Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Idul Fitri yang Berkesan Bersama Orang Tua Angkat di Tanah Rantau

24 Mei 2020   20:09 Diperbarui: 24 Mei 2020   20:11 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sambil menyenandungkan kalimat takbir bersama keluarganya, saya duduk bersandar didepan teras. Menghayali nasib demi nasib perjalanan hidupku yang telah kulalui.

Tak terasa, Ramadhan sudah habis lagi, dan lebaran besok adalah ujung pertemuan bulan yang serba tak biasa ini. Sungguh terasa bedanya. Apalagi jika sedang jauh dari kampung halaman dan keluarga.

Sebagai seorang anak rantau, hidup jauh dari orang tua adalah hal wajib yang mesti dirasakan. Semua anak tentu ingin rejekinya tak jauh dari halaman rumah. Yah kalau bisa sebatas rumah tetanggalah, agar jarak tak bisa memisahkan kita dengan orang tua dan seluruh keluarga.

Namun siapa sangka, beberapa orang bernasib beda. Rejekinya tak bisa seperti demikian. Tanah rantau adalah jalan ninjaku untuk mengais sebagian kecil rejeki yang Tuhan jatuhkan dari langit Indonesia. Mungkin kamu juga demikian.

Sebelum merayakan Hari Kemenangan ini, ada sebulan penuh proses meraihnya. Mulai dari menahan tak makan minum selama 12 jam hingga mampu mengelola etika dan tingkah yang tidak menyakiti sesama.

Tidak hanya itu, ada tantangan baru yang benar-benar baru kita hadapi. Apa itu? Pandemi virus corona.

Virus corona adalah musuh tambahan dalam ibadah puasa kita. Kita tentu bisa lihat dan rasakan, bagaimana semua itu memutus setiap sendi-sendi interaksi yang konon telah mendarah daging dikehidupan sosial kita.

Tatkala kita berpuasa ditemani dengan berbagai aktivitas sosial dan tradisi budaya, tahun ini malah sudah tidak melakukannya sama sekali. Yang tersisa hanya sepotong kenangan yang kita tatap melalui foto dan hanya kita bahas lewat obrolan WAG dan video call grup.

Cerita akhirnya adalah banyak orang tak bisa mudik di hari raya. Mungkin kali ini lah pertama mudik tak bisa diselenggarakan karena pandemi virus corona.

Lalu lintas orang dari pusat-pusat pencari nafkah kini terpenjara dengan serbuan corona. Banyak yang berdiam dirumah dan saling tatap-tatapan dengan sebangsa perantau yang tak bisa kekampung halaman.

Begitupun saya. Saya urung mudik bukan untuk menjalankan perintah negara, tetapi karena sadar bahaya corona untuk keluarga.

Pun di Lebaran hari  ini. Setelah hanya bisa duduk termenung didepan rumah teman saya bernama Reza, semua itu hanya saya lalui dengan kesenderian. Tentu saya sangat senang melihat teman saya ini bisa merayakan malam takbiran bersama-sama dengan keluarganya.  

Tidak seperti saya, yang hanya bisa merenungi detik-detik malam takbiran ditemani petasan dan obrolan ringan seputar ramadhan yang sudah dilalui kemarin. Untung saja keluarga reza sangat baik terhadap saya dan menganggap saya seperti anak sendiri.

Saya pun kemudian teringat kembali dengan tempat perantauan saya dua tahun lalu. Tepatnya berada dipedalaman hutan Kecamatan Pinogu, Gorontalo. Disana kurang lebih dua tahun saya merakyat dengan segelintir orang-orang kampung yang hidup dipedalaman.

Akses tranportasi sangat sulit untuk kepinogu. Jalannnya rusak dan harus menerabas pekatnya hutan lindung. Sinyal internet tak ada, sedangkan sinyal telpon hanya sebatang kara. Sungguh berat keadaan disana. Benar-benar sebuah keadaan yang abnormal untuk seseorang yang sering hidup dikota.

Tetapi karena telah menjadi panggilan hidup, saya rela mengabdi disana untuk mendapat sebuah pengalaman baru dan tentu bisa menjadi bekal dimassa depan.

Sebagai seorang tenaga kesehatan yang harus mengabdi kemasyarakat, kita tentu harus pandai bergaul. Bergaul dengan siapa saja tanpa mengenal batasan usia dan jenis kelamin adalah salah satu syarat agar anda bisa diterima oleh masyarakat dan mereka pun bisa menerima anda dengan seluruh pekerjaan yang saat ini anda lakukan.

Dengan membangun komunikasi dan pergaulan yang luas, kehadiran kita akan bisa membawa dampak yang lebih positif. Salah satunya adalah banyak orang tua atau keluarga yang siap menampung dan memelihara kita dirantau.

Tentu bukan atas permintaan kita sendiri. Pengalaman saya mengatakan, biasanya para orang tua inilah yang membuka hati untuk mengangkat kita sebagai anak mereka. Syaratnya tentu seperti diatas.

Jadilah kurang lebih dua tahun saya diperantauan, bersama orang tua angkat dan teman seperjuangan yang harus hidup mengabdi dan berbakti untuk mereka. Salah satu kesan yang tak terlupakan dari kisah ini adalah ketika hari raya tiba.

Permasalahan tak bisa mudik karena batasan biaya dan himpitan waktu, maka berlebaran bersama orang tua angkat di Kecamatan Pinogu akan membawa kesan tersendiri.

Idul fitri bersama orang tua angkat ditanah rantau tentu membuat kita sangat rindu dengan rumah dan tentu orang tua kandung kita sendiri. Oleh karena itu, orang tua angkat adalah sosok sementara yang membina dan mengasuh kita.

Terlepas dari pengalaman merayakan hari raya di Kecamatan Pinogu, Gorontalo. Saya kali ini merayakannya di lokasi yang berbeda. Tepatnya di Lampung bersama dengan sahabat dan teman baru.

Salah seorang teman saya bernama Reza mengajak saya untuk ikut serta dengannya ke kampung halamannya yang tak jauh dari lokasi pengabdian kami yang sekarang. Orang tuanya sangat baik dan menganggap saya seperti anak sendiri.

Saya pun terkejut, padahal baru beberapa kali saya berkunjung kerumah ini. Tetapi saya bersyukur bahwa ada orang tua asuh di perantauan.

Orang tua yang baik tentu membuat kita merindukan suasana rumah kita yang sesungguhnya. Walau mungkin jarak menjadi penghalang, tetaplah kita akan berusaha untuk kembali kesana.

Idul fitri yang berkesan dengan orang tua angkat diperantauan adalah hal yang bukan pertama kali. Ini kesan yang kedua kali. Kelak mereka adalah orang-orang yang akan saya ingat ketika hari raya itu tiba.

Selain itu, musibah corona yang entah kapan akan berkesudahan juga menjadi pelengkapnya. Idul fitri ditengah pandemi, seperti memakan es krim di tengah gurun pasir. Sedap.

Tetapi, biarlah kemenangan hari raya ini tidak membuat kita berkeluh kesah dan melupakan fitri yang hakiki. Mari mengampuni diantara sesama. Jalani hari tanpa perasaan emosi dan benci. Serta mari membangun harmoni diantara anak negeri, khsusunya membangun chemistri untuk perangi pandemi.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun