Pandemi virus corona sempat meluluh lantahkan sistem kesehatan kita. Dimulai dari hancurnya konsep penatalaksanaan pencegahan virus atau penyakit menular sebagai konsep utama dan kurangnya alat  kesehatan dirumah sakit sebagai instrumen pendukung. Hal ini pun menjadi catatan hitam dari kesigapan tatanan kesehatan bangsa kita menghadapi wabah penyait virus covid-19.
Kekurangan alat kesehatan sebagai instrumen pendukung ini adalah sebuah gerbang awal jatuhnya korban dari kelompok tenaga medis sebagai garda terdepan amukan virus corona. Masker yang langka, Alat Pelindung Diri (APD) yang minim hingga Ventilator yang masih kurang membuat penangana awal pasien virus corona sempat terseok-seok.
Keadaan ini juga diperparah dengan tingginya permintaan masker dikalangan masyarakat luas akibat gagapnya pengetahuan dan misinformasi tentang pencegahan virus corona. Hal ini membuat kelangkaan masker yang tinggi dan banyaknya mafia yang tiba-tiba menjadi pemburu renteh ditengah pandemi demi keuntungan pribadi.
Tak mau kegaduhan ini terus terjadi, pemerintah melalui Kemnterian BUMN yang dipimpin oleh Erick Thohir bergerak cepat untuk mengatasi kelangkaan ini. Holding perusahaan farmasi yang beberapa bulan lalu telah dibentuk  akhirnya kelihatan juga hasilnya. PT. Kimia Farma sebagai trading penjualan obat milik BUMN pun digerakkan sebagai corong pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun, kegaduhan akan kurangnya masker dirumah sakit belum terselesaikan.
Lonjakan pasien yang tinggi dan semakin langkanya alkes dirumah sakit akibat supplay and demand yang tak menentu membuat pemerintah tak bisa berbuat  apa-apa kecuali dengan mengimpor barang-barang tersebut. Fenomena ini pun akhirnya menguak sebuah kelemahan baru bangsa kita akan kedaulatan industri farmasi lokal yang belum mampu berdikari apalagi menjadi pemain dikancah internasional.
Jika kita kaji lebih dalam tentang permasalahan kelangkaan alkes ini sesungguhnya ada fakta baru yang mencengankan yang akan kita temukan. Bahwa bahan baku pembuatan masker, APD hingga ventilator memang berasal dari negara lain itu memang betul. Alhasil bangsa kita hanya menjadi tukang jahit dan mesin cetak dari sistem kapitalisme ini.
Ringkas kata, barang itu diproduksi didalam negeri tetapi bukan milik bangsa namun menjadi milik para suplier bahan baku tersebut.
Fenomena ini membuat timbulnya perspektif negatif publik masyarakat kepada pemerintah bahwa negara kita sangat doyan impar-impor.Â
Padahal substansi permasalahannya jelas yaitu dari sektor hulu hingga ke hilirnya negara kita tidak becus mengurusi industri farmasi ini secara benar dan serius. Inilah yang membuat para mafia alkes dan farmasi tumbuh subur dinegeri ini.
Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Erick Thohir yang menganggap bahwa ada mafia yang sedang membuat kebutuhan alkes dinegara kita menjadi tidak berimbang dan terkesan sangat mahal diberbagai daerah. Namun tidak jelas siapa para mafia itu dan apa langkah tegas yang diambil pemerintah untuk memberangus mereka.
Latar belakang permasalahan kurangnya masker, ventiliator hingga APD membuat beberapa social society dan institusi akademik putar otak untuk mencukupi kelangkaan tersebut. Kita pun terkejut mendengar berita bahwa Kampus ITB mampu membuat ventilator, indtustri lokal di Bandung mampu membuat masker dan industri dalam negeri lainnya mampu membuat APD. Yang mana dari semua produksi mereka tersebut sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan oleh WHO dan menjadi produksi lokal yang memulai kebangkitan era industri farmasi dan alkes ditanah air.
Melansir laman CNBC Indonesia, Ketua Tim Pakar Gugas Covid-19 Wiku Adisasmito (3/4) menyatakan bahwa "Indonesia memiliki bahan baku alternatif untuk pembuatan APD tipe Gown. Kapasitas produksi nasional bisa mencapai 17 juta per bulan dengan bahan baku pengganti tersebut." Data ini juga diperkuat dengan hadirnya industri lokal dalam negeri yang turun gunung untuk membantu memenuhi kebutuhan kelangkaan alkes bagi tenaga medis.