Andi Taufan Garuda Putra adalah salah seorang staf khusus (stafsus) milenial Presiden Joko Widodo. Tak banyak yang mengetahui nama dan rekam jejaknya sehingga mampu direkrut sebagai bawahan presiden. Apalagi menjadi seorang stafsus.
Namun kali ini Andi Taufan Garuda Putra berhasil mendapat lirikan media dan warganet. Bukan karena jabatannya ia dilirik, namun karena kerjanya sebagai stafsus yang dianggap telah keliru dan jauh dari tupoksi beliau.
Kekeliriuan Andi nampak pada surat yang ia buat terkait penanganan covid-19. Surat yang ia tujukan kepada perangkat desa di seluruh wilayah Indonesia agar mendukung relawan PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) dalam menangani penyebaran Covid-19 berpotensi menyalahi aturan administrasi yang sudah ditetapkan.
Mari memahami mengapa surat yang ia buat ini begitu ambyar:
Bagian kesatu, dalam surat itu terlampir kop dari Sekretaris Kabinet (Seskab). Padahal Sekretaris Kabinet memiliki pemimpin dan pejabat tetap. Jika surat itu dibuat dan ditanda tangani oleh Andi yang kapasitasnya adalah seorang Stafsus maka ini adalah sebuah bentuk pelanggaran maladministrasi.
Setidaknya Andi telah melanggar pasal 19 ayat 1 dalam Perpres 39 Tahun 2008 yang berbunyi "Staf Khusus Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 secara administratif bertanggung jawab kepada Sekretaris Kabinet".
Seharusnya surat itu dibuat dan ditanda tangi atas nama pejabat seskab bukan atas nama Andi. Tak jelas juga apakah pihak seskab telah memberi lampu hijau kepada Andi untuk menyebarluaskan surat itu kepada media ataukah itu hanya atas inisiatif dari Andi sendiri.
Kedua, Andi telah melampui batas kewenangannya. Dalam pasal 20 berbunyi Stafsus wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik dengan instansi pemerintah. Sekretaris Kabinet mengatur tata kerja stafsus Presiden.
Niat Andi bagus dan mulia, namun sayangnya ia tidak memperhatikan kaidah hirarki kepemimpinan didalam instansi pemerintahan. Seyogyanya jika  Andi berkoordinasi atau sowan dulu kepada seskab. Saya yakin tindakannya ini tidak akan mencoreng nama baiknya sendiri.
Andi juga tak memiliki kewenangan eksekutif. Alhasil yang dilakukan Andi seharusnya masukan bisa berupa gagasan, ide atau saran kepada pemerintah yang berkuasa menjalankan kewenangan absolut tersebut. Bukan membuat surat kemudian menandatanganinya sendiri.
Ketiga, niatan Andi dalam menggandeng perusahaan miliknya, PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) untuk membantu pemerintah dalam mencegah penyebaran virus corona berpotensi menyebabkan terjadinya Abuse Of Power (penyalahgunaan kekuasaan) dan Conflict of Interest (konflik kepentingan).
Kegiatan yang Andi maksud dengan menggandeng perusahaan yang mana didalamnya Andi duduk sebagai CEO dan sekaligus pemilik  tentu akan menguntungkan dirinya sendiri.
Jika Andi ingin merangkul perusahaan bentukannya itu, terlebih dahulu Ia seharusnya mundur agar tidak memunculkan perspektif negatif untuk pemerintah. Tuduhan untuk menguntungkan diri sendiri dan perusahaan pun bisa ia hindari.
Apa yang dilakukan oleh Andi ini tentu sangat baik. Ia semata-mata hanya ingin menggerakan sebagian yang ia miliki untuk meringankan beban bangsa. Tetapi cara Andi dalam mengemas kebijakan dan gagasannya ini masih keliru.
Oleh karenanya sebagai Stafsus, ada baiknya mereka perlu di brefing lagi agar  dapat memahami tugas dan fungsi mereka. Batasan-batasannya apa dan hal yang bisa serta tidak bisa dilakukan apa? Itu harus runut dijelaskan sehingga tidak menciptakan blunder seperti ini.
Peran staf khusus mileneial ini juga harusnya dikaji. Sebaiknya staf khusus milenial ini dijadikan sebagai program magang politik bagi anak-anak muda yang lain. Sehingga pemuda-pemuda yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang tidak kalah dengan mereka yang saat ini menjabat, juga mendapatkan kesempatan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H