Nah disinilah letak permasalahannya. Siapa yang akan  menjamin kedisiplinan para siswa dalam mematuhi protokol normal baru disekolah? Apakah cukup hanya dengan guru? Oh tidak semudah itu ferguso.
Coba bayangkan dan ingatlah lagi bagaimana masa-masa sekolahmu dulu yang sangat penuh dengan interaksi sosial seperti bermain, belajar dan aneka kegiatan lainnya.
Apalagi namanya anak-anak. Pergerakan mereka sangat bebas, pemahaman mereka belum sematang anak SMA atau para mahasiswa. Pun juga mereka memang lebih senang bercerita dan bermain dengan temannya dibanding belajar dalam ruangan kelas yang pengap dengan gambar-gambar pahlawan.
Transisi normal baru dalam dunia pendidikan kita harus berangkat dari kajian kesiapan sistem pelaksanaan prosedur kesehatan disekolah. Inilah titik nadi agar sendi pendidikan bisa kembali berfungsi seperti sedia kala.
Namun sayangnya, kesiapan sistem kesehatan kita dalam menggempur penyebaran virus corona dimasyarakat masih sangat kurang dan belum terfasilitasi dengan baik. Lihat saja daerah-daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan zona merah penyebaran virus corona.
Kesemuanya baru akan reaktif melakukan pengecekan ke masyarakat jika temuan kasus sudah melonjak naik. Begitu pula sebaliknya, ketika dalam daerah itu angka kasusnya cuma hanya ada satu atau dua, yah penangananya hanya akan segitu-gitu saja.
Inilah yang menjadi dalil atau alasan mengapa para pegiat perlindungan anak khusunya para dokter anak masih bersikeras agar sekolah jangan dibuka dulu, Bung Nadiem!
Tentu penting kiranya menciptakan pemodelan gaya belajar  yang sesuai dengan protokol kesehatan normal baru yang saat ini sedang divokalkan oleh pemerintah. Bisa kita ciptakan sendiri dan tentu bisa mengadopsi cara dari negara lain.
Transisi dunia pendidikan kita dalam menghadapi pandemi global virus corona tentu sangat amburadul dan tidak siap. Ketika para siswa harus memulai pelajarannya dari sekolah, banyak keluhan yang datang silih berganti.
Mulai dari orang tua yang tak memiliki gawai yang memadai, kuota internet yang mahal dan minimnya materi pembelajaran yang ditayangkan di TV Kesayangan kita semua yaitu TVRI adalah bukti nyata bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) belum siap dan cocok untuk diterapkan.
Guru pun kemudian jadi bingung bagaimana para siswanya bisa mengejar materi yang sudah ketinggalan untuk diajarkan. Alhasil, PR yang diberikan kepada siswa adalah jurus jitu yang dikeluarkan untuk mengusir rasa bingung tersebut.