Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kue Bagea, Kue Lokal yang Enak Tapi...

15 Mei 2020   21:35 Diperbarui: 15 Mei 2020   21:45 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Misalnya Sagu dari daerah Sulawesi, warnanya sangat putih bersih, jika dimandikan dalam air panas dan disiap diolah untuk menjadi Kapurung atau sinonggi, tampilannya sangat bening dan legit. Wajar bila masyarakat disana sangat menyukainya.

Oleh karena kualitas sagu yang baik, jadilah kue bagea itu diciptakan. Bagea biasanya berbentuk kerucut atau bulat. Bebas tergantung si pembuat. Teksturnya lumayan keras dan kadang susah dimakan oleh orang yang ompongan. Rasanya manis dan lembut bila telah dibasahi. Biasanya, kami memakan kue bagea sambil menyeruput Teh Hangat atau Kopi. Agar rasanya semakin nikmat.

Sewaktu kecil, kue bagea banyak saya temui sebagai jajanan di warung-warung. Anak-anak seusia saya sangat menyukainya. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai bekal untuk dibawa ketika pelajaran tambahan diberikan oleh guru.

Apalagi jika sudah lebaran tiba. Kue bagea pasti selalu dicari-cari oleh orang, khususnya anak-anak. Dunia berputar waktu berjalan. Pelan-pelan kue bagea terlekang zaman. Yang lebih parah, kue bagea malah terusir dari deretan kue kering yang disiapkan kala Lebaran. Bahkan sudah tidak didolakan lagi oleh anak-anak.

Hal ini tentu imbas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan globalisasi dunia tata boga yang semakin melesat.  Kue bagea yang pernah tenar pada zamannya, kini kurang mendapat minat dari para generasi milenial.  Alasannya karena kue bagea sebagai kue lokal, tidak dikembangkan menjadi kue kering yang sesuai permintaan zaman dan selera lidah.

Jika ilmu pengetahuan bisa beranakpinak menjadi sangat banyak dan luas, soal rasa dan lidah pun apalagi. Sejujurnya, kue bagea dari dulu hingga sekarang, rupa dan rasanya begitu-begitu saja. Wajar bila pesonannya juga begitu-begitu saja. Tatkala kue-kue lain berkamuflase menjadi kue yang kaya warna, rasa dan aneka varian yang lain, kue bagea malah betah menjadi kue lokal yang terlalu tradisional.

Akhirnya, kue bagea sebagai kue lokal yang rasanya enak tapi tidak bisa bersaing dengan kue-kue lokal lainnya. Ada baiknya, kue-kue lokal sebagai Bagea misalnya bisa didandani lebih indah lagi.  Agar bisa menggoda dan menarik kembali minat orang-orang agar memakannya.

Jika teksturnya keras, maka bisa diimprovisasi menambahkan bahan yang bisa menurunkan derajat kekerasannya. Dari segi warna juga, sangat tidak mencolok dan tidak menarik.  Warna pucat pasi tentu kelihatan sebagai warna yang kurang fantastis dimassa sekarang. Oleh karena itu, warna pucat pasi ini bisa diupgrade ke warna yang sedikit mencolok, untuk menarik mata orang-orang agar memakannya.

Sebagai masyarakat yang mencintai budayanya termasuk persoalan pangan lokal, kue kering seperti Kue Bagea atau kue-kue yang lain jangan sampai dikalahkan oleh kue-kue modern.  Tanpa mengubah atau menurunkan derajat dari kue lokal, maka kita bisa menaikkan lagi citra kue lokal di lebaran kali ini.  

Saya akan menyajikan kue bagea sebagai kue kering di edisi lebaran tahun ini.  Tentu dengan sebuah improvisasi yang menarik dan semoga bisa menaikkan kembali citra kue bagea sebagai kue lokal yang enak dan menjadi kesukaan semua orang, khususnya anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun