"Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan." Pramoedya Ananta Toer.
Novel Baswedan adalah contoh kecilnya.
Dibawah kolong langit negeri ini, rasa-rasanya semua bisa terjadi dengan sengaja dan nggak disengaja. Cerita hidup yang dialami oleh  penyidik KPK,Saya pernah membaca berbagai kisah yang ceritanya serupa drama diatas.  Sang pembawa kebenaran yang banyak diidam-idamkan oleh orang-orang, akan menjadi sasaran empuk dari para penjahat. Berbagai cara akan dilakukan untuk melumpuhkan semua niatan dari si tokoh baik tersebut.
Anehnya, sang pembawa kebenaran ini bekerja untuk sang raja dan sang raja bekerja untuk rakyat. Karena sebentar lagi kedok sang raja akan terkuak dan panik bila ketahuan rakyat, maka dirancanglah berbagai intrik untuk menggagalkannya.
Sampai keseluruhan cerita itu saya baca, ternyata semua hanyalah bualan tinta dan pena. Tetapi untuk kisah sang Novel Baswedan ini, kita sudah sama-sama tahu bagaimana jalan tragisnya insiden tersebut.
Bahkan teman saya yang notabene merupakan jebolan mahasiswa Fakultas Hukum, 4 tahun aktif di Komisi Peradilan Semu (KPS) sempat berseloroh dengan kasus yang menimpah Novel Baswedan tersebut. Katanya "Mahasiswa Hukum tertawa melihat kasus ini"
Yah memang akan tertawa. Siapapun akan tertawa biarpun ia buta tentang hukum. Apalagi bila menyebut Hukum Pidana, KUHP dan segala tetekbengeknya. Orang awam yang ngga tahu apa-apa pasti akan ngakak . Apa gunanya kuliah empat tahun tentang peraturan dan undang-undang, jika isi pikiran masih bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan?
Bagaimana tidak? Sang Jaksa Penuntut umum yang telah disumpah dan digaji oleh negara menuntut sang pelaku dengan ancaman pidana kurungan selama 1 tahun. Dalil tuntutannya karena sang pelaku secara tidak sengaja menyiramkan air keras  kepada pak Novel. Disinilah dimulainya kisah para bedebah hukum tersebut.
Dikamis subuh yang indah, seorang manusia terbangun dari perbaringannya. Ia membuka mata dan berangkat dari tempat tidur menuju tempat ibadah. Air wudhu membasuh muka, tangan dan kakinya seraya akan mengirimkan sembah dan doa kepadaNya.
Langkah kakinya normal. Arah pandangannya jelas. Matahari yang belum tampak adalah kebisuan cahaya yang terlambat terang membenarkan fakta.
Dalam gelap yang samar-samar itu, arah langkah kaki mengantarnya ke tempat ibadah. Dalam gelap itupulah, menumpang para begundal yang membawa air keras.
Air keras yang berada ditangan para begundal itu secara tidak sengaja mengenai mukanya. Jika menggunakan pendekatan ilmiah, apa yang membuat air keras yang berada ditangan secara mendadak berpindah mengenai muka dan membuat mata jadi buta?
Jika menggunakan  teorema phytagoras maka sangat sulit menghubungkannya. Apalagi bila menggunakan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Sangat sulit  untuk mengukur dua besaran secara bersamaan, misalnya posisi  air keras ditangan dan momentum gerak langkah pak novel yang ketika itu sedang menuju ke Masjid. Â
Dugaan saya tertuju pada polisi tidur yang diam-diam ikut membantu dan menyukseskan insiden tersebut. Walau tak berseragam, ternyata polisi tidur adalah konpisrasi nyata yang benar-benar bisa dijadikan salah satu alasan.
Secara tak sengaja polisi tidur membuat goncangan dimotor yang dikendari oleh oknum tersebut dan terjadilah penyiraman air keras. Itu mungkin masuk akal. Eh tapi lemparannya kok tepat kena muka dan menyasar mata yah. Dan untuk apapulah dua orang polisi  berkeliaran membawa air keras pada waktu hari masih subuh?
Namun fakta berkata lain. Disana tak ada polisi tidur. Jadi teori itu juga gagal. Lalu apa alasan yang masuk akal? Yah karena gak disengaja. Sudah itu saja. Jangan mencari-cari teori fisika baru atau konspirasi lainnya.
Dari ketidaksengajaan tersebut maka para pelaku mungkin akan ditahan hanya selama 1 tahun kurungan penjara. Piye? Enak jamanku toh lur??
Sandiwara hukum seperti ini seharusnya jangan adalagi di negeri yang katanya berdiri diatas hukum dan undang-undang. Bandingkan putusan hukum yang diterima oleh pelaku dengan jenis kasus yang sama. Ada yang kena vonis belasan hingga puluhan tahun
 Tersangka menjadi buron bertahun-tahun. Ternyata semut yang disebarang pulau nampak, tapi gajah dipeluk mata malah luput. Ia ada didalam sangkar burung yang sama dengan yang mencari. Implikasinya selain ia dicari, pelaku juga kemungkinan disembunyikan oleh teman-temannya sesuai permintaan atasan.
Pelaku dan pemainnya adalah orang-orang mereka sendiri. Bahkan mantan Kapolri yang saat ini duduk sebagai menteri mengaku sangat sulit untuk menangkap pelakunya. Butuh kerjasama semua pihak untuk meringkus sang peneror.
Dari pernyataan itu saja kita sudah sama-sama tahu darimana aroma busuk ini berasal dan akan kemana aroma bangkai ini berakhir.  Zonasi drama peradilan  kasus Novel Baswedan hanya berupaya untuk melegitimasikan bahwa istilah hukum belum mati dinegara ini itu masih berlaku.
Dicari bertahun-tahun, dituntut hanya setahun. Jadi buron dua tiga tahun, akan dibebaskan dalam jangka setahun. Sampai disini saya dan kamu mungkin mohon ampun. Tolong jaga urat keadilan dinegeri ini dengan  hukum yang berimbang dan putusan yang berkeadilan.
Insiden nggak sengaja yang dialami oleh Novel Baswedan mungkin tak bisa kita rasakan secara utuh. Kita mungkin hanya bisa merasakan sebagian ketidakadilan yang ia terima. Namun pak novel mendapat dua penganiyayaan. Selain kasus yang tak terselesaikan, pak Novel juga telah kehilangan indera penglihatan yang harganya tiada tara. Itulah sisi yang tak bisa kita rasakan dari beliau.
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mungkin secara ngga sengaja diletakkan sebagai sila  terakhir. Secara ngga sengaja  Bung Karno dan kawan-kawan merumuskan bahwa keadilan itu diurus paling belakangan saja. Jadi sangat sulit untuk mewujudkannya."
Diakhir cerita ini, beliau tak mendapat dukungan moralitas yang seperti biasanya diterima oleh para bintang atau tokoh bila menjadi korban politik. Tidakkah wajah kusut peradilan ini menampar para aktivis yang dulu pernah melihat dan merasakan insiden serupa? Ataukah mereka sudah mulai alergi dengan virus hegemoni yang selalu dimainnkan istana? Akhirnya semua terasa biasa dan sama-sama saja.
Novel Baswedan saat ini mungkin sendiri dalam menghadapi masalah hukumnya. Yang ia lawan adalah orang yang memiliki kuasa. Ia tak memiliki kuasa yang setara untuk melawannya. Tetapi kasua ini adalah pelajaran berharga yang ngga sengaja terjadi.
Termasuk tulisan ini adalah sebagaian karya yang berusah menolak lupa akan kekejaman penyiraman air keras kepada Novel Baswedan. Sekaligus melawan setiap pelanggaran HAM yang dilakukan kepada mereka dalam pembuktian melawan korupsi.
Novel Baswedan dan Insiden nggak disengaja adalah memorial lawakan bangsa. Saat masyarakat telah serius membangun optimisme ditengah pandemi, masalah baru datang sebagai bentuk intervensi optimisme itu. Atas alasan apapun mungkin diluar sana orang-orang akan bisa menyiramkan air keras kepada sesamanya dengan dalil "Maaf Ngga sengaja".
Dan jika mereka masih bungkam, mungkin bukan mata Pak Novel Baswedan yang buta. Tetapi mata hati mereka lah yang buta dan seakan-akan tak bisa melihat fakta dan kejahatan rezim.Â
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H