Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Beda Tuntutan Penusukan Wiranto Vs Novel, Hukum Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas?

16 Juni 2020   22:58 Diperbarui: 16 Juni 2020   22:47 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kolase gambar dari Tribunews com

Kasus yang menimpa Novel Naswedan memang sangat menarik perhatian. Mulai dari awal perkara ini merebak hingga dilaksanakannya persidangan, masih saja ada bau amis yang tetap tercium.

Banyak yang sangat antusias akan hasil dari persidangan kasus sidang Novel Baswedan, misalnya komika Bintang Emon yang turut ambil serta beropini melalui lawakannya. Alhasil, candaannya tersebut banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Hanya sayang, interupsi satire Bintang Emon yang viral dimedia massa beberapa hari lalu kemudian dibalas dengan adanya tuduhan bahwa ia memakai narkoba. Walau hanya sebatas fitnah, Bintang Emon kemudian menjawab dengan melakukan tes narkoba disalah satu rumkit di Jakarta.

Dari serangkaian tes yang ia jalanai, terbukti bahwa ia tidak menggunakan narkoba. Tuduhan akhirnya hanya bersifat perundungan semata. Skor dua kosong untuk Bintang Emon versus para hatersnya.

Namun dari arena persidangan lain, ada kasus yang sangat menarik untuk dibandingkan dengan kasus Pak Novel. Siapa lagi kalau bukan kasus penusukan yang dialami oleh Pak Wiranto.

Kasus mahabesar yang dialami oleh dua orang anak bangsa ini akan ngeri-ngeri sedap bila kita bandingkan dan telaah secara saksama guys. Setidaknya orang yang tidak mafhum hukum  seperti antum ini pun merasa bahwa ada ketimpangan besar dalam sistem peradilan di negeri kita tercinta ini.

Saya menangkap beberapa keanehan-keanehan yang terjadi antara kasus pak novel dan wiranto. Pertama, sang pelaku penyiram air keras dan sang pelaku penusuk masing-masing dituntut 1 tahun dan 16 tahun.

Perbandingan tuntutan ini terasa dan terkesan sangat tidak adil. Jika kita telaah, butuh waktu tiga tahun untuk menemukan pelaku penyiram air keras ke Novel Baswedan. Tahu-tahu setelah pelaku didapat dan diumumkan, ternyata sang pelaku adalah seorang oknum polri.

Setelah dibekuk dan ditangkap, sang pelaku penyiram hanya dituntut satu tahun. Siapa yang tidak akan kecewa bila kasus yang berproses panjang hanya akan diselesaikan dalam waktu yang cukup dekat.

Tuntutan satu tahun ini tentu sangat jauh dengan tuntutan 16 tahun pada kasus pak Wiranto. Peradilan dari kedua kasus ini sepertinya sedang mengkonfirmasi adanya pengaruh kekuasan dibalik meja para Jaksa.

Kita sudah sama-sama tahu latar belakang dari keduanya. Pak Novel sibuk urus kasus korupsi dan pak Wiranto yang merupakan seorang mantan Pangab yang sekaligu menjabata sebagai Mantan Menkopolhukam diera Jokowi jilid 1.

Pak Wiranto sebagai mantan eksekutif sepertinya mendapat perlakuan ekslusif didepan para jaksa. Sedangkan pak Novel, jangan hak eksklusif didepan jaksa, untuk mencari pelaku penyiramnya saja sangat sulit dan lama untuk diungkap.

Kedua, alasan yang digunakan dari masing-masing jaksa di kasus peradilan sungguh sangat jauh dengan fakta dan kronologis yang terjadi. Mengkhianati nurani dan bertolak dari tujuan dari hukum itu sendiri.

Secara fakta, Pak Novel disiram dengan air keras ketika hendak pulang kerumah setelah melaksanakan sholat subuh. Air keras yang mengenai matanya dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak disengaja.

Karena ketidaksengajaan sang pelaku, jaksa berdalih bahwa perbuatan itu adalah hal yang tidak diingankan terjadi, sehingga tuntutan jaksa hanya selama satu tahun penjara.

Sedangkan pada kasus pak wiranto, pelaku penusuk yang menikam menggunakan kunai dituntut 16 tahun penjara . Wiranto sempat dirawat di RPAD untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Menurut dokter yang memeriksa, menyatakan bahwa Wiranto hanya mengalami luka dibagian perut bawah dan kondisinya relatif stabil.

Unsur ketidaksengajaan yang dinilai oleh jaksa ini tentu wajib kita perdebatkan. Dari reka ulang kasus ini pun jelas bahwa pelaku memang memyasar area muka dari pak novel.

Waktu terjadinya juga pun dibilang masih terlalu pagi untuk dua orang polisi yang sedang berkeliaran membawa air keras. Mana ada polisi yang sedang keliling membawa air keras. Lalu motif pelaku menyiram air keras juga sangat tidak masuk akal.

Memang sulit mencerna jalan pikiran dari jaksa yang sedang menangani kasus pak Novel. Kita semua sebagai warga negara tentu harus terus mengkritisi jalannya persidangan ini.

Ketiga, jaksa tidak memperhitungkan bagaimana nasib dan kondisi dari kedua pihak. Apa yanh dialami oleh Novel dan Wiranto tentu jauh berbeda.

Dari kondisi diatas, jelas siapa yang mengalami dampak yang paling merugikan. Pak Novel setelah disiram harus rela menjalani operasi mata dan harus rela kehilangan panca inderanya. Sedang pak wiranto hanya butuh beberapa hari agar ia bisa sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Fakta kedua kasus ini pun menarik kita pada sebuah pusaran pikiran baru bahwa hukum seakan-akan bisa dipermainkan dengan dalil yang remeh temeh. Pak Jaksa sepertinya luput untuk mempertimbangkan akibat dari kasus diatas. Novel dapat apa dan Wiranto dapat apa. Tentu sangat tidak adil.

Dari ketiga aspek diatas, wajar bila genderang menuntut keadilan bagi pak novel bertabuh dimana-mana. Jika sekelas komika terkenal Bintang Emon ribut dengan hal ihwal diatas, bagaimana dengan rakyat yang dibawah sana.

Pak Novel dengan Pak Wiranto memang jauh perihal jabatan dan kedudukan. Pak Wiranto memiliki kekuasan sedangkan Pak Novel hanya memiliki kuasa atas dirinya sendiri.

Hukum memang tidak boleh hanya tajam saja kebawah dan tumpul keatas. Semua orang sama dan setara dihadapan hukum. Yang membuat hukum itu adil adalah para hakim dan jaksanya.

Hakim sebagai wakil Tuhan dibumi ini harus mengambil keputusan yang tepat dan tanpa tebang pilih. Pak Novel dan Pak Wiranto harus mendapat perlakuan hukum yang sama tanpa perbedaan.

Walaupun kasus keduanya belum sampai pada putusan akhir, tetapi tentu saja kita berharap agar kasus ini harus menghasilkam putusan yang netral dan benas dari tekanan siapa saja termasuk tekanan dari Bintang Emon. "Sory tang cume becanda."

Mari kita tunggu saja apakah keadilan masih berlaku dinegeri ini, ataukah hukum itu memang hanya sebatas tajam kebawah dan tumpul keatas? Waktu yang akan menjawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun