Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Quo Vadis Kemanusiaan Kita?

13 Mei 2020   12:27 Diperbarui: 13 Mei 2020   12:37 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum zaman reformasi lahir, rezim otoriter menguasai negeri ini. Pada masa yang begitu kelam, banyak pelanggaran HAM yang terjadi dimana-dimana.  Bahkan sampai hari ini semua catatan itu masih tersimpan rapi dilaci memori para bekas aktivis yang masih bernasib baik bisa selamat dari malapetaka  tersebut.

Tak ada yang berani membuka semua catatan berkas tersebut.  Yang saya liat adalah hanyalah sekumpulan anak-anak muda yang menjadikannya sebagai Tread alias utas untuk menarik follower.   Sisanya digunakan oleh para buzzer yang sibuk menggiringnya menjadi adonan dan pemantik naikknya salah satu tagline dilini masa twiter.  

Kilas balik pada zaman tersebut, banyak aktivis HAM yang mulai berjamur dimana-dimana.  Ada yang bersuara hingga ke PBB namun mandek dikampung sendiri.  Ada yang bersuara tetapi dijadikannya sebagai tapol. Alhasil proses perjuangan kemanusian itu hanya berputar dilingkaran itu-itu saja.  Jika bukan mandek diistana, pasti hanya jadi obrolan kosong dimedia sosial.

Jika sebelumnya para pelanggar HAM dan kemanusian hanyalah milik kaum kolonial, setelahnya negara dan para pemilik modal adalah penerusnya.  Bahkan sampai hari ini para pelanggar kemanusian itu sudah terpelihara dan langgeng dijajaran para kawula.

Bila tak percaya, lihat saja para pedagang konten di youtube atau para pemburu follower di instagram.  Dari layar kamera, semua itu dimodifikasi dengan lucu-lucuan dan kebohongan yang istilah populernya disebut Prank.  Padahal itu semua adalah muslihat kata-kata semata.

Video-video prank yang awal mulanya dibuat dengan dalil just kidding kemudian menjurus ketipu-tipu yang beranak pinak menjadi sebuah  krisis moralitas.  Eufiesme gaya baru ini mengingatkan saya kepada beberapa kata-kata yang saat ini sedang gandrung digunakan selama pandemi corona.

Misalnya "merumahkan." Ini kata yang tindakannya kepada pekerja agar sementara waktu tetap dirumah. Entah dengan alasan apa, apakah sedang berpura-pura baik menjaga keselamatan pekerjanya agar terhindar dari virus.  Tetapi  intinya adalah kamu tinggal dulu dirumah sampai batas waktu yang tidak ditetapkan.

Meskipun istilahnya merumahkan, semua orang juga tahu bahwa para pekerja ini sedang dipecat. Jika mereka dipecat pastilah mereka kehilangan mata pencaharian. Lalu dari mana mereka bisa bertahan hidup jika hanya tetap tinggal dirumah. Wong mereka ada yang gak punya rumah. Kalau mereka yang tinggal di kos-kosan gimana? Istilah eufismenya apa? Mengoskan? Massa sih

Tapi istilah ini tetap dipakai untuk menjaga perasaan pekerja.  Selain itu nama baik serta wibawa dari perusahaan pun juga bisa lebih terkesan humanis. Yang tidak kalah penting adalah negara dan pemerintah setidaknya bisa lolos dari derap-derap suara keluh kesah para pekerja yang sudah dipecat ini.

Contoh lain lagi misalnya yang akhir-akhir ini paling sering disebut orang adalah "dibebastugaskan." Lagi-lagi demi menjaga perasaan dan hati nurani masyarakat, demi ingin terdengar lebih menghormati dan sebagainya, dan demi agar terlihat lebih maskulin dimata para pendukungnya, sungguh tidak memungkin bila disebut ditendang dan dihentikan.

Semua itu adalah eufisme tingkat sakratul maut yang kadang kala kita terlalu pura-pura polos menerimanya. Padahal didalam hati, kita sama-sama tahu bahwa itu semua adalah instrumen kata-kata yang terlalu bahaya bila dibiarkan berkembang.

Namun sudah terlambat jika baru menyadarinya sekarang. Korban eufisme dari kata prank pun telah memakan korban dan melukai rasa kemanusian kita. Ferdian Paleka adalah contoh sial dari dampak bahaya ini. Dan kita; kita adalah orang yang memberikan terlalu banyak kebijaksanaan dan pemakluman terhadap aksi-aksi akrobatik eufisme ini.

Mulanya, ia dan teman-temannya hanya ingin memberikan sebuah pelajaran kepada para transpuan yang katanya telah melanggar PSBB di Kota Bandung.  Tujuannya baik dan mulia, kita pun terkesima. Alih-alih ingin memberikan pelajaran kepada mereka, se-dus mie instan berisi sampah dan batu bata malah menjadi instrumen yang tidak mendidik.

Tak setuju dengan tindakannya itu, bangkitlah para kaum rebahan dan pegiat medsos mencaci maki tindakan Ferdian tersebut. Ratusan bahkan ribuan, semua pada gotong royong me-mention akun resmi Polri agar dapat menindak tegas aksi-aksi pranknya. Selain itu, para hadirin yang sudah terlanjur ketawa terbahak-bahak melihat bagaiamana reaksi transpuan dan orang-orang yang kena prank ini, malah berbalik menuntut kepada Ferdian agar ia mau meminta maaf.

Selang berapa hari, Ferdian jadi tersangka. Ia pun diamanakan dan dijebloskan di lembaga pemsyarakatan (lapas). Kemudian dari dalam lapas, beredarlah lagi sebuah video perploncoan yang dialami Ferdian Paleka selama ditahan dilapas.

Pada titik ini, kita pun terperangkap lagi dengan makna eufiesme pada kata "diamankan" dan "lapas". Ferdian diamankan oleh Polisi tetapi didalam penjara ia disiksa oleh sesama warga binaan lapas. Lalu dimana amannya? Dimana makna lembaga pemasyarakatannya? Namanya lapas tapi isinya malah melakukan aksi-aksi keji dan jelas melanggar sebuah etika kemanusian. Itu lembaga pemasyarakatan atau lembaga penyiksaan?

Yang lebih aneh lagi, para kaum rebahan dan pegiat medsos yang tadinya berkoar-koar siang malam menuntut agar Ferdian ditangkap tanpa memperdulikan kuota internetnya habis atau tidak, kini malah banting setir. Sebagian ada yang mensyukuri karena Ferdian ditangkap dan disiksa dilapas, sebagaian ada yang adem ayem dan dengan santainya menulis "Duh, Kasian yah Ferdian Paleka."

Dari fenomena ini setidaknya ada dua catatan besar yang bisa kita ambil.

Pertama, saat menonton konten prank sambil tertawa terbahak-bahak, secara tidak sadar kita sedang dikibulin. Karena sudah kebiasan dikibulin, itu menciptakan sebuah tradisi baru yang nampaknya kelihatan biasa-biasa saja. Padahal itu adalah sebuah penyakit masyarakat yang berpotensi mereduksi nilai kejujuran.

Kebohongan kecil-kecilan seperti dalam prank ini, malah bertransformasi menjadi kebohongan masif dan liar. Konten prank Ferdian adalah sebuah preseden buruk dalam tatanan kehidupan sosial kita. Siapa yang akan menjamin bila aksi-aksi semacam ini akan terjadi lagi dikemudian hari. Mungkin bukan lagi sampah atau batu, jangan-jangan softex atau kondom bekas malah menjadi agenda susulan.

Kedua, kita telah terbiasa membalas yang jahat dengan yang jahat, cacian dengan cacian dan makian dengan makian. Contohnya pada kasus diatas. Semua orang bergotong royong mengutuk keras Ferdian tanpa memperhatikan dampak sosial yang lain. Alih-alih menulis pesan yang menyejukkan kala puasa, memberikan solusi ketika dalam masalah, yang kita lakukan malah memberikan contoh kekerasan sosial yang tidak baik kepada generasi medsos yang selanjutnya.

Sialnya, perilaku ini awet dan telah membentuk lingkaran setan. Orang mencaci kita pun mencaci. Orang menindas kita pun menindas balik. Kekerasan malah dijawab kekerasan. Ferdian ditangkap kita malah senang, Ferdian disiksa kita malah pura-pura baik dan berkoar-koar lagi menyuarakan kemanusian. 

Sesungguhnya, Quo vadis kemanusian kita akan kemana sih?

Kita tumbuh menjadi masyrakat yang pemisif atas tindakan ngibul, tipu-tipu hingga segala rupa dari akal-akalan kebohongan. Demografi masyarakat yang gemar dikibuli dengan konten prank, lambat laun akan mematikan semua sensitivitas kita dengan rasa kemanusian. Apalagi ini bulan puasa, mari kembali menjadi manusia berhikmat. 

Becanda tidak selucu itu,  berbagi tidak senaif itu. 

Mari meletakkan lagi rasa kemanusian itu kederajatnya yang semula. Membuat konten prank tidak terpuji itu salah. Mencaci orang yang membuat konten tersebut juga salah dan membalas kejahatan dengan kejahatan justru lebih salah lagi. 

Quo vadis kemanusian kita.
Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun