi UU pemilu atas dasar pandemi juga perlu dibicarakan. Bila tahun 2020 kemarin  pemerintah mengizinkan pelaksanaan pilkada, mengapa tahun 2022 dan 2023 tidak? Apakah istana dan partai berkuasa sedang merencanakan sesuatu? Ataukah jangan-jangan politik kekuasaan sudah menjadi alat untuk meredam suara di Senayan?Â
Partai politik sepertinya telah menjadi tawanan kekuasaan politik dari kekuasaan istana. Cengkaraman ini harus dilepaskan agar warna dan dinamika politik semakain merangsek naik. Bila politik setengah hati terus menerus dipelihara, maka iklim kemajuan berpolitik kita sedang dalam posisi mundur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H