Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menolak Hidup Berdamai dengan Virus Corona

8 Mei 2020   23:03 Diperbarui: 12 Mei 2020   18:48 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : kompas.com

"Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan." 

Ajakan untuk hidup berdamai dengan virus corona, nampaknya telah menjadi buah bibir bagi sebagian kalangan. Banyak masyarakat yang berkomentar miring dengan ajakan sekaligus imbauan Presiden Jokowi ini. Alasannya karena pernyataan presiden ini berstandar ganda alias multitafsir.

Berkenan dengan hal tersebut, pusat penerangan pemerintah alias istana negara harus turun tangan lagi untuk membackup pernyataan sang tuan istana tersebut. Rasa-rasanya, jika ada pernyataan pemerintah atau pejabat yang keliru, berstandar ganda atau kebijakan yang blunder, istana lah satu-satunya yang harus pasang badan untuk membenahi semua kekacauan ini.

Saya pun tak mengelak bahwa ini bisa menjadi simalakama yang sangat kontroversial. Setelah pada pertemuan KTT G-20  secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Provinsi Jawa Barat, Kamis (26/3) Presiden Joko Widodo kala itu menyerukan agar negara-negara membunyikan genderang perang melawan virus corona. 

Lantas apa maksudnya kemarin tiba-tiba beliau mengajak seluruh masyarakat Indonesia agar hidup berdamai dengan virus corona sembari menunggu vaksin ditemukan. Seruan berdamai ini pun tentu bertolak dengan beberapa hal dibawah ini

Pertama, pemerintah sangat tidak konsisten jika ingin mengajak rakyat Indonesia harus hidup berdamai dengan virus corona. Setelah semua skenario dan kebijakan politik diterapkan hingga tarik ulur penerapan UU manakah yang paling efektif untuk mencover ini semua, mengapa baru hari ini mengajak berdamai.

Berdamai dan hidup berdampingan dengan virus corona adalah sebuah tindakan pengecut yang seharusnya tak terucap dari mulut seorang presiden. Baik itu terlalu utopis atau optimis, seharusnya kepala negara yang juga kepala pemerintahan harus terus-menerus memberikan pernyatan publik yang menyejukkan dan memberikan semangat.

Jika seorang kepala negara saja mengajak rakyatnya untuk berdamai dengan virus corona yang membahayakan itu, mungkinkah ini pertanda bahwa negara telah kalah melawan pandemi ini.

Kedua, pernyataan yang dilontarkan Jokowi telah mengkhianati semanagat tenaga medis yang saat ini telah berjuang. Perlu diingat sudah berapa tenaga medis yang bergelar spesialis dan profesor harus menuju keliang lahat hanya demi mengorbankan dirinya merawat para pasien yang terkena corona.

Tenaga medis yang selama ini juga telah banyak pasang badan sebagai garda terdepan melawa virus corona mulai dari merawat pasien, melakukan segala cek hingga menguburkan jenazah akan berasa sia-sia dengan keluarnya statement tersebut.

Semangat solidaritas tenaga medis ini harusnya dipupuk dan disirami benih pencerahan hari lepas hari. Jangan sampai jerih lelah mereka harus dibayar dengan sikap damai melawan virus corona. Jika seyogyanya negara sedari awal mengambil keputusan damai ini, mungkin saja para tenaga medis juga menjadi setengah hati dalam merawat para pasien corona.

Ketiga, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar menjadi sia-sia bila ingin hidup damai dengan virus corona. Coba hitung berapa kerugian negara dan masyarakat yang setiap harinya mengais rejeki dijalanan karena larangan yang tertuang dalam PSBB

Akibat pemberlakuan PSBB, semua roda ekonomi stop dan lumpuh. Para ojol mengaku orderan sepi, restoran tutup dan para pedang asongan cepat-cepat gulung tikar karena takut dikejar-kejar satpol PP karena melanggar PSBB.

Padahal PSBB itulah roh peperangan melawan virus corona. Dengan PSBB yang ketat dan sesuai dengan protokol kesehatan maka mata rantai virus corona bisa kita cegah. Oleh karena itu, jangan sampai karena dalil hidup berdamai dengan virus corona, pemerintah malah menjadikannya sebagai cara untuk melemahkan dan melonggarkan PSBB (relaksasi) yang sudah dipatuhi oleh rakyat.

Mungkin benar dengan apa yang dikatakan oleh presiden Joko Widodo. Pilihan kita adalah keselamatan warga negara,  baik itu keselamatan kesehatan maupun keselamatan ekonomi. Tetapi sayangnya semua pilihan itu tidak mendahulukan mana kah yang paling kita butuhkan.

Jika negara berharap virus corona selesai dengan menunggu vaksin selesai, saya rasa itu adalah hal yang memalukan. Sampai saat ini saja, para ahli dunia masih silang pendapat kapan vaksin akan selesai. Masing-masing negara akhirnya mencari jalannya sendiri-sendiri dengan membuat vaksin.

Lalu bagaimana  dengan Indonesia. Kapan Juru Bicara Gugas Virus Corona berhenti menyampaikan soal data-data PDP, ODP maupun yang meninggal dari virus corona dan mulai menyinggung bahwa peneliti kita sudah mulai mempersiapakn vaksin. Tahapan penyelesaiannya sudah sampai dimana. Kolaborasi apa yang Indonesia telah lakukan sembari melakukan PSBB dalam menemukan vaksin tersebut.

Vaksin itu adalah tindakan kuratif, sedangkan yang paling perlu kita lakukan adalah preventif.  Jika vaksin menjadi alasan presiden untuk mau hidup berdamai dengan virus corona, itu adalah sebuah keniscayaan. Alhasil, jika perasaan menyerah itu dibiarkan, herd immunity adalah sesuatu yang sedang menanti bangsa ini kedepan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun