Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Boneka Baru Istana

18 April 2020   22:49 Diperbarui: 19 April 2020   21:27 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada secercah harapan yang diberikan kepada anak-anak muda dari bangsa ini. Setidaknya itu pernah terucap dari mulut Sang Pendekar Proklamasi sekaligus Presiden Pertama kita, Bung Karno. Ia berucap bahwa dengan 10 Pemuda niscaya akan Ku guncang dunia. Tapi itu masih kurang satu untuk tim pemain sepak bola.

Namun jangan lebih dulu menghakimi. Jika dikaji lebih jauh ternyata perkataan beliau ini masih punya relevansi dengan pemerintahan sekarang. Presiden Jokowi juga punya anak muda yang seperti diusungkan Bung Karno. Bukan untuk bermain bola, presiden Jokowi memilih 7 orang anak muda sebagai  Staf Khususnya.

Ilustrasi foto (kompas.com)

Agar lebih populer dan tak kalah laris dari Mars Partai Perindo, nama mereka ditambahi sedikit embel-embel yang agak menjual dan setidaknya menunjukan rasa keterwakilan atau representatif dari anak muda. Jadilah mereka disebut Staf Khusus Milenial (Stafsus Milenial).

Pahami kata kuncinya, Anak Muda, Staf Khusus, dan Mileniall.

Baca juga Menyoal Surat Staf Khusus Milenial Jokowi

Awal mula Presiden Jokowi memperkenalkan mereka di istana negara, saya sedikit menaruh simpati. Ada komunikasi politik kecil-kecilan yang dilakukan oleh presiden Jokowi untuk sedikit memberi angin segar bagi keterwakilan anak muda. Yah anak muda, anak yang katanya revolusi dan ledakkan gagasannya itu kadang melompati dinding tembok pagar rumah.

Berseragam putih hitam mereka duduk bersila didepan rakyat. Sembari satu persatu nama mereka disebut dan dipanggil. Tak lupa rekam jejak dan jalan kesuksesan mereka juga diumbar ke publik untuk memberi sebuah kesan dan legitimasi bahwa "Saya Tak Salah Memilih Mereka". Hmm...

Namun saya menangkap kesan yang berbeda. Kejadian ini mengingatkan saya ketika masih duduk dibangku SMA. Mereka seperti para siswa beprestasi yang mengenakan seragam lengkap, sambil nilai demi nilai mereka susul menyusul disebutkan. Setidaknya itulah sebuah pengglembengan moralitas untuk menunjukan siapa dapat apa.

Budaya feodalisme juga masih dipertontonkan disini. Coba lihat mereka yang katanya punya ide inovatif diseragamkan dalam satu kadang istana yang sama. Jika memang benar mereka adalah anak muda yang direkrut pemerintah karena gagasan segarnya, seharusnya  penyeragaman itu tidak dan takkan pernah ada. Biarkan mereka bebas dengan gaya dan karakternya sebagai Anak Muda yang progresif revolusioner

Hebatnya para anak muda ini tak merasa bahwa mereka sedang menjadi sebuah objek komunikasi politik kepada masyarakat. Kemudian saya bertanya, Mereka ini mewakili anak muda yang mana? Jika kalian tahu, sudi kiranya memberi tahu ke daku dan teman-temanku yang setengah bingung memikirkan jalan ninja para stafsus ini diistana nantinya. 

Lambat waktu berselang, Alhasil Anak-Anak Muda ini juga kebagian panggung kebijakan. Mulai dari bantu-bantu dalam kunjungan presiden, menjadi juru bicara di tv hingga berebut simpati publik di media massa yang kekinian. Dan setelah itu kehidupan mereka anteng-anteng saja. Tak terdengar lagi ide-ide segar mereka untuk pemerintahan yang sedang berjalan ini.

Apalagi jika kita kaitkan dengan kondisi pandemi yang sekarang sedang kita hadapi. Dua dari antara mereka mendapat sorotan tajam media dan kritikus dari berbagai kalangan. Masing-masing adalah Andi Taufan Garuda Putra dan Belva.

Rekam jejak kedua pemuda ini bagus dan bukan kaleng-kaleng. Sepertinya mereka berdua tidak berasal dari Kaum Rebahan. Mereka adalah Kaum Pekerja yang memberikan dampak dan karya nyata. Hal itu terbukti dari perusahaan yang mereka miliki. Andi memiliki perusahaan Fintech yang bernama PT. Amartha Mikro Fintek (Amartha), sedangan Belva juga tak kalah dengan Aplikasi RUANG GURU nya yang kini bayak digandrungi dan populer dikalangan siswa.

Alih-alih ingin ikut nibrung dan berbagi untuk mempercepat penanganan wabah virus corona didesa, Andi malah blunder dengan surat yang ia keluarkan dan Belva diisukan mendapat proyek dari negara ditengah wabah. Situasional ini pun diperparah dengan muculnya conflct of interest yang dialamatkan kepada mereka berdua.

Kalian tentu sudah membaca surat dari Andi Taufan ini kan. Isinya sangat menyentuh dengan sebuah niatan yang tersurat. Namun, ada tata tertib yang telah dilanggar oleh Andi. Itu menandakan bahwa, mereka para Staf Khusus ini juga punya sisi lemah yang berbahaya bila terjadi dan terulang. Ibarat pepatah, sepandai-pandainya cicak menempel didinding, pasti akan terjatuh juga.

Apa yang dilakukan oleh Andi Taufan ini tentu sebuah pelanggaran administrasi yang berat. Kejadian ini berwujud pada potensi maladministrasi dari seorang pejabat negara sekelas Staf Presiden. Setelah menyadari bahwa ia berbuat salah, Andi pun langsung menarik surat dan meminta maaf kepada media dan masyarakat. Lalu selanjutnya apa?

Selanjutnya istana marah besar atas kejadian itu. Marah karena tindak langcang dari Andi yang sudah bersurat tanpa memahami alur tata administrasi negara. Kemudian saya melihat  bahwa sikap yang ditunjukkan oleh istana ini agak berbeda dari biasanya. Lihat saja jika para pejabat istana sekelas Menteri atau orang dalam istana yang menciptakan masalah dan blunder kebijakan. Biasanya mereka ramai-ramai membela dengan melabeli bahwa "Itu Salah Ketik, Opini dari masyarakat" dan yang paling terbaru dibela dengan melapor serta menagkap yang melakukan kritik itu.

Puncak dari wujud kemarahan besar dari istana dan warga akan ihwal ini ialah meminta yang bersangkutan agar mundur dari jabatannya sekarang. Istana pun juga mempersilahkan kepada Andi jika ingin mundur dan mengembalikan hak prerogatif itu kepada sang tuan rumah istana apakah ingin memecatnya atau tidak. Namun saya rasa hal itu urung dilakukan oleh Presiden. Malah hanya menambah dan memanaskan suasana jika dilakukan.

Istana pun tak bergeming akan kasus ini. Rakyat hanya diharap maklum akan peristiwa yang hampir saja mengubah isi kurikulum pendidikan kita agar mata pelajaran Indonesia tentang Surat Menyurat diperdalam lagi. Organisasi Kemahasiswan juga ikut mereduksi efek ini dengan menambah Materi Tata Kelola Adminitrasi yang berjenjang dan tidak melanggar kepada para kadernya.

Miris juga jika melihat nasib Andi Taufan berada dilingkaran kuasa. Ia bagaikan Boneka yang menjadi pajangan istana. Direkrut untuk membantu negara, tetapi mengapa malah berulah kemudian tak dibela?

Saya tidak ingin menambah beban dari Andi Taufan atas kasus yang menimpanya tempo hari. Namun yang perlu kita sadari ialah berbuat banyak untuk rakyat dan negara tidak perlu dengan gagah-gagahan semata. Bung punya kuasa dan relasi dimana-mana. Tanpa surat berlogo Burung GARUDA sebagai embel-embel, bung bisa melangkah dan berbuat lebih jauh.

Jika menjadi orang dalam istana Bung merasa hebat dan merasa berkuasa, Bung salah. Didalam sana ada sekelumit aturan, batasan dan ruang yang dimana bung dilarang untuk berekspresi sesukanya. Hal ini tentu bertolak dengan gagasan-gagasan progresif revolusioner yang bung sudah mulai.

Sebuah preseden buruk sedang terjadi didalam istana. Para Stafsus Milenial ini hanya akan menjadi Boneka Baru yang dikendalikan secara feodal oleh sang penguasa. Mereka juga tentu tidak secara representatif mewakili Kaum Milenial apalagi Kaum Rebahan. Dalam surat menyurat saja mereka tak paham, melanggar aturan hingga dimarahi keras oleh pihak istana. Padahal niatannya bagus, tujuannya mulia dan gagasannya out of the box. Boneka itu harus kita bebaskan. Pertama-tama bebaskan ia dari penyeragaman, kemudian berikan ia ruang untuk mengekspresikan ide-idenya dan seluruh gagasannya.

Anak-anak muda ini punya tangan dingin yang sudah terbukti dengan karya nyata. Kepada mereka kita angkat topi. Mundur bukan karena diminta, tetapi mundur untuk menjadi seorang Ksatria

Oleh karenannya ingatlah pesan dari Mbahnya Penulis, Pramoedya Ananta Toer meriwayatkan bahwa "Sejarah Dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan orang muda mati rasa, maka matilah semua bangsa."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun